Tidak naik kelas???
Bulan ini adalah bulan ujian. Hasil ujian tersebut akan menentukan apakah kita akan naik kelas atau tidak, lulus atau tidak. Ujian tidak hanya bagi anak-anak kita yang memang sedang menghadapi ujian, tetapi juga diri kita sebagai orang tua, pendidik di rumah, dan guru, pendidik di sekolah. Bulan ini penuh dengan ujian untuk merefleksi diri.
Sebagai orang tua, tidak satu pun dari kita yang akan senang jika anak-anak kita mengalami kegagalan. Kita berharap mereka dapat belajar dengan lancar, menjalani ujian dengan baik, dan mendapatkan hasil yang terbaik. Namun,banyak di antara kita yang belum memahami kemampuan anak-anak kita, sehingga kita ikut menuntut mereka mendapatkan hasil maksimal. Anak-anak kita paksa untuk ikut les, padahal mereka baru tiba di rumah jam 2. Belum lagi jadwal mereka untuk mengaji di masjid jam 5. Kapan mereka istirahat? Apakah semua anak kita mempunyai ketahanan fisik yang sama? Apakah kita sudah mengukurnya sesuai dengan usia dan masa pertumbuhannya? Tentunya belum semua dari kita mengambil langkah itu. Kita orang dewasa mempunyai tenaga yang lebih besar dan tentu mampu membaginya untuk kebutuhan kita. Kita harus belajar menempatkan diri pada posisi mereka sehingga kita mengetahui kelemahan dan kekuatan mereka.
Jika mereka tidak mendapatkan rangking, atau posisinya tergeser betapa kecewanya orang tua. Benar, bukan? Sakit hati kita melihat nilai mereka tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Orang tua akan lakukan berbagai cara termasuk berkomunikasi dengan guru-guru agar memperhatikan anak-anak mereka dan memberikan pelayanan terbaiknya. Namun, pertanyaan lain akan datang menghantam kita sebagai orang tua. Apakah kita sudah mengetahui kemampuan anak-anak kita? Pernahkah kita mendiskusikan minat dan kegiatan mereka? Bila kita tidak bermaksud mengabaikannya, bisa jadi kita mungkin lupa.
Pepatah mengatakan bahwa tidak ada kata terlambat selama kita mau berusaha.
Untuk memulai segala perbaikan, kita tidak boleh menundanya. Kita harus segera membuat pola komunikasi yang baik dengan anak-anak. Kita bisa bernegosiasi dengan mereka dengan cara terbaik yang tentunya sesuai dengan usia dan karakter mereka. Karena kita adalah orang pertama yang mendidik mereka, kita tentu punya trik dan tips tersendiri untuk mengarahkan mereka.
Contohnya saya. Saya penari. Saya tidak bisa memaksakan anak-anak saya untuk mengikuti saya. Saya sudah coba menunjukkan kepada mereka musik dan tari kreasi dari mereka kecil. Bila pada perkembangannya mereka tidak tertarik, saya pun tidak bisa memaksa. Apalagi pendukung untuk mewujudkan keinginan saya sangat jauh dari kata memadai. Di kota tempat saya tinggal, saya sulit menemukan sanggar yang bisa menerima dan mengajarkan teknik dasar menari. Ini sangat jauh dari kota kelahiran saya. Saya hanya bisa mendorong anak-anak untuk ikut gabung kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Selama dua tahun, anak perempuan saya ikut latihan tari di sekolah. Alhamdulillah, pelatihnya dapat merangkulnya dan mengembangkannya. Namun, kegiatan tersebut harus berakhir karena ada perbaikan sistem dalam sekolahnya sehingga dia harus ikut berhenti latihan pada tahun ketiga. Sekarang, dia bergabung di kegiatan bercerita. Melalui hobi membecanya, saya sedang mendorong dia untuk belajar menulis. Alhamdulillah, dia sudah menyelesaikan satu cerpen. Singkat memang, dan sepertinya dia masih bingung menyelesaikan akhir ceritanya. Untuk pemula di usia 10 tahun, saya cukup salut dengan usahanya. Saya harus lebih bersemangat membawa dia dari masa saya dulu.
