isnan adi

Saya bekerja sebagai pengajar di SMA Negeri 1 Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah. Selain bermusik, kegiatan yang saya sukai adalah membaca dan menulis....

Selengkapnya
Navigasi Web
Zonasi lagi, SMA Gulung Tikar.
source: google.com

Zonasi lagi, SMA Gulung Tikar.

Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih menjadi kontroversi sejak awal penerapannya. Sistem yang mulai diterapkan pada tahun pelajaran 2017/2018 ini digadang-gadang menjadi sistem yang dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia yang konon cukup rendah. Sistem ini diharapkan dapat mengahapus predikat sekolah favorit dan sekolah non favorit sehingga penyebaran siswa akan merata. Dikutip dari youthmanualcom (10/6/2017), Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy menjalaskan bahwa semua sekolah harus jadi sekolah favorit dan tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah. Tentu saja niat baik pemerintah dalam memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia perlu kita apresiasi.

Penerapan sistem zonasi pertama kali ternyata menuai polemik. “Misi” penghapusan predikat sekolah favorit dan non favorit lalu ditambah lagi dengan “misi” mengakomodasi siswa tidak mampu untuk mendapatkan sekolah. Dikutip dari news.detik.com, Hamid Muhammad mengungkapkan bahwa Kemendikbud menerapkan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Hamid beralasan kebijakan tersebut untuk mengakomodasi siswa tidak mampu untuk mendapatkan sekolah. Dirinya berpendapat sistem zonasi juga akan melindungi warga yang tidak mampu. Sebanyak 20% siswa kurang mampu yang berada dalam zona sekolah bersangkutan harus diterima dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Calon peserta didik baru pemegang SKTM otomatis menempati posisi yang paling atas pada ranking penerimaan siswa baru di sekolah yang bersangkutan mengalahkan calon siswa yang memiliki nilai tinggi.

Kebijakan tersebut kemudian memunculkan fenomena “SKTM palsu”. Tidak sedikit calon siswa baru “nakal” yang menggunakan SKTM palsu agar dapat diterima di sekolah impian. Kompas.com (15/06/2017) memberitakan bahwa Netizen Jawa Tengah dihebohkan dengan banyaknya komplain dari siswa dan wali murid soal pendaftaran online masuk SMA atau SMK. Meski pendaftaran berlangsung 11-14 Juni 2017, namun komplain masih terjadi. Sejumlah netizen mengaku tersisih dari mereka yang membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Padahal nilai mereka bagus. Meskipun pemerintah mengancam akan mencoret calon siswa yang menggunakan SKTM Palsu, namun ancaman tersebut sepertinya hanya bagaikan angin lalu. Calon siswa yang mendaftar dengan SKTM palsu tetap bisa lolos dengan mudah. Pemerataan pendidikan yang digadang-gadang lagi-lagi belum tercapai pada PPDB zonasi 2017. Sekolah favorit masih menjadi favorit dan sekolah pinggiran tetap bertahan dengan predikatnya.

Seperti tidak belajar pada pengalaman tahun sebelumnya, pemerintah lagi-lagi kecolongan. PPDB 2018 masih menerapkan regulasi yang kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan fenomena “SKTM palsu” semakin mencuat. Diberitakan oleh kompas.com (10/7/2018) Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menemukan dan membatalkan 78.065 SKTM palsu di PPDB Jawa Tengah. Selain itu, diberitakan dalam cnnindonesia.com (11/7/2018) bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai beberapa ketentuan tentang Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berpotensi memunculkan masalah. Salah satunya ketentuan mengenai kewajiban sekolah menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah/provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Hal itu memicu masyarakat memanfaatkan peluang lemahnya kontrol pemberian SKTM oleh kelurahan setempat sehingga banyak salah sasaran. Banyak orang mampu mendadak mengaku miskin. Lagi-lagi, sekolah pinggiran masih setia dengan predikatnya.

Berbagai reaksi negatif dari berbagai pihak akhirnya membuat pemerintah mencabut regulasi tentang penggunaan SKTM pada PPDB zonasi 2019. Akan tetapi, polemik baru muncul terkait dengan kuota yang diberikan. Pemerintah mengatur bahwa PPDB zonasi 2019 dibagi menjadi 3 jalur (zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua. Jalur zonasi mendapat kuota 90%, jalur prestasi 5 %, sedangkan jalur prestasi 5%. Setalah mendapat masukan dari berbagai pihak, kuota jalur prestasi diubah menjadi 15 %.

Calon siswa baru dianjurkan untuk mendaftar ke sekolah paling dekat dengan tempat tinggal mereka Dalam sistem PPDB zonasi 2019. Calon siswa baru pasti diterima jika mendaftar di sekolah terdekat asal kuota di sekolah yang bersangkutan belum terpenuhi. Jika ingin mendaftar sekolah di luar zona, mereka harus menggunakan jalur prestasi atau perpindahan orang tua. Akan tetapi, regulasi tersebut ternyata juga masih memiliki celah. Calon siswa baru dapat menggunakan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan oleh kelurahan sebagai pengganti Kartu Keluarga (KK). Hal itu ternayata dimanfatkan para calon siswa baru “nakal” untuk membuat SKD “aspal” demi mendaftar sekolah favorit yang berada di luar zona mereka.

Perbedaan tanggal verifikasi/pembuatan akun juga dirasa tidak menguntungkan SMA Negeri “bukan favorit”. Verifikasi data calon siswa SMK lebih awal dilakukan dibanding verifikasi SMA. SMK sudah dapat memulai verifikasi data calon siswa tanggal 17 Juni sedangkan SMA tanggal 24 Juni. Padahal jika siswa x sudah diverifikasi di SMK, dia tidak dapat melakukan verifikasi di SMA kecuali “diperbolehkan batal verifikasi oleh sekolah yang bersangkutan”. Logikanya, melepas domba di tengah kerumunan serigala adalah hal yang konyol. Di tambah lagi dengan tidak adanya zonasi di SMK. Beberapa faktor tersebut ternyata mengurangi potensi SMA “bukan favorit” untuk memenuhi kuotanya. Sehari sebelum jadwal verifikasi berakhir, banyak SMA “bukan favorit” merasa pesimis kuota sekolahnya akan terpenuhi. Alih-alih pemerataan pendidikan regulasi PPDB zonasi 2019 membuat banyak SMA Negeri “bukan favorit” malah semakin terpinggirkan. Jika tetap seperti ini, bisa jadi SMA Negeri “bukan favorit” gulung tikar.

Menilik berbagai fenomena tersebut, para pemangku kebijakan sepertinya perlu mengkaji ulang regulasi sistem zonasi yang diterapkan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Semua pihak yang terkait juga harus memiliki komitmen yang tinggi dan bekerja sesuai prosedur.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post