ANAK KEDUA DI MASA PANDEMI
Ini adalah pengalaman saya hamil dan melahirkan saat pandemi. Tentunya banyak wanita disana yang juga punya pengalaman seperti saya. Bukan bermaksud apapun, saya hanya ingin berbagi kisah dan juga mengabadikan moment penting dalam bentuk tulisan agar bisa menjadi sebuah kenang-kenangan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri dan orang lain.
Awal tahun 2020 tepatnya saat saya dinyatakan positif hamil anak kedua. Berarti sekitar satu bulan sudah sejak wabah virus corona menyerang Wuhan, China, walau di Indonesia sendiri belum ada kasus Covid saat itu. Anak pertama saya hampir berusia 4 tahun, lalu terbersit keinginan untuk memiliki momongan lagi. Saat itu memang sedang banyak wanita hamil. Bayangkan saja di lingkungan kerja saya sudah lebih dari 10 wanita yang sedang hamil. Maka dipastikan aura positif semerbak memenuhi kantor setiap harinya.
Salah seorang teman guru yang sudah senior pernah membagikan amaliyah bagi ibu hamil. Amaliyahnya terdiri atas tiga doa, ayat kursi, dan cuplikan satu ayat dari satu surah dalam Al-Quran, serta dianjurkan untuk membaca Surat Maryam sehari sekali. Saya pun ingin mengamalkannya. Walau sangat berat tapi setidaknya saya sudah berusaha karena kehamilan adalah amanah Allah, maka sudah pasti kita harus memohon penjagaanNya juga.
Hamil kedua ini saya rasakan sungguh lebih berat dibanding yang pertama. Baru seminggu tespeck bahkan belum telat haid saya sudah merasakan badan lemas tidak nafsu makan. Sehari-hari tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya. Beribadah saya lakukan semampunya dan hanya saya tunaikan yang wajib saja. Mengajar juga jadi tidak semangat bahkan sering kelas saya biarkan kosong karena merasa tidak kuat untuk bangkit dari tempat tidur. Sampai akhirnya wabah Covid benar-benar melanda Indonesia. Hal ini berdampak pula di tempat saya mengajar diberlakukan lockdown. Kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Semua santri dipulangkan ke rumahnya. Otomatis semua guru juga mengajar dari rumah.
Disini saya rasakan beberapa hal yang entah memang takdir atau kebetulan menjadi sangat 'pas' dengan kondisiku yang sedang hamil. Saat tubuh tidak bisa diajak kompromi untuk mengajar di kelas tiba-tiba saja berubah menjadi pembelajaran daring yang bisa dilakukan di rumah. Saat tidak bisa mengerjakan apa-apa atau kemana-kemana sendiri, ada suami yang harus WFH sehingga bisa mendampingi saya yang sedang kepayahan. Saat ragu untuk mengikuti seluruh agenda wajib tahunan dari yayasan tiba-tiba saja semua harus dibatalkan karena pandemi. Dan begitu seterusnya banyak hal saya rasakan menjadi mudah bahkan sampai proses melahirkan.
Pada saat lockdown dimulai usia kandunganku sudah tiga bulan. Setiap hari masih merasakan teler. Namun alhamdulillah saat bulan puasa saya masih bisa puasa penuh walau setiap sore sudah tidak sanggup untuk melakukan apa-apa. Bahkan setiap berbuka hanya bisa minum teh hangat. Mencicipi sedikit es saja langsung mual muntah. Nasi yang harusnya menjadi asupan utama hanya bisa beberapa sendok. Tapi harus tetap dipaksa makan tiga kali dalam semalam karena untuk energi di siang hari.
Masa-masa teler berakhir dua minggu setelah lebaran. Alhamdulillah sudah mulai nafsu makan segala macam. Perut saya yang terlihat sangat besar membuat orang mengira sudah mau melahirkan. Saya sendiri heran padahal sejak awal hamil tidak doyan makan tapi kok perut kelihatan lebih besar dari ukuran normalnya. Tapi saya tetap positif thinking saja yang penting janin sehat.
