Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web

OJEK

Jika kita berkunjung ke suatu tempat dan ada orang yang kita kenal, otomatis teman kita akan siap menjadi OJEK kemana pun kita mau pergi. Jika pun ada halangan, akan ada segera armada lain yang siap menggantikan. Pun jika kita kedatangan teman dr jauh di daerah kita, harus siap luangkan waktu mnjadi OJEK sekalgus GUIDE. Bukankah begitu yang disebut teman dan saudara?

Aku mengenal ojek sudah lama. Jika terhitung sejak SMP, itu berarti aku sudah mengenalnya selama 25 tahun. Bahkan jika dihitung sejak aku ikut Simbah berkunjung ke toko mas di kotaku yang jaraknya sekitar 20km, becak menjadi satu-satunya “ojek” kala itu. Setiap saat turun dari bis, para tukang becak itu sudah menyambut kami dengan ramah. “Tindak pundi, Bu? Monggo.” Sapanya sambil menyiapkan becaknya. Sistemnya juga sudah rapi seperti ojek sekarang. Yang akan mengantar kami adalah tukang becak yang sudah mendapat giliran “narik” penumpang. Berapa bayarnya? Kala itu yang kuingat seribu rupiah. Itu pun saat ongkos naik bis masih sekitar lima ratus rupiah.

Naik becak itu aman dari panas. Semua juga pasti tahu. Tudung yang dipasang di atas tempat duduk penumpanglah yang menahan terik matahari menyengat kulit penumpang. Sementara si bapak cukup menggunakan topi atau caping. Inilah nikmatnya naik becak. Santai. Angin semilir yang menerpa wajah dan kulit kita membuat hati semakin nyaman. Terlebih lagi jika diajak ngobrol sama bapaknya. Bagaimana kecepatannya? Dulu, kita sepertinya tak pernah terburu waktu. Kecepatan naik becak yang seperti itu. 20km perjam mungkin.

Bagaimana jika hujan? Ada plastik penutup khusus yang bisa diturunkan untuk menutupi air hujan dari arah depan. Plastik yang transparan itu membuat kita masih bisa menikmati suasana di perjalanan. Jika kebetulan plastiknya kusam, pemandangan menjadi buram. Inceng-inceng, itu kelakuanku jika hujan. Kenikmatan yang jarang bisa dirasakan oleh anak sekarang. Jaman sudah beda. Keinginan tak sama. Kesan terhadap sesuatu pun tak kan senada.

Becak bermotor kini sudah lebih dari jumlah jari kaki dan tangan. Mesin ini sangat membantu dan meringankan kaki mengayuh mengantar penumpang. Konsekuensinya memang biaya bensin berlipat. Bensin untuk pengemudi dan mesin. Di beberapa tempat jenis kendaraan ini memang menjadi kendaraan pilihan banyak orang terutama keunikannya karena bisa memuat banyak barang dan mudah masuk gang. Gorontalo dan Medan salah dua dari beberapa kota yang terkenal dengan bentor. Hanya sedikit pebedaan, yaitu letak sepeda motor dan pengemudinya. Pengemudi bentor di Gorontalo ada di belakang penumpang. Sementara, bentor Medan pengemudi dan penumpang hampir sejajar, karena kursi penumpang ada di samping motor. Pandangan pengemudi tak terhalang. Aman. Inovasi dan variasi ini pun terjadi di banyak kota yang masih menjaga becak sebagai salah satu alat trasportasi tradisional.

Lalu apa bedanya dengan ojek? Bagiku, kurang lebih sama. Ketiganya, becak, bentor dan motor adalah kendaraan untuk mengangkut penumpang maksimal dua orang. Ketersediaan, kenyamanan, kepentingan, jangkauan tujuan, dan banyak faktor lain yang akan berpengaruh pada pilihan menggunaan jasa transportasi ini.

Ini salah satu konteksnya.

Saat itu, aku melihat seorang ibu berjalan keluar dari gerbang pondok dan menuju pangkalan ojek. Sebuah spanduk yang tergantung di pos itu mengisyaratkan bahwa ojek ini memang khusus melayani para orang tua yang menjenguk anak-anaknya di pondok. Selembar papan yang menempel di pohon besar bertuliskan “STOP GRAB TAXI ONLINE GO-CAR, GOJEK UBER, DLL”. Memang, tak terlihat tanda baca koma dan titik di beberapa tempat yang seharusnya, karena memang tertulis menurun.

Sebuah spanduk besar sudah terpampang di depan pangkalan ojek tersebut. Spanduk itu jelas menunjukkan bahwa di situ lah seharusnya pengunjung meminta bantuan berbayar untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Untuk masalah harga memang lebih tinggi dari layanan on-line yang sudah beredar luas di masyarakat. Karena sudah peraturan dan diberlakukan di lingkungan pondok dan wilayah sekitarnya, maka masyarakat pun mendukung. Mengapa ojek biasa bukan online? Bukankah kita juga tahu, sebagian besar pesantren tidak mengijinkan santrinya memegang HP? Aneka gawai, laptop, dan alat komunikasi yang terhubung oleh jaringan satelit yang digunakan oleh ustadz dan ustadzah pun dibatasi. Hal tersebut diberlakukan bukan karena mereka menutup diri dari perkembangan zaman. Justru mereka membekali santri agar tidak bergantung dan tergantung pada kemajuan teknologi.

Pertanyaan mengapa dan seterusnya itulah yang selalu menghantuiku. Namun saat menemukan tulisan pangkalan ojek khusus pondok itulah aku baru sadar. Sadar apa? Sadar bahwa sesungguhnya teknologi itu hanya mempermudah hubungan keluarga yang terpisah jarak, sahabat yang tinggal jauh di benua lain, guru yang hidup di wilayah yang berbeda waktu. Teknologi itu bukan untuk menjauhkan siapa saja yang dekat. Tanpa teknologi, tegur sapa dengan siapapun yang ditemui adalah utama. Bukankah tetangga adalah keluarga yang paling dekat. Itulah nilai sosial yang ditanamkan pendiri dan penerus pondok pesantren itu. Di mana pun kamu tinggal, kamu harus belajar hidup bersama mereka. Aturan dan budaya yang menjunjung tinggi toleransi sosial itulah yang akan membantu kita bertahan hidup bersama mereka. Kegunaan ilmu yang kita miliki yang kita pelajari dari buku dan kitab adalah sebaik bekal untuk diaplikasikan dalam masyarakat, bukan dengan gawai.

Saat kukaitkan dengan ojek, maka hubungan sosial antara pengemudi dan santri adalah ibarat pagar dan tanaman. Pengemudi menjadi pagar yang ikut serta menjaga santri sebagai tanaman agar dapat belajar penuh dengan segala aturan hidup dalam pondok. Inilah contoh simbiosis mutualisme yang terjalin antara pondok dan masyarakat. Masyarakat pun ikut terbantu dalam hal ekonomi jika banyak orang tua atau kerabat santri yang berkunjung. Perjalanan dari muara jalan raya ke pondok dan sebaliknya, atau berbagai tujuan yang diinginkan penumpang, maka bapak-bapak tukang ojek akan siap mengantarkan. Lebih mahal? Tak mengapa. Pada dasarnya semua manusia wajib saling membantu. Dari situlah amal dan pahala saling ditautkan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju Bund, setiap orang butuh orang, karenanya saling membantu merupakan keniscayaan. Sukses selalu dan barakallah

03 Feb
Balas



search

New Post