Berbeda dengan anak saya yang lain, dengan provokasi saya yang baik, si sulung bertekad melanjutkan sekolah di Jawa. Apa pertimbangannya? Apakah sekolah di luar Jawa tidak bagus? Semua sekolah dan madrasah di wilayah tempat tinggal saya sudah mengelola pendidikan dengan sangat baik, sehingga masing-masing mempunyai keunggulan untuk menarik minat peserta didik yang akan bergabung belajar di sekolah atau madrasah tersebut. Pola pembelajaran yang bagus, persaingan yang ketat, dan kegiatan ekskul yang variatif dibmbing oleh banyak guru dan pelatih yang inovatif dan didukung fasilitas yang memadai.
Namun, saya sebagai orang tua yang berprofesi guru yang terjebak oleh sistem pengelolaan penilaian yang salah (menurut pemahaman saya). Kenaikan kelas, kelulusan, maupun penerimaan peserta didik belum sepenuhnya menerapkan penilaian yang objektif dan transparan. Guru tidak mempunyai hak untuk memberikan nilai sesuai kemampuan siswa. Nilai KKM yang ditentukan kadang masih dibuat terlalu tinggi. Akibatnya, nilai akhir yang diberikan pun harus dikonversi terlebih dahulu. Memang tidak ada yang berani menerapkan semaunya sendiri, karena guru ada di bawah suatu instansi harus mengikuti aturan dan kebijakan yang berlaku. Hanya sekolah pribadi saja yang bisa menerapkan penilaian terbuka. Akhirnya, saya memilih dan memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak saya di sekolah tempat saya mengajar dan sejenisnya. Solusi terbaik menurut saya adalah sekolah ke luar daerah yang sesuai dengan hati nurani saya. Pilihan itu jatuh pada satu pondok pesantren di Jawa. Saya pun siap dengan segala konsekuensi dari keputusan tersebut.
Apa yang saya tuai adalah ujian besar bagi saya dan keluarga besar saya. Orang akan melihat dari sisi ego saya karena mengarahkan si sulung ke pesantren. Namun, jika mengetahui alasan sebenarnya mungkin orang awam pun akan memakluminya. Jadi, mengarahkan anak saya keluar dari lingkup pendidikan tempat saya bekerja bukanlah kesalahan, lebih pada tantangan. Tantangan ini untuk anak dan orang tua.
Ujian pertama, si sulung belajar mandiri dengan serta merta, meski sebelumnya di rumah pun sudah diajak belajar mandiri. Kehilangan barang menjadi hal yang wajar sebagai akibat kurang teliti dan hati-hati dalam menjaga barang pribadi. Ujian kedua adalah adaptasi waktu. Adaptasi ini sangat mempengaruhi pola belajar dan pola hidup sehat si sulung. Jika dia pandai memanfaatkan waktu dengan sebaiknya, maka dia akan bisa mengikuti semua kegiatan belajar dan ibadah dengan baik. Demikian halnya dalam pola makannya. Ujian ketiga adalah kerinduan. Saya merasakan bagaimana rindunya ibu saya setelah berjauhan dengan anak dan cucunya. Dengan jarak yang jauh maka di tahun pertama saya hanya bergantung pada Yang Menguasai Hidup, bahwa doa saya akan tersampaikan.
Tidak naik kelas menjadi ujian keempat kami. Kata “tidak naik kelas” adalah momok bagi setiap orang, terutama siswa dan orang tua. Saya yakin semua orang tua akan kecewa jika mendengar keputusan tersebut. Itu pun terjadi pada saya. Subhanallah, itu benar-benar ujian untuk anak dan orang tua. Jika si sulung perlu usaha yang keras untuk bisa masuk pondok tersebut, maka sekarang adalah giliran saya untuk tidak lelah memotivasi dia agar bangkit dan tegar. Tidak naik kelas bukan akhir segalanya. Saya selalu mengambil segi positifnya. Si sulung masuk SD sebelum usianya mencukupi, kala itu baru 5 tahun. Usia yang sama pula saat adik-adiknya masuk SD. Saya mengambil kesimpulan bahwa si sulung belum mampu mengembangkan kemandiriannya. Wali kelas pun memberikan informasi dengan gamblang bagaimana kekurangan anak saya. Kekurangan itulah yang menjadi cambuk bagi saya untuk selalu mendorong dia agar lebih bersemangat. Saya bangga bahwa dia yang dulu lahir prematur sekarang bersemangat untuk belajar mandiri. Tidak malu untuk kembali mengulang di tingkat 1, karena sudah “kadung cinta” dengan lngkungannya. Bagi orang tua yang lain, yang juga pernah saya jumpai di tempat saya mengajar, tidak naik kelas adalah pukulan yang sangat berat. Terlebih lagi jika sekolah/madrasah memberikan syarat untuk pindah sekolah jika ingin anaknya naik kelas.
