Tandur; kok malah mundur?
Sawah, pematang, sungai, kelapa dan teman-temannya lekat dengan pedesaan. Apa yang terpikir jika kita mendengar atau membaca kata “sawah”? Desa, hijau, padi, irigasi, tumpangsari, petani, macul, kebo (kerbau), luku, sengkedan, dan palawija. Masih banyak lagi kosa kata terkait lainnya.
Sawah menjadi tempat dan lahan utama bagi petani untuk kerja profesionalnya. Petani dahulu sangat akrab dengan musim. Musim adalah sahabat terbaiknya mengelola lahan menjadi hasil yang bermanfaat juga berlimpah. Sistem irigasi mereka pelajari turun temurun. Beberapa perbaikan dan pengembangan dilakukan karena perubahan musim dan kondisi alam. Ada beberapa jalur irigasi yang tertutup atau dialihkan karena pembangunan jalan bahkan rumah pribadi. Warga desa yang profesi utamanya petani tak mudah merelakan sawah miliknya berubah menjadi bangunan rumah, meski ada beberapa pengecualian. Jika anak-anak mereka sudah mapan dan punya pekerjaan yang tidak menggantungkan pada sawah, lahan itu bisa berpindah tangan. Bisa hanya disewakan bisa juga pindah tangan. Bangunan baru sebagai tempat usaha yang lebih bersih dan modern pun menggantikan sawah berlumpur dan kotor.
Macul adalah kata yang lekat di telingaku saat melihat paman tetangga rumah memanggul cangkulnya dan menjinjing sebotol kopi. Jika sudah begitu, warga lain mulai sibuk dengan tugas masing-masing di lahan berlumpur itu. Beberapa orang “nggelak kebo” dan menggiringnya ke sawah. Dengan terampil mereka memasangkan piranti “luku” dan segera mengolah tanah agar bisa segera ditanami. Cangkul dan bajak adalah senjata utama mereka. Namun bajak dengan tenaga kerbau sudah banyak digantikan oleh mesin.
Ibu-ibu dengan capingnya, mulai membersihkan rumput-rumput yang ikut tumbuh di tempat persemaian padi. Beberapa hari lagi benih yang sudah sejengkal itu bisa dicabut dan dipindahtanamkan di lahan. Tandur, itulah namanya. Proses menanam itulah yang unik. Jika “ulur” benih palawija seperti kacang dan jagung itu kita bergerak maju. Menanam padi ini kebalikannya. Ibu bercaping itu malah berjalan mundur. Jika maju, benih padi yang sejengkal itu pasti hancur. Kenapa? Tentu karena terinjak oleh kaki mereka. Langkah menyamping ke kiri dan ke kanan menjadi pola lantai saat mereka menyelesaikan tugas indah mereka. Tanpa penggaris, tanpa tali dan tanpa titik, mereka lihai menyematkan benih dengan indah.
Namun, pengalamanku yang sekejap saat masih SD terekam kuat di ingatan. “Wis Nduk, ndang mulih ae, ora usah melu cawe-cawe mundak bubrah kabeh.” Ucap bibi-bibi yang kukenal di sebelah rumahku sambil menyuruhku pergi. Baru menanam benih sedikit sudah terusir. Main lumpur tak bisa dilanjutkan lagi. Taka pa. Mungkin sambil menyuruhku pulang, beliau-beliau berdoa agar suatu hari saya tak berkutat dengan lumpur di sawah.
Alhamdulillah, sawah yang kupunya bersih dari lumpur, karena aku berkutat dengan buku, siswa dan bangunan sekolah. Terima kasih desaku, terimakasih para petaniku. Beras yang kau hasilkan telah memberi tenaga pada tubuh dan jiwaku untuk terbang jauh untuk belajar.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Saya juga anak petani Bu, bahkan tandur kalau di kami Banten namanya nandur, jalannya memang harus mundur supaya tidak merusak hasil tanam sebelumnya