istimewa dan patut dibanggakan
Tulisanku tak pernah istimewa dan tak bisa dibanggakan. Seperti itu pula dengan diriku. Aku bukanlah perempuan hebat dan istimewa. Meskipun aku sangat paham dengan diriku, aku selalu berusaha keras agar aku bisa memberikan sesuatu yang istimewa kepada keluargaku, serta orang-orang terkasih di sekitarku.
"Nduk, pindahkan saja anakmu dari sekolah itu". Kalimat itu sangat melukai hatiku. Aku pun tak membantah, hanya meredam kekecewaan yang sudah memuncak di pikirannya. Itu ucapan dari ibuku. Sosok perempuan tegar yang menjadi panutanku hingga saat ini. Ucapannya pun selalu menjadi semangat dan doa di setiap nafasku.
"Kamu harus tegas. Kalau kamu sayang anakmu, pindahkan saja dari sana. Aku kasihan melihat anakmu seperti anak terlantar dan tak terawat."
"Inggih bu. Besok kalau sudah ketemu saya ajak berunding lagi. Sementara biarkan dia pulang ke sini, biar dia puas menghabiskan liburan di tanah kelahirannya. Nanti pelan-pelan saya bujuk dia." balasku dengan pelan.
Kata-kata ibuku sangat persuasif. Aku terdorong untuk mengiyakan. Hatiku tercabik. Air mata pun tak terbendung. Aku menangis. Air wudhu dan sholatku tak mampu mengurangi sedihku. Air mata terus mengalir seperti tak bermuara. Jika aku salah, ijinkan aku memperbaikinya dari sekarang. Hatiku berniat istikharah untuk menentukan sekolah anak lelakiku ini.
Saat bertemu dengan anak lelakiku, hilang sirna rasa sakit di hatiku. Rapor sikap yang dibawanya pun kubuka dengan senyum. Meski sebelumnya, kakeknya sudah membacakannya untukku, aku tetap semangat untuk membacanya sendiri.
"Piye mas rapore? Tambah apik opo malah mudun?" candaku sambil membuka rapor itu lembar demi lembar.
"Ada yang meningkat dan ada yang menurun. Berarti ada yang perlu ditingkatkan dan ada yang harus dipertahankan. Piye? Lanjut?" kata-kataku menyimpulkan nilai akhir sikap anakku.
"Nggih." jawabnya datar dan singkat.
Tidak ada yang berubah dari anakku. Masih kecil seperti dulu saat dia masuk sekolah itu. Sifat jahilnya pun masih sering muncul jika bersama adik-adiknya. Aku berpikir positif saja. Mungkin dia sedang kangen kebersamaan dengan ayah ibu dan saudaranya. Mungkin, jahil itulah yang bisa dia lakukan untuk menunjukkan bahwa dia sayang kepada adik-adiknya. Bahasanya yang sudah sedikit sopan dan halus jika kuajak bicara dari hati ke hati menunjukkan bahwa dia sudah belajar banyak di sekolahnya. Namun, kekakuan dan keegoisan yang ditunjukkan saat beradu pendapat denganku menjadi wujud "keakuan"nya, bahwa dia punya pendirian.
Beberapa hari setelah kedatangannya di rumah memang tidak menunjukkan hal yang sangat berarti sebagai hasil dari sekolahnya. Ada satu sikap yang sangat jauh berbeda saat aku menjenguknya di asrama dengan saat dia di rumah, yaitu kesantunan bicara. Saat di asrama, sikap bicaranya lebih sopan dan pelan. Namun, saat di rumah, dia kembali keras dan agresif. Namun, di saat tertentu dia kembali sangat santun. Mungkin dia masih adaptasi. Banyak hal tentang peraturan kelas dan asrama yang diceritakannya. Ada kalanya dia tunjukkan respon tak sukanya terhadap sesuatu, namun disisi lain dia memberikan solusi sendiri atas ketidaknyamanaannya terhadap hal tersebut. Apa yang bisa kusimpulkan? Tentunya, dia pasti sudah belajar banyak.