Selama kehamilan saya periksa kandungan ke Puskesmas dan dokter. Tak pernah terbersit niat untuk periksa ke bidan karena memang rencana mau melahirkan di RS seperti anak pertama dulu. Biasanya saya periksa ke dokter sebulan sekali untuk USG. Tapi karena pandemi, praktik dokter di klinik libur dan hanya melayani di RS. Otomatis saya harus periksa ke RS tersebut. Saat saya memilih menggunakan BPJS, maka harus meminta rujukan dari Puskesmas. Biasanya bidan Puskesmas tidak mau memberi rujukan kalau tidak ada kondisi darurat. Tapi entah kenapa saat itu saya langsung dibuatkan rujukan. Lumayan bisa digunakan tiga kali. Bahkan ketika untuk kedua kalinya saya meminta rujukan pun masih dilayani. Alhamdulillah mungkin ini pertolongan Allah swt.
Walau hamil di masa pandemi, saya berusaha enjoy dan tidak terlalu larut dalam pemberitaan yang heboh di luar. Bahkan suami saya yang bekerja di Surabaya juga rutin pulang tiap akhir pekan dengan catatan naik kendaraan pribadi. Pun saat ada kerabat saya yang divonis positif Covid, saya pun ikut diberi cuti seminggu untuk tidak masuk sekolah. Sungguh itu semua saya ambil hikmahnya saja sehingga saya bisa istirahat sejenak dari berkeliaran diluar rumah.
Karena sejak awal saya berencana melahirkan di RS, maka saya rutinkan periksa ke RS tersebut. Padahal bidan di Puskesmas sudah mengingatkan pada saya kalau pandemi seperti ini harusnya saya meminimalisir untuk pergi ke RS. Namun saya belum berpikir macam-macam bagaimana nantinya. Pernah saya berkunjung ke saudara saya yang baru melahirkan dan dia bilang melahirkan di bidan dekat rumahnya. Saat itu saya bahkan belum terbersit keinginan untuk periksa ke bidan manapun.
Memasuki bulan kesembilan kehamilan, saat itu saya berdiskusi dengan suami. Tiba-tiba kami seperti ragu untuk proses melahirkan di RS, apalagi suami bolak-balik Ponorogo-Surabaya tiap pekan. Takutnya kami dicurigai dan diwajibkan untuk rapid atau swab. Muncul rasa khawatir juga dalam hati apalagi banyak beredar berita ibu hamil yang menjelang melahirkan dipersulit harus rapid atau swab padahal kondisinya sudah kritis bahkan sampai ada yang kehilangan bayinya.
Akhirnya saya mencoba menghubungi teman yang kebetulan juga mau melahirkan. Saya tanya dia rencana mau melahirkan dimana. Dia menjawab mau ke bidan yang disebutkan saudara saya sebelumnya. Dia bilang bidan tersebut ramah dan mudah diajak konsultasi. Saya langsung teringat saudar saya yang juga melahirkan disana. Lalu suami juga mencari info bidan tersebut. Ternyata memang benar, temannya juga merekomendasikan bidan tersebut. Untuk memantabkan keputusan kami, akhirnya saya putuskan untuk periksa kesana. Dan ternyata benar beliau sangat ramah dan welcome. Tidak ada alasan lagi untuk ragu melahirkan disana. Suami juga mendukung yang penting kapanpun waktunya semoga Allah berikan yang terbaik.
Selama beberapa kali periksa ke bidan saya selalu sendirian tidak ditemani siapapun. Hal tersebut sempat membuatku khawatir jangan-jangan nanti bidan dan staffnya tiba-tiba bertanya suami saya kemana. Saya sangat takut jika saya menjawab suami bekerja di Surabaya maka nanti saya akan ditolak melahirkan disana. Maka sebisa mungkin saya diam tidak bertanya apa-apa mengenai prosedur melahirkan di masa pandemi ini. Yang penting saya sudah mengutarakan keinginan untuk melahirkan disana dan bidan juga sudah bersedia membantu.
Perlu diketahui, yayasan tempat saya mengajar sudah mulai melakukan pembelajaran tatap muka sejak awal bulan Agustus lalu. Namun khusus untuk anak yang mukim di pondok saja sehingga kami para guru tetap berangkat ke madrasah untuk mengajar. Tentunya santri-santri yang kami ajar sudah dipastikan terisolasi sebelumnya dan tidak dicurigai terinfeksi Covid. Saya sebagai guru IPA mengampu beberapa kelas tersebut, selebihnya ada kelas online untuk anak yang laju dari rumah. Otomatis saya harus mencari pengganti sementara ketika nanti cuti melahirkan. Saya cukup kebingungan dengan hal ini, karena mencari lulusan sarjana IPA masih sangat susah, apalagi pelamar di madrasah hanya satu atau dua saja. Namun, kiranya Allah memudahkan lagi. Ternyata di kampus terdekat baru saja ada angkatan pertama yang lulus dari Program Studi IPA di masa pandemi ini. Saya langsung meminta adik sepupu yang masih kuliah untuk mencarikan info kakak tingkatnya yang baru lulus tersebut. Alhamdulillah singkat cerita kami sepakat untuk bekerja sama.
