Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Duduk!

Jangan Duduk!

Masih dalam bis yang hampir sama satu setengah tahun lalu. Kok hampir sama? Namanya sama, tapi plat nomornya saya tak hapal. Bis ini pula yang mengantarkanku pergi ke kota Banyuwangi. Konon, kota ini tak hanya terkenal karena legenda Sidopekso dan Sritanjung. BWI juga disebut the sunrise of Java.

Tali rafia yang mengikat beberapa kursi ini yang menarik perhatian. Dulu, heran saja melihat orang duduk di kursi dan terhalang oleh tali rafia. Mau iseng tanya juga ke siapa, akhirnya mengambil simpulan sendiri. Meski ada yang duduk di kursi dalam batas rafia itu, sewaktu-waktu dia harus pindah ke kursi lain yang kosong. Ya kalau ada. Jika tak ada, ya harus rela berdiri sementara, bahkan sampai tujuan.

Kok bisa? Ya begitulah kenyataannya.

Sore ini tadi juga sama. Awalnya saya menunggu bis di dekat sebuah tikungan di Rogojampi. Jam lima tepat ada satu bis datang dari kejauhan. Seperti biasa,saya melambaikan tangan memintanya berhenti. Saya hendak ikut pulang ke rumah setelah menjenguk si pujaan hati. Pak kenek sudah teriakkan tawarkan ikut ke Malang. Saya mengangguk pasti. Eehhh malah saya ditinggal tanpa tahu sebabnya. Saya sempat lari mengejar saya kira memang berhenti agak jauh dari tikungan. Saya lari, bis tambah jauh meninggalkan saya. Ternyata saya benar-benar ditinggal.

Nangis? Bisa jadi saya akan leluhkan air mata jika sampai jam 8 tak ada bis alternatif yang bisa bantu saya pulang. Kembali saya ingat, jadwal teralhir dari Karangente pukul 17 lewat sedikit. Tak jadi air bening itu keluar dan mengalir dari sudut mata yang mulai mengantuk ini.

Tak lama setelah menelpon kekasih nun jauh di seberang di Pulau Borneo, saya pun kembali riang melihat bis merah kuning dari kejauhan. Saya tutup telepon lalu melambaikan tangan. Alhamdulillah rejeki kali ini berpihak kepada saya. Melangkahkan kaki kanan dengan pasti dan naik "si Tayo" sebutan yang selalu digaungkan anak perempuan kecil saya.

Setelah pak kondektur menentukan harga tiket hingga tujuan di Durenan, satus susuk sepuluh, saya pun berani tanya. Sederetan keluhan tepatnya berbaris rapi dari mulutku. Dia pun hanya tersenyum dan menjawab.

"Catat nomor teleponku, Mbak"

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post