SAKIT HATI BERBUAH WAKAF
“Betapa beruntungnya kakek dan nenekmu Nduk, tanahnya luas, dan beberapa bagiannya didirikan masjid dan mushola, serta untuk fasilitas keagamaan lainnya. Sudah pasti pahala jariyahnya mengalir terus menerus.” Begitulah kalimat yang sering kudengar setiap kali bersilaturahim ke rumah tetangga saat Hari Raya Idul Fitri.
Kakekku bernama Mustofa, sedangkan nenekku bernama Habibah. Kakek adalah seorang purnawirawan TNI. Sedangkan nenek yang terpaut usia cukup jauh dengan kakek adalah seorang ibu rumah tangga mengurus delapan orang anak. Sebenarnya nenek adalah perempuan yang berpendidikan dan pintar di sekolahnya dulu. Beliau pernah ditawari untuk menjadi guru negeri di masa itu. Namun, kakek memberi pilihan hanya salah satu saja diantara mereka berdua yang menjadi abdi negara sehingga nenek akhirnya memilih berdagang sembako di rumah untuk membantu menyediakan kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Sebagai seorang perwira TNI, kakek adalah orang yang disiplin dan sangat mengutamakan pendidikan Semua anaknya diharuskan menuntut ilmu sampai perguruan tinggi. Disamping itu pendidikan agama juga sangat diutamakan. Jadi selain bersekolah di pendidikan formal/umum, semua anaknya juga bersekolah di pondok pesantren.
Kakek meninggal saat aku masih berusia dua tahun. Sebelumnya aku yang merupakan cucu tertua, menghabiskan masa kecil di kota ayahku berasal. Saat itu ibuku memang dinas di kota tersebut dan berjodoh dengan ayah. Ketika aku menginjak umur delapan tahun ibu pindah dinas di kota kelahirannya dan akhirnya seluruh keluarga boyong untuk menetap di kampung halaman ibu. Aku senang sekali karena lingkungan tempat tinggal yang baru sangat nyaman dan kental dengan nuansa keagamaan. Apalagi tidak jauh dari rumah kakek terdapat pondok pesantren yang cukup masyhur.
***
Pertama kali menginjakkan kaki di rumah kakek dan nenek, aku merasakan atmosfir yang berbeda dengan tempat tinggalku dulu. Rumah kakek sangat besar dengan halaman luas yang biasa digunakan untuk menjemur hasil panen sawah. Terdapat dua ruang utama yang juga berukuran besar. Maklum saja disini masih berkumpul semua adik-adik ibu karena mereka semua belum menikah. Bahkan dengan datangnya keluargaku maka bisa dipastikan akan semakin ramai saja rumah ini nantinya.
Perasaanku bertambah gembira karena langsung disambut oleh kawan-kawan di sekitar rumah nenek. Mereka sangat senang karena mendapat teman baru yang bisa diajak bermain bersama setiap hari. Akupun mulai membayangkan bisa belajar naik sepeda karena rumah nenek terletak di dataran rendah sehingga tanahnya landai, berbeda dengan rumah ayah yang merupakan dataran tinggi sehingga agak berbahaya jika bersepeda.
Setelah menjalani kehidupan beberapa bulan di rumah nenek, aku mulai merasakan pengaruh yang cukup berbeda dari keluargaku di mata masyarakat. Teman-temanku mulai bersikap seolah aku adalah anak orang kaya yang selalu makan enak, memiliki barang-barang yang bagus. Aku perhatikan memang rumah nenekku penuh dengan hasil panen sawah yang melimpah. Kakek juga sudah memiliki sebuah vespa yang saat itu dianggap keren karena tidak banyak orang yang memilikinya. Ditambah lagi ibu baru saja membeli sepeda motor merk terbaru yang belum pernah ada sebelumnya. Namun aku belum memahami hal-hal itu sepenuhnya. Aku hanya merasa heran saja ketika teman-teman sering mengatakan hal yang kadang membuatku risih. Kemungkinan mereka mendengar hal itu dari para orang tua mereka.