Mungkin beberapa rekan kerja mengira saya terlalu terburu-buru dalam menyiapkan segalanya sebelum masa cuti, mengingat HPL saya masih dua minggu lebih. Namun, saya hanya tidak ingin nantinya serba mendadak apalagi pengalaman beberapa orang untuk kelahiran anak kedua banyak yang maju jauh dari HPL. Saya pun percaya dengan firasat saya ini. Lalu saya segera melapor pada atasan untuk memperkenalkan pengganti kepada beliau. Hari itu Kamis tanggal 3 September saya menemui atasan tapi tidak bersama calon guru pengganti saya karena beliau bilang jangan dulu. Akhirnya saya menemui beliau sendiri dan membicarakan hal-hal terkait cuti dll, beliau lalu meminta hari Ahad saja pengganti saya diajak bertemu beliau.
Hati ini merasa cukup lega sudah mempersiapkan segala yang dibutuhkan saat cuti melahirkan nanti. Tanpa disangka malamnya saya merasakan ada cairan rembes dari jalan lahir. Saya tidak ambil pusing saat itu lalu memutuskan untuk istirahat. Saat tengah malam terbangun saya kaget karena celana basah. Saya jadi khawatir jangan-jangan itu air ketuban rembes. Segera saya googling terkait hal tersebut. Disana disebutkan jika mengalami ketuban rembes maka bayi harus dilahirkan setelah 24 jam. Perasaan saya langsung tidak karuan. Namun, saya tetap berusaha tenang dan positif thinking jika cairan itu bukan ketuban. Saya googling lagi tentang cirri-ciri air ketuban. Ada dikatakan untuk mendeteksi apakah cairan tersebut ketuban atau bukan bisa dicek dengan kertas lakmus. Saya langsung teringat kalau menyimpan kertas lakmus yang biasa untuk praktik dengan murid. Langsung saya lakukan pengecekan, dan ternyata kertas lakmus tidak berubah warna yang menunjukkan bahwa cairan tadi bukan air ketuban. Lega sekali rasanya sehingga bisa tidur tenang sampai pagi.
Keesokan paginya saya kembali dibuat shock saat di kamar mandi keluar flek darah segar. Tanda ini jelas sekali sudah mendekati masa melahirkan. Langsung saya menghubungi suami dan beliau juga bersiap mengurus cuti agar bisa menemani saya. Namun yang saya heran adalah tanda tersebut hanya muncul sesekali dan bahkan bisa dikatakan jarang. Sampai siang hingga sore bisa dihitung jari saya rasakan kontraksi, namun flek darah masih tetap keluar. Akhirnya saya WA bidan namun beliau mengatakan tidak masalah dan beliau minta dihubungi lagi jika kontraksi sudah terjadi setiap 15 menit. Saya pun hanya bisa pasrah namun tetap berusaha tenang. Saya coba lakukan gerakan-gerakan yang bisa mempercepat kontraksi seperti jalan-jalan, squad, dan senam gymball. Keluarga saya mulai banyak bertanya bagaimana apakah tandanya sudah semakin sering. Hal itu justru membuat saya makin kepikiran. Sampai keesokan paginya flek darah masih tetap keluar namun kontraksi masih tetap jarang. Akhirnya saya WA bidan lagi dan beliau mempersilahkan saya untuk kontrol agar bisa dicek dan diberi penjelasan.
Hari itu Sabtu dengan diantarkan suami saya pergi ke bidan. Sesampainya di klinik bidan, saya diperiksa pembukaan dan ternyata baru pembukaan 1 seujung jari. Beliau lalu menjelaskan bahwa kondisi seperti ini masih normal selama ketuban tidak rembes, apalagi masih jauh dari HPL. Saya diminta untuk santai dan tetap beraktivitas supaya pembukaan cepat bertambah. Saya bilang masih mau masuk sekolah besoknya dan beliau bilang tidak masalah asalkan kuat. Akhirnya saya pulang lagi dan seperti yang saya duga keluarga langsung bertanya macam-macam. Mereka heran kenapa begitu lama untuk proses pembukaan. Saya tidak mau lagi ambil pusing.
