Mas Eko
Bali? Aku harus ikut.
Kabar malam itu seakan mengharuskanku untuk pergi. Ini kesempatan emasku untuk ke Bali. Tawaran ini pun hanya berlaku untukku. Satu-satunya orang bukan dari jurusan Seni Rupa.
*****
Aku bukan anak seni. Tapi, aku suka seni. Aku sangat menikmati suasana setiap kali aku datang atau pulang melewati lorong kampus seni. Kampusku tepat di seberang kampus itu. Temanku juga banyak di situ. Bahkan separuh teman kosku juga anak seni. Aku terbiasa mendengarkan musik, gamelan, juga suara pahatan. Aku pun tak jarang ikut ngampus bersama mereka.
Asyik memang. Bahkan aku juga pernah ikut membatik. Melihat mereka membuat patung atau cetak logam pun pernah. Aku hafal setiap ruangan di kampus itu, dari lantai satu hingga ke lantai tiga.
Mahasiswa di kampus ini banyak yang rambutnya gondrong. Gayanya unik, yang cewek pun sama nyentriknya. Padu padan bajunya tak sesederhana anak bahasa. Memakai aksesoris mencolok menjadi hal biasa bagi mereka. Itulah ekspresi diri mereka.
Di kampus ini aku kenal Mas Eko. Kami sama-sama dari daerah pantai selatan, tapi beda kabupaten. Hubungan awal kami tak istimewa. Seterusnya pun juga sama.
Mas Eko orang pendiam. Dia rapi. Dia lebih suka pakai kemeja bila ke kampus. Rambutnya cepak. Kulitnya putih. Hidungnya besar, tapi mancung. Kalem juga dia. Mungkin itu yang membuat aku suka berteman dengannya.
Tahun berganti, rasa dalam hatiku tetap saja sama. Aku tak menemukan keistimewaan dari kedekatanku dengan mas Eko. Sering bertemu dan ngobrol di kampus, atau di perjalanan berangkat dan pulang adalah hal biasa bagi kami. Tak bertemu lama pun biasa. Beda dengan Dewo, teman sekampusnya yang dekat denganku. Si gondrong ini yang sering nongol di kos. Suatu hari, dia minta aku yang memotong rambutnya. Tapi akhirnya dia tak cocok dengan gaya yang kupilihkan. Tak sampai sepuluh hari dia akhirnya pergi ke tukang cukur. Jadilah potongan pendek seperti halnya mas Eko.
Dewo ini lah yang sering berusaha membuat aku dan mas Eko tambah dekat. Hingga akhirnya hampir semua teman sekelasnya tahu kabar berita ini. Tapi tetaplah aku merasa tak istimewa. Aku sangat menghormatinya. Apalagi aku tahu, mas Eko dua tahun lebih tua dari aku. Aku menghargai setiap ucapannya. Aku ga bisa terlalu slengekan jika ngobrol dengannya. Tapi jujur, aku bahagia dekat dia.
*****
"Kenapa? Kok ga nitip pesan Yustina kalo kamu sakit. Kan aku bisa kesini."
Suara itu mengagetkanku. Aku masih terbaring lemah di atas dipan di kamar kosku. Mak Kun, nama aslinya Kunainah, teman yang selalu sabar dan telaten jika ada teman kos sakit, masih duduk di sudut dipan sambil baca buku. Entah menghafal tembang apa dia, mulutnya masih komat-kamit seperti baca mantra.
"Biasa mas, penyakit senin kemise kumat. Mlebu Mas. Ealah ga ono kursi. Sampean ngangkat ko teras yo"
Mendengar suara dan perintah mak Kun, Aku pun tersenyum. Itulah gaya khasnya temanku dari Caruban ini. Dia pun tak beranjak dari tempat duduknya, melanjutkan menghafal mantranya. Temanku dari jurusan Bahasa Jawa ini biasa tidur di kamar siapa aja, bisa di dipan bisa juga di lantai. Jam tiga pagi biasa bangun pindah ke kamarnya sendiri.
Mas Eko pun duduk di kursi yang diambilnya dari teras. Dia menurut dengan instruksi makku. Sejenak tak ada suara. Aku pun masih enggan bangun. Rasa sakit di ulu hatiku membuat sekujur badanku terasa lemas. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Roti sisir warna kuning kemudian disodorkan ke hadapanku. Karena tak kusentuh, akhirnya mak Kun bangkit. Dia mengambilkan gunting untuk membuka bungkus roti itu.
"Arep moh? Aku ae sing mangan nek ga luwe."
Aku pun memaksa diri bangun. Layaknya diwajibkan untuk berangkat sholat saja kalo dengan ucapan mak Kun ini. Masalahnya, kalo ga segera berangkat, ngomelnya bisa seharian. Memang ngomel bagus dia. Mengingatkan temannya untuk kebaikan. Ucapannya yang ceplas-ceplos tak pernah membuatku dan teman lain tersinggung.
Akhirnya aku makan selembar roti sisir itu. Dia pun menyiapkan aku segelas air.
