Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web

Eksekusi

Pernah mendengar kata eksekusi? Pasti sering meski hanya melalui berita di televisi.

Kali ini saya menyaksikan secara langsung keadiannya saat pulang dari kantor dan menjemput anak. sekitar lima ratus meter dari gang rumah saya, saya harus menginjak rem karena melihat ada excavator besar di sebelah kanan jalan, beberapa mobil polisi, dan dari kejauhan ada mobil satpol PP selain mobil plat hitam yang berjajar di ruas kanan kiri jalan. Saat saya berhenti, karena memang diberhentikan petugas karena harus bergantian melintas, saya belum bisa membaca peristiwa yang terjadi di hadapan saya. Sempat terpikir kemungkinan masalah listrik. Tetapi saya tak melihat ada mobil PLN di sana. Ketika diijinkan melaju kembali, saya sempat melontarkan pertanyaan ke petugas yang kebetulan saya kenal. "Eksekusi barak," jawabnya singkat.

Eksekusi yang terjadi di dekat rumah saya ini dilakukan oleh pihak pengadilan didampingi tenaga pengamanan dari satpol PP dan kepolisian. Memang tidak ada teriakan dari pihak tereksekusi atau bantahan dari eksekutor. Tidak ada perang mulut atau gontok-gontokan. Setelah saya mencoba klarifikasi kepada beberapa ibu-ibu yang sedang berjalan menuju ke TKP, ternyata memang sudah melalui proses mediasi hingga ke pengadilan. Dan inilah hasilnya.

Si pemilik barak berani mendirikan bangunan karena merasa membeli tanah yang saat itu dilegalkan dengan adanya SKPT (Surat Keterangan Pemilik Tanah). Sementara si pemilik tanah bisa menunjukkan sertifikat asli tanah yang sudah diperiksa keabsahannya d BPN. Jalan damai yang ditempuh tidak membuahkan hasil, karena si pemilik barak menuntut ganti rugi 1 M. Sementara si pemilik tanah bersedia memenuhi dengan 110 juta. Jika tanah yang berukuran 20 x 40 m itu terbeli sekitar 8 tahun silam, maka harga berkisar pada 50 juta, maka sesungguhnya si pemilik barak tidaklah rugi. Kenapa? Dia hanya memiliki hak pakai karena tidak pernah mengecek legalitas tanah yang dibeli hanya dengan bukti SKPT. Sementara barak yang sudah dikomersilkan itu sudah memberikan dia sebanyak 6th x 10 pintu x 350ribu rupiah, maka dia mendapatkan 252.000.000. Kemungkinan modal mendirikan barak sudah kembali.

Nah, banyak hikmah dari kejadian tersebut. Setidaknya kita harus jeli dengan status tanah, rumah atau bangunan yang kita tempati, apakah status hak milik atau hak guna. Selain itu, jika memang ada transaksi jual beli, alangkah bijaknya kita menelusiri dan mengecek status tanah tersebut, apakah surat-surat yang ada benar-benar asli atau tidak. Banyak kasus pertikaian karena ada sertifikat yang "tumpang tindih", satu bidang tanah bisa memiliki 2 atau lebih sertifikat dengan nama yang berbeda. Memang tidak mudah untuk mengurus hal demikian yang cukup njlimet bagi saya. Masalah persuratan ini terkait dengan beberapa instansi, mulai dari kelurahan, kecamatan hingga BPN yang menerbitkan sertifikat tersebut.

Semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul sekali bu, kerapihan menyimpan dan memiliki bukti otentik sangat perlu. Asyik juga bisa lihat langsung. Barakallah

18 Oct
Balas

Iya bu. Terimakasih. Pembelajaran bagi masyarakat juga bahwa yang bukan haknya bagaimanapun caranya mempertahankan tetap tidak bisa kembali.

18 Oct

Informasi oke

18 Oct
Balas



search

New Post