Keesokan harinya saya benar-benar berniat masuk sekolah karena sudah ada janji dengan pengganti saya untuk bertemu Kepala Sekolah. Keluarga saya kaget karena saya nekat, takutnya nanti malah kenapa-kenapa disana. Namun saya merasa baik-baik saja toh jarak rumah dan sekolah juga sangat dekat. Saat di sekolah sesekali saya merasakan kontraksi namun masih bisa ditahan. Bahkan saya masih menjelaskan materi di dalam kelas. Setelah selesai mengajar saya bertemu dengan guru pengganti saya dan bersama menuju ruang Kepala Sekolah. Saat itu saya berpapasan dengan salah satu teman guru. Beliau bertanya kapan saya melahirkan dengan nada bercanda. Saya pun juga dengan santai menjawab insyaallah besok.
Setelah selesai menghadap Kepala Sekolah saya langsung pulang. Saya bilang pada guru pengganti saya jika kapan hari nanti saya sudah akan melahirkan maka akan saya hubungi dia. Jadi memang tidak langsun besoknya saya minta untuk digantikan karena memang belum jelas kapan saya melahirkan. Saya juga sempat menghubungi teman saya menanyakan tentang LKS. Jadi hari itu memang saya masih terlihat biasa saja menurut teman-teman saya karena memang tanda-tanda mau melahirkan tidak terlihat dari pembawaan saya walau sesekali kontraksi terjadi.
Kemudian saya pulang ke rumah dan tentu saja pertanyaan yang muncul dari keluarga saya tetap sama. Saya berusaha berpikir positif dan terus melakukan kegiatan yang dapat mempercepat kontraksi. Namun sepertinya memang Allah belum mengizinkan. Sampai sudah tengah hari belum ada kemajuan juga. Saya sendiri heran padahal anak pertama dulu sangat cepat prosesnya. Tapi memang kondisi tiap kehamilan tidak sama. Akhirnya saya inisiatif untuk melakukan stimulasi alami. Ternyata cukup bekerja, dan kontraksi mulai terasa sering 15 menit sekali. Saya pun lansung WA bidan dan beliau meminta dihubungi lagi jika kontraksi sudah 5 menit sekali. Saya pun harus kembali berjuang untuk menstimulasi kontraksi.
Malam harinya sekitar bakda isya kontraksi yang saya masih tetap belum ada kemajuan bahkan sempat terhenti satu jam. Saya sudah merasa putus asa dan berniat tidur saja dan pasrah kapan waktu yang Allah tentukan saya akan melahirkan. Namun, sekitar jam 10 malam saya merasakan kontraksi yang agak dalam. Saya pun merasa lapar dan memutuskan untuk makan. Di ruang makan saya bertemu ibu saya yang juga sedang makan. Beliau pun kembali bertanya dan saya jawab sudah mulai terasa. Kalau saya hitung kontraksi sudah 7-8 menit sekali. Setelah makan saya merasa sudah tidak bisa menahan sakit. Ibu saya menyuruh saya berangkat ke bidan saja. Lalu saya WA bidan dan beliau mempersilahkan saya berangkat ke rumahnya karena saya bilang sudah tidak kuat menahan sakit.
Segera saya bangunkan suami saya yang sedang tidur dengan anak pertama. Saat itu saya melihat jam menunjukkan sekitar pukul 22.09 WIB. Suami segera bersiap dan kami langsung meluncur ke rumah bidan yang hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan mengendarai motor. Sesampainya disana saya langsung diperiksa VT ternyata baru pembukaan 4. Bidan lalu melakukan observasi dan menyimpulkan bahwa kontraksi masih tergolong lambat, maka saya diminta untuk banyak gerak. Namun beliau berpesan untuk tidak mengejan dahulu sebelum pembukaan lengkap.