"Wis Mas, iku ndang dikandani, yen lembur ga usah mangan, muesthi koq. Nek bar garap tugas akeh koq ambruk. Jal ngene ki penak paling nek wetenge kumat."
Mak Kun berucap lagi. Mas Eko cuma nyengir. Senyum itu yang membuatku senang melihatnya. Senyum itu pula yang membuatku bangkit dari tempat tidur. Tapi selebihnya aku malu diomeli mak Kun di depannya. Roti sisir manis itu sudah cukup menyumbangku sedikit tenaga untuk duduk. Tapi aku juga lebih banyak diam. Memang hampir semua penghuni kos ini punya riwayat maag atau tipes. Aku juga terkena penyakit anak kosan ini. Maag bukan hanya dipicu oleh pola makan tapi juga pikiran. Beberapa minggu lembur buat nyicil tugas akhir membuatku drop. Biasanya aku cuma sakit di hari Kamis. Penyakit bawaan karena ada mata kuliah Business English. Dosennya ga killer, tapi disiplin banget. Beliau selalu bilang ke kami “jangan korupsi s”. Itulah gaya khas beliau. Meski sudah agak sepuh tapi enerjik banget.
"Tugas apa? Kalo perlu ditemani ayo.."
Aku sedikit menjelaskan jika tugas Prosa, mata kuliah pilihan itu cukup menguras otakku. Aku tak mengira jika MK satu ini mengharuskanku baca novel tebel banget. Bahasanya pun sulit kupahami. Teryata sastra itu sulit. Apalagi bukan bahasa kita. Apa daya, MK sudah kupilih, ya aku harus berjuang.
Jika banyak tugas dan harus ngrental, biasanya aku dan teman kos berangkat dan pulang sama-sama. Ya, ngrental itu istilah kami ngetik tugas di tempat rental komputer. Kami bisa ngetik sepuasnya, dengan tarif seribu lima ratus per jam. Jika mau ngeprint langsung ya cukup murah, dua ratus per halaman, itu yang hitam aja. Kalau mau warna ya harganya dua kali lipat.
Enaknya ngrental bersama itu bisa pulang malam sampai tugas benar-benar hasil terbaik, ga ada typo sama sekali. Pulang malam pun juga ada aturannya, sebelum tengah malam. Bila lewat tentu ga bisa masuk kos. Pasti ga ada yang mau tidur di pos ronda. Meski aku sering pulang malam sama teman kos, tak pernah sekali pun aku bisa ngrental bareng mas Eko. Juga dengan teman seni rupa lain. Mungkin karena tugas mereka beda. Mereka lebih banyak menghasilkan karya, lalu dipamerkan. Meski hanya di lorong kampus, karya yang dipajang hampir tiap minggu ganti.
*****
Kesempatan ke Bali tak kulepaskan. Bukan hanya karena aku bisa ikut jalan-jalan dengan mas Eko, aku pun ingin rekreasi, melepas penat kuliah.
Perjalanan panjang dari Surabaya ke Banyuwangi tak melelahkan. Gitar di tangan mereka bisa hilangkan kantuk dan lelah. Penyanyinya pun berganti-ganti, dari yang merdu hingga sumbang. Lagu pilihannya juga bervariasi, dari yang sedih hingga gembira lagi. Candaan tak lepas dari penumpang bus ini.
Satu orang saja yang sedari awal berangkat terasa aneh tingkahnya. Budi, teman sekelas mas Eko yang juga berasal dari kabupaten yang sama ini lebih banyak diam. Meski aku tak akrab dengannya aku juga biasa bertegur sapa. Tapi anehnya hari ini lain dari biasanya.
Hingga di penyeberangan kami turun dari bus dan menikmati udara bebas selat Bali, aku lupa keanehan itu. Pemandangan laut bebas dengan angin yang kuat dan gelombang yang cukup besar membuat isi perutku berontak mau keluar. Syukurlah Antimo yang kuminum saat berangkat masih bisa menahannya hingga kapal itu sampai di Gilimanuk.
Sebelum turun mas Eko sempat menemuiku sebentar. Sekedar menanyakan kondisiku. Meski aku tahu dia juga sudah mulai kelelahan, perhatiannya tak berkurang. Mungkin gara-gara mak Kun juga, yang sebelumnya minta tolong jaga aku baik-baik. Ibuku saja yang aku pamiti ga secerewet mak kos ini.
Keluar dari pelabuhan, matahari pagi menyambut dan mengiringi kedatangan rombongan ini menuju Denpasar. Mataku tak lepas dari pemandangan di luar jendela. Benar-benar persis di buku pelajaran yang pernah aku baca di sekolah dulu. Teraseringnya, sungainya yang bersih dan penduduknya yang kebanyakan terlihat memakai baju adat, meski saat itu tak ada perayaan. Sawah terasering memang bukan hal baru bagiku, karena di kampungku tinggal aku biasa melihatnya juga. Tapi suasana yang diberikan oleh alam dan masyarakatnya sungguh memikat mataku.
Saat bus mendekat penginapan pun mataku masih berputar melihat sekitar. Gapura khas di setiap rumah dengan pura kecil di sudut halaman sangat menarik perhatianku. Ya wajarlah jika banyak wisatawan asing juga domestik membanjiri pulau Dewata ini.