***
Setelah beberapa tahun lamanya menetap di kampung halaman ibu, aku mulai memahami latar belakang keluarga besarku. Tak kupungkiri memang leluhurku sangat berpengaruh di masyarakat. Kakek buyutku adalah seorang kiai mushola yang disegani. Kakek Mustofa sebagai purnawirwan TNI juga sangat dihormati karena dianggap orang yang berhasil, buktinya saat kakek kembali dari dinasnya di Papua hampir warga se-RT berkumpul dirumah untuk melihatnya. Kakek merasa sangat terharu dan memberi mereka oleh-oleh satu persatu. Sedangkan adik kakek yang berhasil menamatkan pendidikan tinggi memimpin sebuah lembaga pendidikan swasta tingkat awal.
Latar belakang keluargaku yang cukup berpengaruh di masyarakat membuatku harus memahami sejarah agar aku tahu bagaimana bersikap dan membawa diri dalam pergaulan. Sedikit banyak aku mendapatkan cerita dari nenek. Selain itu aku juga sering bertanya pada bibi atau ibu. Yang paling paham mengenai sejarah perjuangan kakek nenek hingga bisa berhasil adalah adik ibu yang kedua. Karena beliaulah yang menggantikan posisi ibu membantu nenek ketika ibu sudah dinas keluar kota. Ada keharuan tersendiri dalam diriku saat mendengar cerita kehidupan kakek dan nenek saat masih berjuang di awal pernikahan mereka sampai masa tua mereka.
***
Saat aku baru menyelesaikan kuliah, nenekku meninggal dunia. Aku teringat banyak sekali orang yang datang melayat dari berbagai kalangan. Bahkan orang yang selama ini tidak pernah berkunjungpun menyempatkan diri untuk memberi penghormatan terakhir bagi nenek. Setelah selesai melayat dan sedikit berbincang mereka minta diri untuk pamit.
“Oalah…baru tadi malam lho saya ngobrol sama Bu Hajjah nduk, kok pagi ini beliau sudah pergi.”
“Saya merasa berhutang budi lho Nduk sama Bu Hajjah, dulu sering sekali saya datang mengambil sembako namun karena tidak punya uang cukup jadi ya sering dikasih sama Bu Hajjah.”
“Ya Allah, masih ingat saya Nduk, datang kesini untuk meminjam beras sekarung tapi Bu Hajjah tidak pernah menanyakannya sekalipun.”
Itu sedikit kalimat yang sempat kudengar saat para pelayat itu berbincang dengan ibu dan bibi. Banyak orang tidak menduga jika nenek pergi begitu tiba-tiba. Saat itu masih dalam nuansa lebaran. Malam sebelum nenek meninggal beliau dikunjungi oleh beberapa tetangga dan saling berbincang hingga larut malam. Nenek pun dalam kondisi sehat tanpa ada keluhan yang berarti. Namun, maut tidak ada yang tahu datangnya kapan saat bibi ingin membangunkan nenek untuk sholat subuh ternyata nenek sudah dalam kondisi jatuh dari tempat tidur. Sepertinya nenek sudah bangun sebelumnya dan biasanya beliau berdzikir sambil duduk bersandar di dinding tepat di tepi tempat tidur. Mungkin dalam keadaan nenek meninggal sehingga badannya jatuh tidak tertopang lagi
Kepergian nenek menyisakan kenangan yang mendalam bagi sebagian besar orang. Ternyata dulu nenek memang dikenal sebagai orang yang dermawan. Padahal beliau sendiri waktu itu harus mengurus kedelapan anaknya dan sedang jauh dari kakek yang bertugas di luar pulau Jawa. Banyak orang yang datang ke rumah nenek lalu pulang membawa kebutuhan mereka secara cuma-cuma. Namun tak banyak yang tahu beliau harus menghadapi satu dua kejadian yang menguji kesabaran dan keikhlasannya. Satu hal yang tidak pernah nenek lupakan adalah sakit hatinya yang justru memotivasi diri untuk tidak pernah bergantung pada orang lain
Malam itu kami anak cucu nenek berkumpul. Kondisi yang mungkin sebelumnya jarang terjadi saat beliau masih hidup. Kesibukan anak-anaknya seakan hanya memberinya sedikit kesempatan untuk sekedar bertatap muka. Ibu, paman dan bibi mulai membuka kenangan-kenangan lewat untaian kata. Tak terasa air mataku mengalir dan bayangan kehidupan kakek dan nenek berputar di otakku.
