Pelatihan sagusabu, MWC II dan Pangkalan Bun, adalah dua kesempatan terbesarku untuk berlibur.

Begitu ya?

Tentunya saat aku keluar dari rumah aku bebas dari tugasku sebagai ibu. Itulah liburanku. Memang, aku harus memasang telinga dan membuka memori lebar-lebar agar materi bisa masuk. Aku juga harus berkutat dengan pulpen, kertas, atau laptop. Pisau dapur kutinggalkan. Cucian dan seterikaan kulupakan. Gelar "macan ternak" pun kutanggalkan.

Aku menjadi diriku. Aku bebaskan imajinasiku. Aku biarkan mimpiku berkembang.

Tapi, aku tak lupakan satu hal. Sederet tugas ibu telah kupindahtangankan ke suami tercinta, ayah anak-anakku. Di saat inilah aku sangat bersyukur. Ijin cuti sebagai ibu tak ia tunda untuk dikeluarkan. Besarnya biaya tak ia permasalahkan. Bahkan, lama liburan pun tak ia pertanyakan.

Semudah itu?

Tentu tidak.

Aku sudah siapkan segalanya. Ayam, tahu, tempe bumbu sudah siap. Gadisku yang kini duduk di kelas 6 dengan senang hati bisa menggorengnya. Sambel trasi semangkok sudah tersedia. Sayur siap rebus pun ada. Seragam anak-anak juga baju kantor suami siap dan rapi untuk beberapa hari je depan hingga aku pulang. Kue, cemilan, dan pernak-pernik makanan untuk anak-anak sudah tersusun di meja makan. Aku pun ringan melangkahkan kaki ke tujuan.

Kegiatan berakhir tanda libur selesai. Aku siapkan hati untuk kembali melaksanakan tugas mulia yang sudah terjanji kontrak seumur hidup. Kebahagiaan terbesar saat aku libur adalah saat anak-anak selalu bertanya kapan induknya ini pulang.

Melihat suamiku tersenyum saat aku tiba menjadi kebanggaan tersendiri. Keceriaan itu menjadi semangatku untuk segera berbenah. Membersihkan dan merapikan isi rumah yang berantakan, segera menyelesaikan cucian dan seterikaan serta menyiapkan menu makan untuk mereka.

Terimakasih ayah, kata-kata terbaik yang patut aku ucapkan untuk setiap kebaikanmu.