Aku benar-benar lupa dan melupakan segala yangbberhubungan dengan kampus dan kuliah. Tapi tak terlintas pula di pikiranku tentang penyesalan kenapa aku tak memilih jurusan seni. Aku kan dulu penari, mengapa ga lanjut ambil jurusan sendratasik. Tak ada.
*****
"Jam 10 nanti berangkat ke galeri lukis. Kamu ikut kelompok siapa? Gabung sama mas Eko ja ya. Kita pisah sementara. Ada ja Dewo."
Elok tiba-tiba memberitahu perubahan rencananya. Elok, teman akrab Yustina ini pun sudah aku kenal. Memang rencana aku ikut kelompok Elok. Tapi tak apalah di mana pun aku bisa. Cuma aku ga akrab sama semuanya. Tambah lagi aku ini nebeng aja, ya harus bisa dengan siapa aja. Yang paati aku ga ketinggalan. Bisa-bisa aku hilang.
Tiba di galeri lukis, mataku pun tak bisa lepas dari banyak lukisan indah yang berderet di dinding. Dari yang kecil sampai yang besar semua indah. Benar, indah. Segera aku mencari mas Eko saat aku melihat lukisan besar ikan koi dan teratai. Pokoknya mau foto bareng. Pas banget, belum beberapa langkah setelah aku berbalik mas Eko muncul dengan Dewo. Langsung aku serahkan kameraku ke Dewo. Foto berdua.
Tetap tak ada yang istimewa. Tapi jujur aku suka. Bahagia tepatnya.
Penyelundup ini pun tetap riang sampai di galeri ukir, patung, dan cetak. Aku menikmati setiap kunjungan ke tempat para seniman berkarya. Saat tiba di pengrajin perak, entah datang darimana, tiba-tiba Budi sudah di sampingku. Aneh masih kurasa. Seperti ada aura lain di wajahnya. Aku tolah toleh sebentar tak melihat mas Eko. Hanya beberapa perempuan yang masih tertinggal di dekat toilet. Mungkin dia sudah masuk duluan.
Tiba-tiba Budi lari ke dalam bus. Tapi tak lama dia kembali. Aneh. Apa ya? Dia pakai kacamata hitam dan pakai ikat khas Bali. Lalu dia minta Elok untuk ambil foto kami berdua. Kok? Kan kamera yang dibawa Elok itu kameraku. Aku sedikit menggerutu dalam hati. Tapi tetap saja Elok ambil posisi lalu tekan tombol.
Cekrek..!! Masuk dah fotoku dengannya. Aneh aku rasakan. Aku tak suka.
Setelah foto bareng itu, Budi masih mengekor di kelompok Elok. Aku yang merasa ganjil dengan keanehan itu merasa semakin tak nyaman. Saat semua asyik memperhatikan bermacam kerajinan perak yang dipajang di etalase, ada tangan yang menarik pundakku. Yustina kemudian berbisik.
“Biasa ja, itu si Budi mau PDKT”
Yustina segera menjauh dariku setelah pesan singkatnya itu.
Beberapa dari perempuan sudah menyebar dan berpencar jauh dariku. Tapi, tetap si Budi mengekor di belakangku.
Duh…aku jadi bingung salah tingkah sendiri. Orang yang sering bertemu denganku dan kusapa biasa saja kini menjadi orang yang asing, aneh bin ajaib. Tapi ya segalanya bisa mungkin. Ga ada orang yang bisa melarang orang lain untuk menyukai seseorang.
Tetap saja hatiku bilang jika itu aneh. Lha sudah tau kalo aku ini dekat sama teman sekelasnya, koq masih PEDE mau cari perhatian.
Aku banyak diam. Tak bicara jika aku tak ditanya. Tak menjawab jika pertanyaannya tak perlu jawaban.
Ketus memang, karena aku tak suka.
Untung penderitaanku itu tak berlangsung lama. Tiba di ujung lorong, tempat proses cetak tuang perhiasan aku bertemu dengan yang lain. Lega rasa hatiku. Bebas dari ranjau orang mau PDKT. Tiba di sana aku langsung nempel ke Yustina. Tapi, mataku tetap berkeliaran mencari mas Eko. Dia satu-satunya yang bisa menjauhkan aku dari Budi ini.
*****
Sukawati. Di pasar ini aku kembali menguntit mas Eko. Alih-alih aku menghindar dari Budi. Sifin, Dewo dan grupnya tak jauh dari aku juga. Dewo hanya nyengir melihat tingkahku. Persis seperti kanak-kanak. Aku mirip anak kecil yang takut jalan sendiri di deretan rumah yang ada anjingnya. Tanganku selalu mencari tali ransel siapapun yang dekat denganku. Yustina yang tahu gelagatku sengaja menjauh. Rombongannya pun ikutan menjauh. Sepertinya sengaja membiarkan drama ini berjalan natural, ekspresionis, dan realistis. Seperti aliran seni rupa aja.