***
Bukan tanpa perjuangan Mustofa dan Habibah bisa memiliki kehidupan yang layak dan memastikan seluruh keturunannya hidup sejahtera di masa depan. Meskipun ia adalah seorang perwira TNI, namun usahanya untuk bisa mencapai kesejahteraan hidup tidaklah mudah. Mustofa harus rela tidak mendapat restu sepenuhnya oleh ibunya kala itu. Namun karena tekadnya sudah bulat, dan juga dengan dukungan penuh dari bapak maka Mustofa berangkat dan bisa mewujudkan impiannya. Dengan itu pula ia bisa membiayai adiknya untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Saat berusia 30 tahun, Mustofa mulai memikirkan tentang pendamping hidup. Maka ia dikenalkan pada salah satu kerabat kakak iparnya. Mustofa yang sangat menjunjung tinggi pendidikan tentu saja menginginkan pendamping yang sederajat. Saat itu gadis yang akan dikenalkan padanya mengaku telah menamatkan Sekolah Rakyat. Namun karena Mustofa adalah orang yang disiplin dan tegas, ia tidak mudah percaya. Ia mendatangi lokasi Sekolah Rakyat tersebut dan mendapati bahwa pengakuan gadis itu tidaklah benar. Mustofa memutuskan untuk tidak melanjutkan perjodohan itu.
Akhirnya dengan proses yang cepat Mustofa dijodohkan dengan Habibah yang tidak lain adalah adik kandung kakak iparnya sendiri. Saat itu Habibah baru berusia 15 tahun namun karena ia terkenal pandai di sekolah maka Mustofa tertarik padanya. Setelah menikah Mustofa memboyong Habibah ke tempat asalnya. Mereka belum hidup layaknya suami istri karena Habibah masih belum menyelesaikan sekolahnya dan Mustofa memberikan kesempatan itu. Selama Habibah masih bersekolah Mustofa juga melanjutkan dinasnya.
Singkat cerita setelah dipindahtugaskan ke daerah asalnya, Mustofa hidup bersama Habibah sebagaimana suami istri. Layaknya pengantin baru keduanya masih harus berjuang untuk dapat membangun rumah tangga secara mandiri. Sebelum memiliki rumah sendiri, Mustofa dan Habibah diminta salah satu kerabatnya yaitu Bibi Surti yang merupakan bibi kemenakan dari Mustofa. Bibi Surti hidup sebatang kara setelah suaminya meninggal. Mereka tidak memiliki anak. Kehadiran Mustofa dan Habibah tentu saja mampu membuat Bibi Surti menjadi tidak kesepian lagi. Bahkan beliau pernah mengatakan jika nanti beliau meninggal maka rumah tersebut akan diberikan pada Mustofa dan Habibah.
Di rumah itu Habibah membuka usaha kios sembako. Kepiawaiannya dalam berdagang tentu saja mampu menghasilkan uang yang bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selain gaji pokok yang diterima oleh Mustofa. Bahkan mereka bisa menabung untuk keperluan yang tidak terduga. Sampai akhirnya Bibi Surti menyadari bahwa kehidupan keluarga Mustofa terlihat sejahtera. Bibi Surti seperti menyimpan rasa tidak suka melihat kehidupan Mustofa dan Habibah semakin membaik. Lalu tanpa diduga Bibi Surti mengatakan bahwa di akhir masa tuanya ia ingin hidup ditemani oleh keponakan aslinya. Hal itu tentu saja menggetarkan hati Mustofa dan Habibah. Itu seperti mengusir secara halus agar mereka berdua tidak tinggal lagi di rumah Bibi Surti. Sungguh seolah-olah selama ini mereka mengemis tempat tinggal pada Bibi Surti.
Akhirnya dengan perasaan kecewa terhadap sikap Bibi Surti, Mustofa membeli sebidang tanah yang ditawarkan oleh salah seorang tetangga yang juga hidup sendiri. Mengingat usianya yang sudah renta maka ia memutuskan akan tinggal bersama anaknya dan menjual tanah tempat rumah sederhananya berdiri. Sepertinya ini memang jalan kehidupan Mustofa sekeluarga disaat ada kesulitan Allah langsung menunjukkan jalan kemudahan. Tidak berapa lama Mustofa berhasil membangun sebuah rumah yang bisa ditempati dengan nyaman berkat kerja keras ia dan istrinya.