Saya mencoba untuk banyak gerak dengan jalan kaki mondar-mandir di rumah bidan. Satu jam kemudian mulai terasa kontraksi yang tidak tertahankan sakitnya. Kontraksi inilah yang paling saya ingat dan paling membuat agak worry saat hendak melahirkan anak pertama dulu. Rasanya punggung seperti ditarik dan dipisahkan dari badan. Saya meminta suami untuk mengelus punggung setiap kontraksi itu datang. Sampai akhirnya saya merasa tidak tahan untuk mengejan, lalu saya memanggil bidan. Bidan lalu melakukan observasi lagi dan pembukaan masih 8. Memang kemajuannya tergolong lambat. Karena saya sudah tidak tahan untuk mengejan bidan memperbolehkan saya untuk melakukannya dan segera mengambil tindakan dibantu seorang asistennya. Suami saya masih setia menemani namun tidak bisa tepat disamping saya karena posisi kamar yang kurang luas. Beliau mengawasi dari pintu yang menghubungkan ruang periksa dan ruang tindakan.
Bidan meminta izin untuk memecah ketuban saya. Saya hanya menurut dan percaya bidan akan melakukan yang terbaik. Setelah itu masih ditunggu lagi kontrkasi namun masih belum beruntun. Bidan menawarkan saya untuk diinfus agar bisa membantu mempercepat kontraksi. Saya pun bersedia karena sudah tidak sabar untuk melahirkan. Pada saat bidan dan asistennya mempersiapkan peralatan infus, saya bilang ingin mengejan lagi. Bidan lalu menuntun saya dan memberi aba-aba. Beliau mengatakan sudah terlihat kepala bayi. Lalu saya mengejan dan bidan bilang pada saya untuk terus mengejan karena bayi sudah mau keluar. Dengan sekuat tenaga saya mengejan lagi dan akhirnya lahirlah bayi berjenis kelamin laki-laki tepat pukul 01.16 WIB dengan berat 3,5 kg pada tanggal 7 September 2020. Bayi itu segera ditidurkan di dada saya untuk IMD. sedangkan bidan dan asistennya membersihkan semua peralatan dan nmelakukan reparasi pada tubuh saya.
Tepat jam 02.00 WIB semua selesai dan saya diminta untuk tetap tidur tanpa bergerak selama dua jam karena masih dalam proses observasi untuk melihat adanya pendarahan atau tidak. Pada saat seperti itulah sebenarnya kondisi yang rawan terjadi pada ibu yang baru saja melahirkan karena bisa terjadi serangan silent killer jika tidak berhati-hati. Bayi saya sudah dibedong dan ditidurkan dalam box. Saya dipersilahkan untuk istirahat. Saya berusaha memejamkan mata namun sangat sulit untuk bisa tidur. Akhirnya hanya berbaring sambil memejamkan mata walau tidak tidur. Suami saya malah langsung tertidur pulas di ranjang yang ada di ruang periksa karena bidan membolehkannya untuk tidur disana. Saat adzan subuh berkumandang suami menghubungi keluarga dan semua berbahagia menyambut anggota baru keluarga kami.
Demikian pengalaman saya hamil dan melahirkan di saat pandemi. Syukur pada Allah SWT karena telah memberikan kami amanah untuk kedua kalinya serta memberikan banyak pertolongan di saat kami sedang membutuhkan. Sebenarnya saya sempat merasa tidak yakin dengan kemampuan saya apakah bisa melahirkan secara spontan. Sudah sering terbayang-bayang akan menjalani operasi saat melahirkan. Alasan pertama adalah ukuran janin yang saya rasa lebih besar dibanding anak pertama dulu. Kedua karena selama hamil muda badan sangat lemas dan tidak berdaya. Ketiga karena proses kontraksi yang tergolong lambat. Namun setelah melewati semua itu saya jadi yakin apapun yang sedang kita alami memang sepatutnya kita pasrahkan pada Allah karena hanya Dia yang bisa mengatur segalanya. Apa yang kita rasakan berat akan menjadi ringan jika terus memohon bantuanNya. Apa yang kita rasa mustahil maka akan mejadi mudah jika kita pasrahkan padaNya. Saya semakin yakin dengan amalan-amalan yang kita kerjakan semasa kehamilan itu bisa mensugesti tubuh untuk mengikuti pikiran kita yang positif.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantab bu Isna. Semoga sukses selalu.
Sama-sama Pak...
Keren parentingnya, sukses selalu
Terima kasih bapak...Salam sukses
Semoga bermanfaat