Bisa mati rasa aku jika ikut permainan anak seni rupa ini. Aku pun menarik tali ransel mas Eko. Meski agak sewot, dia tak beri komentar sedikitpun. Mungkin dia juga sudah tahu sebabnya aku jadi kekanakan.
“Maunya kemana?” mas Eko memecah kebisuan kami. Di depan agak jauh masih terlihat Yustina dan Elok. Mereka mau mencari bedcover lukis Bali.
“Ngikut mereka aja”, aku menunjuk ke arah Yustina. Sengaja aku mencari jalur yang aman yang sekiranya tidak bertemu dengan Budi.
“Ga mau kah jalan sama Budi? Ya ngomong aja. Kan beres.” Mas Eko menasehatiku. Tapi kurasa nadanya ketus.
“Wis ga usah dibahas. Aku ikut sampean. Ayo lihat mereka cari bedcover.”
Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Dalam hati aku membantah. Aku ini suka sampean, mas. Hanya saja, aku dan sampean ga pernah punya keberanian untuk bicara jujur dan terbuka, mengutarakan rasa yang sebenarnya. Aku senang memperhatikan sampean, begitu juga aku, senang sampean perhatikan.
Otakku berdebat dengan hatiku. Mata melihat berbagai barang seni tapi aku tak menikmati. Sama sekali. Hingga keluar dari pasar, aku sengaja menariknya ke toko mainan tradisional. Aku mengajaknya foto berdua. Aku minta teman lain ambil fokusnya. Kutarik lagi dia sampai ke galeri tas. Tas akar wangi yang dipajang di rak-rak menarik perhatianku. Baunya yang harum membuat aku tergoda untuk membelinya. Mas Eko masih setia menemaniku. Tak ada keluhan dan protes dari mulutnya. Wajahnya tetap adem, begitu juga matanya. Akhirnya terbelilah satu tas ukuran besar. Muat dua mukena dan sajadah dalam tas itu. Aku beli untuk ibu. Pasti suka, pikirku.
Kami masih berjalan berdua. Mengikuti beberapa teman yang sudah agak jauh di depan menuju bus. Mataku juga masih jelalatan melihat indahnya kalung dan aksesoris di sepanjang jalan. Jepit rambut bunga kamboja yang berwarna warni memikat mataku. Tapi aku tak lagi mampir untuk membelinya. Tanganku sudah kulepaskan dari ransel mas Eko. Ganti dia yang sibuk menarik lenganku saat aku jalan tak melihat orang lalu lalang. Takut lepas dan hilang.
Mungkin dia sungguh paham hatiku.
******
“Dari mana saja? Berdua terus ya…ga mau diganggu”, pertanyaan itu hanya lewat di telingaku. Aku tak menjawabnya. Sepertinya mas Eko juga tak bereaksi.
******
“Aku mau foto dulu. Mau tanya upacara ini, bila boleh mau foto dulu.” Mas Eko tersenyum mengiyakan. Terlihat agak jauh Sifin dan Dewo mendekati kami.
Upacara Pujawali sore itu sungguh berkesan di hatiku. Agama dari nenek moyang ini masih terjaga hingga saat ini. Adat ini pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pulau Dewata indah ini. Aku minta Sifin ambil gambarku bersama mereka yang siap upacara. Mereka tetap tersenyum meski aku tahu aku mengganggu persiapan mereka sembahyang.
Aku meninggalkan mereka yang berpakaian adat, dengan bunga di rambut para perempuan, ikat kepala dan bunga diselipkan di telinga para lelaki, dan dupa dan bunga di canangsari. Aku menuju ke pantai agak jauh dari tempat mereka sembahyang. Aku menikmati menuliskan sesuatu di pasir dan membiarkan ombak menghapusnya kembali. Melihat ada akar yang menonjol di tebing dekat pantai aku langsung lari ke sana. Aku mengajak yang lain berpose dengan latar unik tersebut. Aku merasa bisa tertawa lepas. Sifin yang berbaju hitam sama denganku saat itu langsung mendekat di sebelahku. Kami minta foto nuansa hitam.
Mas Eko cukup tersenyum. Aku pun sekilas menatap matanya yang teduh. Pandangan itu membuatku nyaman.
*****
“Tak perlu dijelaskan. Kamu sudah tahu sikapnya saat kau ikuti dia. Berarti dia menutup hati untuk perhatianmu. Sudah lah, daripada kalian tak bertegur sapa, lebih baik lupakan. Kembalilah biasa, seperti sebelumnya”, Yustina mengulang nasehat yang disampaikan ke Budi.
“Apa bilangnya lagi?” aku masih mengorek keterangan.
“Ga ada. Cuma dia bilang kecewa. Katanya kamu ga ada hubungan apa-apa sama si Eko, kenapa ga mau diajak jalan. Padahal ga berdua, ada ja yang lain”
“Ya ga suka, gimana?”
“Ya wis ga usah dilanjut. Kamu ngomong aja langsung nek ga suka”, Mak Kun ikut nimbrung menasehatiku.
“Lah kok aku yang disuruh ngomong duluan, yo dek e to sing kudu miwiti. Aneh, koq ujug-ujug nyedak-nyedak. Lah opo hubungane karo mas Eko.…aku lho ga ono opo-opo. Ga ngaruh ono mas Eko po ora.”