***
Kehidupan Mustofa dan Habibah semakin lama semakin membaik dan bahkan sudah dikaruniai delapan orang anak. Seiring berjalannya waktu Mustofa bisa membeli beberapa tanah dan sawah untuk dikelola saat ia sudah purna dari tugasnya. Semua anaknya dipastikan mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Habibah sudah tidak lagi berdagang karena harus ikut membantu suaminya dalam mengelola sawah setiap hari. Hasil panen yang berlimpah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Meskipun kehidupan mereka sudah mapan, namun kesederhanaan tetap diutamakan. Sandang dan pangan tidak pernah mewah dan berlebihan bahkan mereka terbiasa makan dengan lauk yang sama setiap hari yaitu tempe goreng. Ingin makan telur saja tidak tidak selalu seminggu sekali, itupun biasanya Habibah mencampurkan tepung yang banyak dalam telur dan menggorengnya setipis mungkin agar rata untuk seluruh anggota keluarga. Hal ini tidak lain adalah untuk menghemat pengeluaran karena Habibah ingin sekali membeli beberapa tanah agar kelak anak cucunya tidak mengalami hal yang pernah ia rasakan yaitu kesulitan mendapat tempat tinggal. Habibah ingin memastikan bahwa seluruh keturunannya tidak lagi susah memikirkan dimana mereka akan bertempat tinggal kelak.
Mustofa dan Habibah bukan berambisi untuk memiliki banyak harta benda. Mereka hanya meyakini suatu saat harta benda itu akan membawa manfaat yang besar untuk orang banyak. Dalam jangka pendek tentu saja itu sangat diperlukan untuk menunaikan kewajiban terhadap anak-anak yang merupakan amanat dari Allah. Mereka harus dibimbing dan dibekali dengan pendidikan dan ilmu agama yang maksimal dan hal itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Baginya anak-anak yang cerdas dan soleh adalah investasi untuk jangka panjang.
Dengan kepemilikan beberapa tanah di lokasi yang berbeda Mustofa telah memberikan akses jalan bagi warga lain yang memiliki tanah atau rumah yang berdampingan dengan tanah kakek. Selain itu ia juga telah mewakafkan salah satu tanahnya untuk dibangun mushola. Ada juga tanah yang diwakafkan untuk menampung jatuhnya tetesan ait dari atap gedung milik yayasan pondok pesantren di daerahnya. Mustofa juga mengizinkan salah seorang warga yang menanam pompa airnya di tanah mereka karena lahan yang orang tersebut miliki sudah habis untuk bangunan rumah.
Setelah Mustofa meninggal dunia, Habibah juga selalu membantu urusan orang lain. Pernah ada saudara tetangga yang datang dari luar Jawa untuk suatu keperluan. Beberapa lama kemudian ia akan kembali ke tempat asalnya, namun ia kekurangan uang. Lalu ia meminta bantuan Habibah untuk membeli tanah warisannya karena kemungkinan besar ia sudah tidak akan kembali ke Jawa lagi. Sebenarnya Habibah berniat untuk meminjami uang seperlunya saja tetapi karena orang tersebut memaksa menjual tanahmya maka ia tidak punya pilihan lain. Saat itu Habibah tidak punya uang tunai sehingga ia membelinya dengan memberikan emas 80 gram. Sayangnya transaksi tersebut tidak dituliskan hitam diatas putih dan juga tidak ada saksi karena waktu yang sangat mendesak. Habibah pun tidak berpikir jika suatu saat akan terjadi hal yang merugikan dirinya.
Beberapa tahun setelah orang tersebut kembali ke asalnya, tanah yang telah dijual kepada Habibah diklaim sebagai milik saudaranya yang lain. Habibah mengatakan jika tanah itu telah dibelinya dengan emas 80 gram. Namun karena tidak ada bukti maka saudara orang tersebut tidak percaya dengan perkataannya. Dia malah mengatakan jika warisan orang tersebut berada di lokasi yang lain. Begitu ditelusuri pada semua kerabatnya ternyata Habibah hanya diombang-ambingkan kesana kemari. Akhirnya dengan menahan kecewa lagi Habibah menerima jika harus kehilangan emasnya secara cuma-cuma.
