Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Di Bawah Umur

Di Bawah Umur

Rabu pagi itu hujan turun deras. Beberapa hari sebelumnya memang hujan juga turun deras. Tapi pagi itu, suasana mendung serasa mewakili rasa hatiku. Kabar nenek sakit banyak mengganggu konsentrasi belajarku. Dua hari berlalu, tugas kuliah yang menumpuk semakin tak tersentuh. Mendengar Ibu berencana terbang ke kampung halaman, aku sedikit punya harapan Ayah akan mengutusku menemani ibu. Tapi, kabar baik itu tak kunjung datang.

Kupacu motorku pelan mengikuti irama hujan dan angin yang bergembira. Ribuan nyanyian daun seperti berbisik lembut di telingaku, “Tidakkah kau juga senang, tak perlu menyiram teman-temanku yang betah tinggal di tamanmu yang mungil?” Aku hanya diam menyetujui. Hujan deras beberapa jam akan meringankan tugasku membawakan minuman segar ke si melati putih, si mawar merah, si hijau kenanga, dan teman-temannya. Setidaknya dua hari.

“Mbak, sudah dekat ya?” Tanya Dika, adikku dari belakang. Dia pasti tak bisa lihat jalan, terkurung mantel satu kepala yang kami gunakan. Secara aku tak bisa mengendarai mobil, mau bergaya antar adik ke bandara juga tak bisa. Tapi, jelas bandara dan kampusku searah, ibu pasti akan ngotot minta bantuanku. Kalau dibanding dengan kantor ibu, sangat jauh karena beda arah. Mutar lagi. Hari itu ada kegiatan di Dinas pertanian, tempat ibu mengabdi sebagai tenaga honorer, maka ibu harus berbenah lebih cepat. Aku senang hati bantu ibu mengantar si bujang kami. Adik laki-lakiku ini memilih belajar di pesantren di Jawa. Bujukan ibu untuk sekedar daftar di beberapa sekolah dan madrasah dekat rumah bersama teman SDnya di tolak secara halus.

“Ikut masuk, Mbak?” Aku hanya tersenyum mendengar tawarannya. Dalam hati mau banget, sekalian jenguk nenek. Tapi apa daya, tugas kampus menumpuk, tak ada perintah dari ayah. “Aku nunggu di sini aja. Nanti keluar ja lagi setelah dapat boarding pass.” Terlihat antrian mengular di depan petugas cantik yang melayani check-in. aku pun memilih mencari tempat duduk kosong. Melihat sekeliling, aku tak mengenal wajah-wajah yang duduk termenung. Entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin ada yang sedang sedih berpisah. Beberapa sudut terdengar tawa riang bersahutan, sekiranya mereka pergi untuk bersenang-senang.

Sepuluh menit berlalu. Tak ada muncul wajah mungil adikku. Aku tergerak untuk mengintip dari pintu dan jendela kaca. Bingung tak melihat sosoknya. Aku bergegas masuk minta ijin petugas sambil tunjukkan boarding pass adikku di HP. Begitu melewati pintu pemeriksaan, dia sudah nongol menyambutku. “Mbak pinjam KTP.” Aku dibuat melongo. Dia laki-laki mau pinjam KTPku dengan jenis kelamin perempuan. “Buat apa?” sergahku kemudian. “Bukti aja, biar aku bisa berangkat.” Persoalan macam mana, pikirku, pesan tiket sudah mengisi informasi detail tentang usia dan tetek bengeknya, kok masih dimintai KTP. Ya jelas dia ga punya KTP, lha wong masih 14 tahun.

Aku pun tergopoh menuju meja check-in. “Mbak, ini adiknya belum cukup umur untuk melakukan perjalanan sendiri.” Si mbak petugas cantik menjelaskan.

“Maaf, mbak. Ini bukan perjalanan pertamanya sendiri. Ini yang keempat.”

“Begitu ya, Mbak. Baik, kami buatkan surat perjalanannya dulu.” Ucapnya kemudian. Aku melihat buku kunjungan selama liburan dan surat-surat perjalanan dari pondok sudah duduk manis di depan si mbak petugas.

“Mondok dimana, Dik?” Kudengar bisik tanya sesama penumpang yang berdiri di sampingnya. “Gontor, Pak.” Sahut adikku singkat. “Kecil-kecil sudah harus belajar mandiri. Bagus itu.” Sambungnya lagi. “Memang hampir semua pondok memperlakukan santrinya seperti itu.” Suara itu juga masih terdengar di telingaku. Dan, memang itulah yang diajarkan ayah dan ibu. Apapun pilihanmu, belajar bertanggung jawablah, jangan menyerah.

“Ini boarding passnya. Ini bukunya.”

“Surat jalannya?” tanya adikku kemudian.

“Tidak perlu.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.

Jadi, setelah nunggu lama, ditanyai ini itu, njekethek ga jadi dikasih surat jalan. Serasa mau menyonyong mulutku mendapatkan ketidaknyamanan pelayanan. “Mbak mau ngantar sampe dalam?” “Ga usah gin, males. Lagian itu sudah dipanggil suruh masuk pesawat. Sampe disini aja ya, hati-hati.”

“Assalamu’alaikum.” Ucapnya sambil mengangguk santun. Begitulah Dika, lelakiku di bawah umur, yang kerap adu mulut dan kelahi denganku di rumah, jika sudah berangkat, santun dan hormat ga ketulungan. 360 derajat.

Jujur, aku saja kalah kemandirian jika dibanding dengannya. Nyatanya, sampe kuliah aku masih nempel sama ayah ibu. Kata ibu, "Belajarlah darinya, meski dia lebih muda." Dan ini yang kadang belum bisa aku lakukan. "Semangat, Dika. Kau pejuang tangguh."

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post