Bagaimana dengan anak kita yang tidak lolos seleksi mesuk ke sekolah atau madrasah yang diinginkan? Apakah itu juga membuat kita kecewa? Bagi kebanyakan orang tua tentu menjawab “ya”. Saya juga pernah merasakannya. Namun, alangkah baiknya kita juga introspeksi diri. Kita melihat kemampuan anak kita sehingga kita bisa meletakkan ekspektasi kita pada level yang sewajarnya. Ini pengalaman saya. Anak saya usia 5 tahun 5 bulan pada bulan Juli jika dia diterima di SD/MI. Saya pun membawa dia daftar dan tes di dua sekolah, dan hasilnya nihil. Saya menyadari bahwa anak saya belum cukup umur untuk masuk SD/MI. Berdasarkan persyaratan, dia harus mencapai usia minimal 5 tahun 8 bulan. SD pertama yang saya tuju pun sudah memberi informasi bahwa usia sekolah (7 tahun) adalah yang diprioritaskan. MI sebagai tujuan kedua pun sama. Kedua sekolah yang saya pilih bukanlah sekolah negeri. Saya berharap saingan anak saya sedikit, jadi dengan usia yang kurang, dia dapat lolos seleksi. Kenyataannya, sekolah/madrasah swasta pun banyak pendaftarnya.
Kegagalan di dua tes masuk ini tak menyurutkan semangat saya untuk terus mendorongnya belajar, untuk tes masuk ke sekolah yang ketiga. Akhirnya, anak saya pun masuk di SD, swasta juga. Apa yang saya cari? Yang pertama, saya mencari sekolah yang mau menerima anak saya. Meski usianya masih belum cukup, namun mempunyai kemauan untuk belajar. Kedua, saya mencari kualitas. Kualitas tidak hanya dari guru dan fasilitas, tetapi program dan lingkungannya. Mahal atau murah bukanlah ukuran kualitas, meski tingginya harga menjamin kualitas yang lebih baik.
Saya sepenuhnya sadar. Itulah semua berawal dari kesalahan saya. Saya mengajak anak saya masuk PAUD terlalu dini, akhirnya dia merasa bosan belajar di tempat yang sama. Namun, setiap ketidaklulusan masuk suatu sekolah/madrasah peluang besar bagi sekolah/madrasah lain untuk mendapatkan siswa. Maka,kita sebagai orang tua harus memahami hal tersebut. Sekolah/madrasah Negeri atau Swasta sekarang memiliki Manajemen yang lebih baik dan terus ditingkatkan. Biaya pun tidak jauh berbeda. Sudah selayaknya masyarakat mendukung semua program sekolah/madrasah dengan mendorong anak-anak kita bersaing secara sehat dan sportif. Janganlah kita sebagai orang tua mengedepankan ego kita masing-masing hanya untuk menunjukkan betapa pentingnya prestise. Prestise akan kita datang sendiri pada saat kita atau mereka mendapatkan yang terbaik dari usaha mereka sesuai dengan minat mereka. Kita hanya mengarahkan. Kita boleh menuntut, namun yang sewajarnya, sesuai dengan usaha kita dan usaha anak-anak kita.
Semangat hari pendidikan dan hari kebangkitan, mari terus bangkit untuk pendidikan yang lebih baik.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
"Semangat hari pendidikan dan hari kebangkitan, mari terus bangkit untuk pendidikan yang lebih baik." Semangat bu Isna.
Suwun pak Yudha. Semangat mengikuti jejak njenengan