Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Melati Perkenalan

Melati Perkenalan

Asalamualaikum.

Salam kenal untuk seluruh gurusianer. Beberapa tulisan saya yang dulu pernah terunggah dan tersimpan rapi di laman ini lenyap ketika gurusiana sedang bermasalah.

Apa kabar kawan-kawan yang lama tak bersapa? Harapan terbaik kita semua selalu sehat dan terus mampu berkarya untuk bangsa dalam versi terbaik kita masing-masing.

Bagi kawan gurusianer yang memesan buku saya akan memdapatkan bonus satu pot melati kualitas terbaik.

Salam literasi.

Wassalam.

Kutemukan barisan dalam kertas lusuh yang kutemukan dalam tas kain yang ditinggalkan Melati di teras rumahku. Sebuah buku berjudul Pesona Seragammu yang bersampul merah muda bersemu ungu turut bersembunyi di dalam tas itu.

Aku bergegas mengambil ponselku. Melati pasti belum jauh setelah pamitan lima menit yang lalu. Dia mungkin belum tiba di depan gang dan menunggu angkot yang bakal membawanya pulang. Katanya dia janji menemui ibu kosnya, untuk membayar sewa kamar yang menunggak dua bulan.

"Aku kan masih mengandalkan bonus dari reseller buku-buku kawan-kawan penulis yang menitipkan mencetak di Penerbit Karyakita. Alhamdulillah, ketika aku dapat kesempatan me-lay out buku, aku dapat tambahan buat biaya kuliah adikku."

Aku selalu kagum pada perempuan berparas ayu yang kukenal saat iseng mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Media Guru. Meski aku sudah bekerja sebagai tenaga honorer bagian administrasi di sebuah sekolah dan mengerjakan berkas-berkas guru, aku masih bisa memdapatkan ijin untuk mengikuti pelatihan. Tentunya dengan biaya sendiri.

"Kita harus terus bersyukur, Mbak. Apapun yang sudah Allah berikan pasti yang terbaik. Melati nggak tahu seberapa sulit ujian yang Mbak hadapi setelah suami Mbak meninggal. Pastinya sulit menghapus kenangan dengan orang yang sangat kita cintai. Begitu pula perasaan Melati ketika mengingat ibu."

"Tapi kami begitu mulia, Melati. Kamu begitu menghormati ibu tiri yang menyewakan kamar kos untukmu. Perlakuan yang tidak menyenangkan menurutku kamu hadapi dengan begitu sabar."

"Melati beruntung, Mbak. Dengan beliau memberikan kelonggaran pembayaran artinya beliau sayang. Dengan beliau memberikan tuntutan sewa, artinya beliau mengajariku untuk bertanggung jawab, untuk terus bekerja."

Dering telepon terdengar nyaring dari teras. Ah, Melati meninggalkan ponselnya juga di dalam tas kain itu. Aku harus menyusulnya. Barangkali ada berkas penting yang diperlukannya.

Aku bergegas menyalakan motor dan melajukan menyusuri gang menuju jalan raya. Di ujung gang kumelihat Melati masih berdiri di dekat gerbang. Seorang pria sedang berhadapan dengannya. Sepertinya ada pembicaraan serius. Tangannya menggenggam sebuah pot bunga melati. Aku berhenti tanpa menyapa mereka berdua.

"Ini pesanan Mbak Melati."

"Tolong besok antarkan satu pot lagi, ya, ke kos saja. Aku mau jenis yang sama seperti ini."

Pria itu segera pergi. Sekilas aku melihat wajah yang tak asing dan membuatku lemas.

"Mbak mengenali pria yang mengantar bunga tadi?" tanya Melati lirih.

Aku mengangguk. Ingatanku melayang pada beberapa purnama silam. Wajah teduh yang selalu bercerita tentang kegiatan anak-anak yatim piatu di rumah singgah yang dikelolanya seusai salat magrib bersama. Senyum yang menghiasi bibirnya ketika setiap Jumat pagi aku membantunya mengisi rantang berisi menu istimewa buat mereka. Pesan terakhir sebelum dia menutup mata karena kelainan jantung yang dideritanya.

"Jagalah dia sebaik kita menjaga saudaranya yang selalu mendoakannya," ucapnya pelan sambil mengelus perutku yang belum membuncit sebelum dia menutup mata karena kelainan jantung yang dideritanya.

"Sabar, ya, Mbak. Pria tadi adalah kembaran bang Ardi yang baru datang dua bulan lalu, setelah Abah mencari orang tua yang telah mengadopsinya."

Melati merangkulku, mengusap lembut punggungku, menguatkanku bahwa aku tak sendiri. Meski tak berucap, sorot matanya mengatakan bahwa dia akan selalu ada bersamaku.

Ah, Melati. Kau baru kukenal dalam hitungan hari, tapi kehadiranmu bagai malaikat yang dikirimkan Allah untuk menjagaku.

"Buku Pesona Seragammu ini sengaja kutulis agar orang-orang yang berstatus honorer seperti Mbak tidak akan hilang semangat untuk berkarya, bagaimana pun bentuknya. Seragam itu memang menjadi dambaan setiap orang. Yang perlu diingat adalah tanggung jawab yang diemban dari sebuah tugas yang dibebankan, bukan besarnya imbalan atau gaji yang diterima lalu membuat mereka lalai."

Ah, Melati. Kau mengingatkanku pada seorang guru honorer yang sepuh di sekolahku. Meski tak ada kenaikan gaji, selama sekolah masih memerlukan tenaganya mendampingi siswa belajar, berapa pun jam yang dia dapatkan dia selalu bersemangat.

"Tanggung jawab kita adalah di hadapan Allah, bukan hanya kepala sekolah dan orang tua." begitu ucapnya menentramkan.

Palangka Raya, 19 September 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

19 Sep
Balas



search

New Post