“Wis bubar-bubar. Sesuk ae nek wonge mrene yo ngomongo, nek ora ya wis jarke wae. Wis ayo sholat”, mak Kun akhirnya mengajak aku dan Yustina bubar.
Mushola kecil di kos itulah tempat ternyaman untuk kami curhat. Kadang kami bisa ngobrol sampe larut malam setelah ngaji.
*****
Kenangan di Bali kubiarkan bersemayam di benakku.
Aku dan mas Eko tetap seperti dulu. Aku tetap menghormatinya. Dia pun sama. Tak terucap sepatah kata suka atau cinta. Tapi perhatian kami tetap seperti sedia kala.
*****
Selang waktu yang cukup lama kami habiskan untuk berkutat dengan tugas-tugas. Semester delapan kami seperti induk burung, terbang mencari makanan dan kembali ke sarang jika sudah mendapatkan banyak ulat. Perpustakaan menjadi singgahan utama. Banyak waktu kami habiskan di sana selain ke rental komputer, ngetik. Aku dan mas Eko pun jarang bertemu. Kami hampir tak tahu menahu kabar masing-masing. Bertemu pun jarang.
“Ingat ga, perempuan yang kuceritakan dulu? Dia masih menungguku”
“Kapan ketemu? Pulang hari raya kemarin? Ya udah tanyai dulu serius ga. Sampean juga gimana?”
Matanya menatapku dalam, hampir tak berkedip. Bibirnya kemudian mengumbar senyum. “Yakin? Setuju kah aku sama dia?”
Tari, adalah gadis yang pernah mas Eko ceritakan saat kami usai PPL. Dia adik kelas saat di SMK dulu. Foto tak pernah ia tunjukkan. Cerita pun setengah-setengah. Aku tak tahu banyak tentangnya juga perasaan mas Eko sendiri terhadap gadis itu. Tapi, aku tetap sayang mas Eko. Aku menghormatinya.Tak ada rasa kecewa atau benci saat dia cerita tentang pertemuannya. Namun tak juga dia ceritakan tentang perasaannya.
“Kamu ga sayang aku?” mas Eko masih dengan senyum lebarnya. Entah apa maksudnya dengan pertanyaan itu. Aku mengalihkan pandanganku. Angin sejuk yang menerpa teras BAAKPSI seakan menjelajahi isi benakku dan mas Eko. Kami bertemu tanpa sengaja saat sama-sama mengurus KHS. Sudah tak banyak teman yang kami temui. Sudah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi ada yang sudah nyambi kerja selepas PPL.
Aku masih terdiam. Pikiran dan hatiku masih bimbang. Aku tak yakin dengan rasaku sendiri. Apa benar aku tak menginginkan ikatan serius? Jawabnya tetap tidak.
“Ortu sampean setuju ga? Kalo sudah restu kenapa tidak?” terasa berat aku mengeluarkan pertanyaan itu. “Jangan lupa undangannya nanti ya. Kenalkan aku jika dia dampingi wisuda.”
“Kamu?”
“Aku agak lambat kayaknya, ini baru ambil data. Tadi sudah ketemu bu Kutsi. Suruh lanjut bab empat. Besok juga pulang lagi. Bulan depan baru selesai, jadwalnya.”
“Jadi ga bareng nih? Sukses terus ya. Jaga kesehatan, ingat maag jika lembur. Jangan lupa beri kabar juga, masih ada to alamatku?”
Dia mengulurkan tangannya, menjabat tanganku erat. Serasa aku pun enggan melepaskan. Dewo sudah memanggil dari kejauhan. Motornya sudah siap berjalan. Dia hanya melambaikan tangannya. Sambil tertawa dia mengepalkan tangannya dan memukulkan ke dadanya, menyemangatiku. Aku pun balas dengan lambaian tangan saja. Aku masih berat melepaskan pandanganku dari wajah teduh di hadapanku. Dia menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Harapanku itu bukan sapaan hangat terakhir untukku.
Aku yakin dengan keputusanku. Hanya dengan senyuman dia memberikan jawaban tentang undangan yang kuminta. Tak apa buatku. Setidaknya aku sudah menyumbang sedikit saran untuk hubungannya dengan Tari. Semoga dia gadis pilihan terbaiknya. Aku pun harus kembali pada skripsiku. Perjuanganku belum selesai. Aku tak secepat mas Eko, yang tinggal menunggu jadwal ujian. Tak perlu menanyakan pun aku sudah tahu bahwa kesempatan untuk bertemu dia tinggal beberapa bulan lagi. Sementara aku harus pulang kampung menyelesaikan penelitian.
Aku lega. Sungguh tenang mengingat senyumnya. Aku menghormati dan menyayangimu layaknya kakakku. Aku tak kan lupakan perhatian dan kebaikanmu. Semoga berhasil doaku untukkmu.
