Hadiah Terakhir
"Masih tergantung di belakang pintu? Kemana ibu?" tanyaku dalam hati. "Ah, mungkin mampir belanja sayur, atau langsung ke rumah Mbok Rah". Aku menghibur gundahku.
Tak biasanya ibuku pulang sore, kecuali dia harus hadir rapat dadakan di dinas pendidikan kecamatan. Jaraknya yang cukup jauh dari sekolah ibu, juga rumah, tentu akan menghabiskan banyak waktunya di jalan.
Daster yang biasa tergantung di belakang pintu kamarnya lah yang selalu memberitahuku kabar ibu. Jika daster itu tak ada, pasti ibu sudah berkutat di dapur atau di kebun belakang rumah. Mencabut rumput, membersihkan kandang ayam, memberi makan lele, atau sekedar duduk dan memetik daun bayam atau singkong untuk sayur keesokan harinya. Sejak Bapak meninggal, ibu tak lagi melanjutkan usaha Bapak mengantar sayur ke pasar. Tak ada yang disuruh mengantar karung-karung sayuran dini hari dan pulang sebelum shubuh. Kakakku sudah sibuk dengan rumah tangganya sendiri meski rumahnya tak jauh dari kami.
Selain itu ibu juga masih aktif di sebuah TK di desa seberang. Meski Ibu guru tertua di TK itu, tapi Ibu tak kalah energik dari kawan-kawan mudanya yang sedikit lebih tua dariku. Tenaga honorer di TK dan PAUD itu rata-rata juga lulusan SMA sepertiku, tapi sambil kuliah. Mereka juga sangat dekat dengan Ibu layaknya anaknya sendiri. Sering mereka memilih menginap di rumah bila ada yang perlu dilembur seperti persiapan PHBN, PHBI atau kunjungan dari dinas atau pemkab.
Melati…dari Jayagiri. Kuterawangkan keindahan kenangan…
“Mbak Nisa?” Aku tak kenal suara dari seberang setelah aku angkat nada dering khas HP ibu. Tumben ibu ketinggalan HP. “Ini Mbak Sri. Ibu ada di rumah sakit, Mbak. Kalo bisa segera ke sini ya. Ibu di UGD.” Mulutku masih terkatup. Aku tak tahu harus bagaimana. Masih dengan seragamku, aku cepat ambil helm dan langsung berangkat ke rumah sakit.
Ramai sekali di depan dan di samping ruang UGD. Banyak siswa berseragam sepertiku yang berdiri di sana. Aku tak tahu siapa yang aku kuatirkan. Apakah Ibu yang terluka atau ibu yang menabrak siswa sehingga teman-temannya masih setia menunggu. Mbak Sri yang sudah tak asing lagi bagiku tergopoh menyambutku. Baju kremnya kotor sekali. Ya kotor sekali. Noda merah tersebar di beberapa bagian, terutama di lengannya. Robek. Kerudungnya sudah tak berbentuk lagi, miring dan tak rapi lagi. Tak hanya itu, dagunya ternyata juga luka. Masih merah meski tak ada darah segar yang menetes.
“Ibu. Ibu mana, Mbak?” Aku seperti tersadar setelah melihatnya yang acak-acakan.
“Bu Yanti. Keluarga Bu Yanti?” Perawat bersama dokter keluar dari UGD dan menyebut nama Ibu. Mbak Sri dan aku bersamaan berlari mendekat. “Maaf, Mbak. Kami sudah berusaha. Tapi, Ibu tak bisa bisa ditolong. Tulang lehernya patah, dan tengkoraknya parah. Silakan masuk jika mau melihat sebelum kami bersihkan.”
“Innalillahi wainnailaihi rojii’uun.” Aku hanya bisa berucap dalam hati. Rasanya seperti tak punya kaki lagi, badanku terasa sangat berat dan lemas. Mbak Sri berusaha membimbingku perlahan, sambil membisikkan kata-kata menyemangatiku agar sabar dan tawakkal. Perawat mulai melepas alat-alat perekam detak dan selang oksigen. Tak ada goresan luka di wajahnya, tapi kenapa dokter bilang tengkoraknya parah. Antara bisa menerima dan tidak.
“Nis, jangan lupa cek lagi pengumuman seleksi undangan. Tadi malam Ibu mimpi lagi lihat kamu sudah wisuda. Dokter Nisa, selamat ya.”
“Bukan dokter, Bu. Cukup B-U- N-I-S-A, kan gelarnya di belakang.” Kami masih tertawa pagi tadi sebelum aku berangkat. Ibu masih mengenakan daster biru yang kubawa dari Jogja beberapa bulan lalu. Ya, oleh-oleh dari hadiah kemenanganku di olimpiade Sains khusus untuk ibuku penggemar Kencana Wungu. Suapannya masih aku nikmati saat aku ingin mencicipi nasi goreng mawut yang dimasak Ibu hampir setiap Kamis. Masakan yang sederhana karena Ibu selalu puasa Senin-Kamis. Kakakku juga sering mampir untuk sarapan sambil cek listrik, pakan ayam dan lele, atau tanya keperluan Ibu. Ternyata itu suapan terakhir ibu. Mimpi Ibu pun benar. Beberapa hari koneksi internet di sekolah tak bagus jadi aku tak bisa lihat pengumuman yang seharusnya bisa diakses dari tiga hari yang lalu. Hari ini harusnya Ibu bahagia mendengar kabar aku bisa tembus FKM UGM.
“Nisa, ibumu ya? Aku minta maaf.” Suara melengking yang kukenal mengagetkanku saat aku mulai melangkah keluar ruangan. Aku menoleh ke bilik sebelah Ibu yang dipisahkan oleh kain gorden, Miko, masih dengan seragamnya tapi kotor penuh cat pilox warna-warni hampir menutup warna putihnya. Aku kembali melangkah keluar. Di tengah pintu aku berpapasan dengan perempuan yang terisak. Di melangkah dengan cepat.
“Innalillahi wa innailaihi rooji’uun.” Aku balik badan dan melongok ke dalam. Perempuan sebayaku yang ikut sepeda motor Miko harus pergi bersama Ibuku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mengingatkan Dunia muda suka menantang . Sip bun
karena kejadian semprot-semprot pilox pas di depan madrasah, dan konvoi di jalan
Cerpen yang keren...
terimakasih...baru belajar