“Saya tidak mengharapkan lagi tentang kejelasan tanah tersebut, namun saya tidak ridho dunia akhirat terhadap apa yang terjadi.” Ucap Habibah saat sudah putus asa dan tidak membuahkan hasil sama sekali. Bagaimanapun emas 80 gram yang ia miliki tersebut tidak dengan mudah ia dapatkan. Ia harus bekerja keras sampai bisa mengumpulkannya. Tentu saja emas tersebut sebenarnya untuk ia gunakan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Habibah sampai jatuh sakit karena memikirkan kejadian tersebut. Namun, dengan iman yang masih kuat akhirnya ia bisa sembuh dan menganggap itu adalah ujian dari Allah swt.
Meskipun telah menelan kekecewaan lagi, Habibah tidak lantas dendam dan menjadi kikir. Dia tetap bersahaja dan selalu bersedia membantu orang yang membutuhkan. Seiring berjalannya waktu anak-anak Habibah telah dewasa dan membangun rumah tangga masing-masing. Sesuai dengan angan-angan Habibah dulu, anak-anak mendapatkan hak tanah masing-masing untuk dibangun tempat tinggal. Beberapa dari mereka ada yang berhasil menjadi abdi negara. Selebihnya yang lain menjadi pimpinan di lembaga pendidikan swasta yang ada di daerah kami. Bahkan dua anak lainnya mengelola pondok pesantren dengan jumlah santri yang tidak sedikit.
Di tempat mereka membangun tempat tinggalnya Allah memberikan jalan agar tanah peninggalan Mustofa dan Habibah berguna untuk kepentingan agama. Di salah satu tanah warga memohon untuk diwakafkan menjadi bangunan masjid. Habibah setuju apalagi salah satu anaknya bertempat tinggal di dekat lokasi tanah tersebut sehingga bisa menghidupkan masjid yang akan dibangun nanti.
***
Beberapa tahun setelah nenek berpulang, Allah mudahkan kembali pahala jariyah untuk kakek nenek. Salah satu lembaga pendidikan di daerah kami membutuhkan lahan untuk membangun gedung baru karena gedung yang sudah ada tidak mampu menampung murid yang semakin banyak. Maka diputuskan salah satu tanah kakek dan nenek yang dekat dengan lembaga tersebut untuk diwakafkan. Apalagi pimpinan lembaga tersebut adalah anak nenek sendiri sehingga semakin mudah proses pewakafannya agar dapat segera dibangun gedungnya dan cepat dimanfaatkan.
Demikianlah kisah inspiratif dari kakek dan nenekku yang berjuang dari nol hingga dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat luas. Bekal ilmu yang mereka ajarkan pada anak-anaknya menjadi jalan pahala jariyah karena mereka semua terjun langsung untuk kelangsungan kegiatan kemaslahatan masyarakat baik itu menjadi pengajar di lembaga-lembaga pendidikan atau menjadi pelaku dakwah di bidangnya masing-masing. Harta berupa tanah yang dimiliki menjadikan sarana prasarana berlangsungnya kegiatan keagamaan yang dapat menunjang kebermanfaatan bagi generasi mendatang.
Dalam hidup ini kita memang selalu berhadapan dengan persoalan yang kadang menguras perasaan dan airmata. Namun, sangatlah penting bagi kita untuk mengelola perasaan tersebut. Jika kita berserah pada Allah, keterpurukan dan kekecewaan yang melanda kita saat ini akan membuahkan kebahagiaan dimasa depan. Tetaplah berpikir positif dan mengutamakan kemanfaatan bagi sekitar kita. Fokuslah untuk membantu orang lain niscaya Allah akan memudahkan kehidupan kita. Semoga kita selalu dimudahkan Allah untuk mentasarufkan harta benda untuk kepentingan agama dan sesama.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kisah yg inspiratif bu
Terima kasih Pak....Semoga kita dimudahkan selalu berbuat amal