*****
“Siapa aja yang wisuda?” Tety, teman yang paling akrab di kelas, menegurku dari belakang saat aku duduk istirahat di gazebo depan kampus. Tety belum ikut wisuda tahun ini. Dia baru menyelesaikan penelitiannya. Dari gazebo itu aku menerawang sesaat mengingat kebersamaan kami ketika masih sering kuliah bersama-sama. Setiap istirahat selalu bercanda di lobi atau di teras. Pohon kersen masih kokoh berdiri di depan kampus. Pohon itu sudah ada dari awal kami masuk.
“Sembilan orang aja dari kelas kita. Tapi pasti banyak tahun depan, termasuk kamu. Masa kamu ga kasian mas Candra nunggu lama!”
“Bapak ibu datang ga?” Tety langsung mengalihkan pembicaraan. Padahal aku sudah tahu kalau dia dan mas Candra sudah direstui orang tuanya. Mas Candra lulusan Pendidikan Jasmani dan Olahraga itu kini sudah bekerja. Dia menjadi pelatih panahan di kota kelahirannya, Blitar.
“Ga say, undangan kan cuma dapat satu aja. Sudah aku telpon juga, aku matur kalau ga hadir juga ga apa. Banyak aja temannya”. Dalam hati aku berharap mereka datang, tapi seremonial seperti ini tak terlalu penting. “Kamu aja nanti ikut masuk ya. Biar ketemu yang lain.” Aku membujuknya.
Dia tersenyum tanda mengiyakan.
*****
Kebanyakan orang sangat bahagia saat wisuda. Bagiku, kebahagiaan itu saat aku menyelesaikan ujian dengan baik. Memasuki gedung Islamic Center Surabaya, aku berharap bertemu dengan teman seni rupa. Yang pasti aku tak kan bisa menemui mas Eko. Tapi setidaknya bisa menanyakan kabarnya jika aku bertemu beberapa di antara mereka.
Nihil.
Aku tetap bangga. Seperti inilah perasaan mas Eko saat wisuda. Moment indah terakhir bersama teman-teman tercinta, meski mungkin hanya sebagian dari mereka yang bisa tuntas dalam waktu bersamaan.
Tety melambaikan tangannya. Di sampingnya sudah berdiri keempat teman sekelasku yang sudah cantik bersanggul mengenakan toga. Yang lain mungkin belum datang atau malah sudah duduk di kursinya. Keceriaan kami tak terbayang sebelumnya. Hampir dua semester tak bersama karena masing-masing sibuk tanpa kabar. Bertemu saat ini pun tak terduga. Pasti ada saat tak terduga lainnya di masa yang akan datang untuk mempertemukan kami, meski hanya beberapa diantaranya.
Harapan yang sama kutanam di hatiku untuk bertemu mas Eko.
*****
Aku tak melewati jalan ini selama hampir dua puluh tahun, sejak akhir SMP. Hari ini aku hanya mengantar anak sulungku jalan-jalan sambil melihat suasana pesantren di Ponorogo. Anak sulungku minta melanjutkan sekolah di Jawa. Aku mengarahkannya ke pesantren dan ia menyetujuinya. Hari belum terlalu siang. Aku mengajak suami melanjutkan perjalanan ke Pacitan. Ini kali ketiga aku berkunjung ke kota ini. Yang pertama dan kedua aku ikut bibiku yang bertugas menjadi bidan desa dan saat pernikahannya. Menyeberang sungai yang cukup lebar saat itu cukup menantang keluarga dan kerabat yang menghadiri acara pernikahannya. Tapi aku sudah lupa daerah mana.
Aku meminta suami menuju ke kotanya. Mumpung sudah dekat tak ada salahnya. Jika kemalaman di jalan bisa telpon bibi dan nginap di sana, pikirku untuk cari aman. Suasana pegunungan dengan jalan berkelok tak membuat anakku yang kecil rewel. Dia asyik melihat keluar jendela mobil. Pemandangan yang tak pernah dilihatnya di Pangkalan Bun. Hanya perbukitan yang bisa kami nikmati di daerah kami tinggal.
Setelah memasuki kota, suami langsung buka googlemap untuk mencari arah alun-alun. Seperti biasa, setiap berkunjung ke suatu tempat, suamiku selalu mencari alun-alun terlebih dahulu. Di Jawa, bisa dipastikan bahwa kami akan menemukan masjid di sebelah barat alun-alun. Di sana kami bisa istirahat dan membawa anak bermain di alun-alun untuk menunggu waktu dhuhur tiba.
Setelah hilang rasa penat dan anak-anak pun sudah puas bermain, kami melanjutkan perjalanan. Mobil tak bertujuan yang kami kendarai melaju pelan. Berpasang mata dalam mobil berputar-putar melihat samping kiri kanan jalan. Semua berusaha mencari menu makan siang yang cocok dengan selera perut kami. Aku sendiri mencari makanan khas daerah untuk oleh-oleh. Dulu, bibi selalu bawa jenang wijen khas Pacitan. Aku suka kenyalnya. Meski biasa jenang itu manis, yang dari daerah ini beda. Ada gurihnya. Jadi ga ada rasa eneg jika makan terlalu banyak.