"You need to go back to boarding school, or you want to find a new atmosphere here?" tanyaku suatu hari.
"Maksudnya?"
"If you got tired and bored with the situation in that school you can choose the new one. Since your grandparent suggest me to bring you out of that school," jelasku pada pilihan yang aku tawarkan.
"I need to go back", jawabnya singkat.
"Then, give me a reason", pintaku pula dengan cepat.
"Reason?", tanyanya lagi belum paham.
"Ya, your reason, why you have to go back to that school. You know that you have to move to the farther campus too. So, tell me why," aku tetap mendesaknya. "If you have no reason, it's better you stay at home," lanjutku sedikit mengancam dan aku tahu ini trik yang salah.
"I need to meet many friends," jawabnya lagi dengan pelan.
"Though you have to go to the branch of your school? The consequence, your grandparent will not visit you at least once a month. Are you okay?"
"Ya, ok."
"What about loosing clothes? How do you dare on it?", selidikku tentang segala masalah kehilangan barang di asrama.
"Kan aku lupa ga ambil jemuran, pas dicari udah ga ketemu, ya wis lah berarti hilang". sanggahnya dengan tenang.
"It means that you don't care with your own stuffs!"
"No, I have no time to take it soon. I have many activities", anak lelakiku masih menyanggah tegas.
"That's why I always remind you to do everything fast and on time. if you have no time to wash, send your dirty clothes to laundry. Have you? I have sent you additional trousers and shirts. In fact, you lost them too." aku pun mulai berkeras seolah aku ini pandai membagi waktuku saat aku sekolah dulu. Aku memang egois.
"Yes, I bring to laundry, but only one"
"Once? ya sudah lah, sekarang sampean tahu kekurangan sampean apa. Dan itu semua harus diperbaiki. Show me the proof that you can do better next time. I do believe you", aku pun mengalah.
Aku sangat bersyukur bahwa dia mantap dengan pendiriannya untuk terus melanjutkan belajar di sekolah pilihannya. Anak lelakiku yang satu ini memang tak pandai seperti anak-anak temanku yang selalu dibanggakan. Aku sangat senang anakku tak mengeluh dengan kegiatan di sekolahnya sedari dia belajar di sekolah dasar. Selama dia bisa bermain dan belajar dengan baik bersama teman-teman dan guru-gurunya, aku sudah bangga. Peringkat yang tak jauh dari 18 - 22 dari 32 siswa pun tak pernah menjadi masalah buatku.
Aku tak menuntut banyak. Aku hanya minta dia selalu ingat dengan cita-citanya, yang pernah dia tulis di dinding kamarnya. Bahkan, coretan itu belum aku hapus dan mungkin tidak perlu kututup dengan cat yang baru. Dia tersenyum melihat beraneka istilah, gambar, serta angka yang ada di dinding kamarnya. Biarlah itu semua menjadikan dia istimewa di mataku, dan selalu kubanggakan di dalam hatiku.
"I do understand what you want.Please tell me everything, so I can help you gain your goal"
Aku akan selalu belajar menjadi pendengar setia anak-anakku, menjadi orang pertama yang mengetahui kekurangan mereka, dan yang pertama juga yang mendorong mereka agar terpacu untuk maju.
Anak-anakku, apapun dan bagaimanapun mereka, aku bertanggung jawab atas dirimu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Selalu belajar. Dan belajar pun bisa dari pengalaman mereka yg masih muda
Ibu yang bijak, komunikatif, dan hangat. Terima kasih sudah berbagi.
Artikel yg bisa menjadi kisah inspiratif bagi para orang tua
Aku akan selalu belajar menjadi pendengar setia anak-anakku....subhanallah, pastinya putranya nyaman menyampaikan appaun yg dialaminya...
Ya bu, seperti apa pun hasil yang diraih sang anak, yang terpenting akhlaknya semakin baik bu. Insya Allah, nanti di suksesnya ganda. Sukses dalam menjalani kehidupan namun kuat berpegang pada nilai-nilai agama