Tiba-tiba anak sulungku meminta ayahnya berhenti. Dia menunjuk sebuah warung. Ada bakso ikan tuna katanya. Aku pun mengiyakan. Mereka langsung menyerbu masuk seolah sudah langganan. Dengan beraninya mereka memesan menu masing-masing setelah mendapat meja. Aku masih berdiri di depan warung. Suamiku ternyata sudah berjalan menjauh. Dia memperhatikan kayu bengkok penuh ukiran di sebelah warung. Setelah aku ikuti dan perhatikan ternyata banyak sekali ukiran di sana. Dia masuk ke rumah kecil itu, seperti galeri pikirku. Ada sepasang kursi di teras. Tak simetris tapi indah penuh ukiran. Aku masih mengikuti suamiku masuk ruangan rumah itu. “Piro regane ngene iki, full ukiran kabeh.” Dia bergumam saat berhenti memperhatikan kursi goyang unik penuh ukiran. Aku memutar kepalaku, mencari-cari pemilik rumah itu. Di sudut ruangan aku melihat tulisan Ukir Akar Kayu Jati. Batik Tulis Eko-Tari. Galeri Grafis. Di sebelahnya terbentang beberapa helai kain batik. Cantik. Mataku langsung hijau melihat batik hitam di situ. Seolah tersihir, kami lupa dengan anak-anak yang makan bakso di warung sebelah.
“Ayo yah, baksone wis siap.” Teriakan si bungsu mengingatkan kami berdua. Ayahnya mengangguk dan menyuruhnya kembali menghabiskan bakso duluan. Suamiku masih memperhatikan beberapa hiasan dinding. Matanya tertuju pada gunungan. Saat dia menuju ke ukiran itu, seorang perempuan keluar dari dalam. Dia tersenyum dan menyapa kami. Suamiku langsung bertanya harganya. Aku pun sama. Menanyakan batik yang mempesonaku. Di ujung kain kulihat tulisan Eko-Tari. Seolah berada di lorong waktu, memoriku melompat ke masa beberapa tahun silam. Benarkah aku dipertemukan kembali dengan orang yang kusayangi, galau dalam benakku.
“Ini batik tulis? Mbak Tari yang mbatik ya?” aku menodongnya dengan pertanyaan sembari memegang kain batik hitam, warna favoritku. Meyakinkan kalau dia adalah Tari, orang yang dulu aku tahu hanya dari namanya saja.
“Iya, mbak. Ini juga ukiran kami sendiri. Monggo kalau mau pesan dan desain sendiri.” Dia menjawab dengan lembut sambil mengulurkan tangannya menyalamiku dan suamiku. Bibirnya tersenyum. Cantik. Tak lama kemudian dia memanggil seseorang. Keluarlah laki-laki yang tak asing di mataku. “Suami saya akan bantu mencari desain yang cocok. Beliau juga nanti yang mengerjakan ukirannya.”
“Lha wong mlaku-mlaku ae, pesen lakyo kesuwen. Iki gunungane, pinten?” suamiku menawar langsung karena mau segera menyusul anak-anak di warung bakso. Tak lama anak bungsuku muncul lagi. Dia bersama kakak-kakaknya mau menghabiskan bakso yang dipesan untukku dan suamiku. Suamiku mengiyakan. Dalam sekejap dia sudah hilang. Mungkin bakso dengan rasa baru itu cukup memikat lidahnya untuk terus mengecap kunyahan bola-bola daging ikan tuna.
“Ga usah, Mas. Di asto mawon.” Mas Eko menyahut pelan, tapi sigap mengambil ukiran gunungan yang dimaksud suamiku. “Monggo…” Lanjutnya sembari mengulurkan tangannya menjabat tangan suamiku.
“Aku Eko, Mas. Teman Nia di kampus Lidah Wetan dulu. Ga sekampus, tapi sering ketemu. Alhamdulillah aku disambangi. Ngapunten Mas, garwane pancet koyo isih cah kuliahan wae. Monggo pinarak…”
Suamiku hanya mengangguk dan tersenyum. Raut mukanya tak berubah. Bukannya duduk di kursi yang ditunjuk oleh mas Eko, dia berjalan ke samping dalam rumah tersebut. Terlihat di luar pintu ada bangku panjang dan beberapa orang yang bekerja. Mungkin mereka pekerja di galeri tersebut. Mas Eko mengikutinya dari belakang. Antara kawatir dan gembira, aku pun berburuk sangka. Aku takut ada perjanjian empat mata antara mereka. Aku tak pernah cerita apa pun tentangnya. Semoga kejadian tak terduga ini bukan masalah bagi kami semua.
Mereka sepertinya berbincang serius bersama orang yang bekerja di luar ruangan. Tari mengajakku masuk ke dalam. Ada dua ibu-ibu yang duduk serius. Di hadapan mereka terbentang kain putih berpola. Mereka lihai memainkan canting mengikuti pola di kain itu. Dipersilakan aku duduk lesehan di atas tikar pandan warna warni. Disodorkannya bantal untuk alas dudukku. Di depan kami ada setumpuk kain batik. Di sebelahnya ada setumpuk plastik, mungkin untuk membungkusnya. Beberapa diantaranya sama persis, mungkin pesanan. Kain-kain itu belum di bungkus, tapi sudah terlipat rapi.
“Putro pinten Mbak? Kok sepi?” tanyaku memulai, sementara dia memulai mengemas batik itu. Tangannya gemulai tapi terampil.
“Kalih Mbak, sing alit bobok ten kamar, sing mbarep ndherek akunge. Wingi tindak mriki, lajeng katut. Njenengan?” kemudian dia menunjukkan foto keduanya. Entah darimana dia mengambil, aku tak melihatnya.
“Tiga. Sekedap nggih, Mbak…ningali lare-lare” Aku seakan diingatkan dengan anak-anakku yang lagi menikmati bakso. Aku langsung berdiri, setengah berlari aku menuju warung bakso ikan di sebelah galeri. Kulirik suamiku masih asyik ngobrol di bengkel ukir, malah mereka berjongkok di depan orang yang sedang bekerja.
*****
Hiasan dinding ukiran akar jati dari Pacitan, tepatnya hadiah dari mas Eko menghiasi dinding ruang tamu kami. Ukiran itu tak besar, tapi unik. Suamiku suka, karena bisa dibongkar pasang.
“Mengko tuku kaca gedhe pasang nek tembok sebelah.” Dia bilang mas Eko menyarankan lebih baik jika dipasang cermin di seberang ukiran itu. Selain ruang terlihat lebih luas, akan terlihat seperti ada dua hiasan di ruangan.
“Mas Eko nitip pesen, jaga awake jarene” suamiku mengingatkanku. Dia tersenyum dan mengecup keningku.
“Suwun dadi garwaku,” bisiknya sebelum berangkat ke kantor.
Hangat.
*****
“Ada kabar dari Nia?” mas Eko mengorek keterangan dari Yustina. Dia bersama teman-teman alumni seni rupa yang kembali ke kampung halaman hadir dalam pembukaan galeri Ukir Akar Kayu Jati. Tak banyak, tapi support mereka kepada teman-temannya sangat hebat. Biasanya sekaligus reuni dan jalan-jalan.
“Wisuda kulihat dia sendirian aja, aku ga tahu kalau orang tuanya hadir. Aku juga ga sempat tegur sapa sama dia. Tapi kabar dari mak Kun dia merantau ke Kalimantan. Dia kirim foto anaknya.”
“Tenanan? Alhamdulillah kalau sudah nikah”
“Ga nyesel?” Yustina menodongnya.
“Ya ga lah. Mungkin ga sempat kasih kabar. Mudahan sukses selalu” Senyumnya masih merekah di bibirnya.
“Seperti kamu. Galeri sudah berdiri. Tinggal mboyong istri. Nia sudah ga ada, ya pilih lainnya lah” Canda Yustina.
“Iya, Yus. Salahku juga dulu aku ga tegas. Ga ada apa-apa itu ucapan di mulut aja. Hatiku tidak. Mungkin Nia sama. Mungkin dia nunggu aku yang memulainya. Mungkin bukan jalannya, Yus. Berarti ini isyarat, aku harus putuskan untuk jemput Tari” Ucapnya tenang tapi suaranya berat. Tidak terlihat penyesalan, tapi matanya berkaca-kaca. Tari, gadis yang pernah diceritakannya, bekerja dan mendalami ketrampilan membatik di Yogyakarta.
*****
“Diasto nggih Mbak, kagem ngantor utawi kondangan. Niki batikan kula piyambak” Tari menyerahkan goodybag dari kertas dengan bergambar wayang dan ukiran cantik. Isinya mungkin kain karena lumayan berat.
“Sampun ngrepoti to Mbak.” Terasa berat menerima bingkisan itu. Jika benar batik tulis yang asli dikerjakan tanpa mesin maka harganya mahal. Jika aku menolaknya, dia pasti tersinggung. Dia meraih tanganku agar menerima tas itu.
“Maturnuwun rawuhipun…” Serasa ada magnet yang menarik raga kami berdua hingga kami berpelukan sebelum pamit pulang. Dia berbisik pelan menyampaikan harapannya semoga ada kesempatan untuk bisa bertemu kembali.
Hangat dan terkesan.
Ngapunten Mbak.
Aku tak tahu kau sebelumnya. Tapi aku tau dari Mas Eko bahwa di hatinya kau laksana kejora di antara ribuan bintang di sana. Aku ingin menjadi kejora itu dan menggantikan kau di hatinya. Kau sungguh orang beruntung dapat singgah di hati Mas Eko.
Maturnuwun.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ceritanya asli keren. Saya usul dibuat bersambung saja per 300-500 kata. Tabiat pembaca blog tidak tahan membaca panjang. Sayangkan kalau diskip.
Makasih
Mas Ekooooo... hihihihi Bagusss Bu
Mas Eko yang oke... Enten upacara Pujawali .. Apa semisal Panggih manten , bu ?
Gegara pemred mas Eko jadilah cerpen ini. Pujawali di Tanah Lot ini bukan acara adat pernikahan, tapi sembahyang, puja kepada Dewa