Istikomah

Istikomah lahir di Grobogan, 19 Oktober 1981. Saat ini mengajar Bahasa Jawa di SMPN 2 Ngaringan. Disela-sela waktunya masih menyempatkan untuk berliterasi sebag...

Selengkapnya
Navigasi Web
Balada Cinta Kebo Gerang

Balada Cinta Kebo Gerang

“Pokoknya kamu harus nurut! Titik!”

“Setega itukah Ibu memaksaku?”

“Ini bukan masalah paksaan, tapi ini demi kebaikanmu sendiri. Masa depanmu! Pikirkan itu!”

“Tapi bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidupku, Ibu?”

“Tak ada kata tapi! Jika kamu tak menuruti kata-kata ibumu ini, sama saja kau ingin memperpendek nyawa ibumu!”

“Ibu, kumohon ... Pahamilah perasaan anakmu ini, Bu.”

“Sudah, sudah! Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan lagi. Pilihaanmu hanya dua! Ingin Ibu panjang umur, atau cepat mati!” 

Wanita paruh baya itu meninggalkan anak gadisnya yang masih tersedu mengiba. Ia sama sekali tak menghiraukan meski kedua pipi putih yang merona kemerahan itu mulai membasah. Bahu yang mengguncang adalah sebuah pertanda bahwa tangis gadisnya semakin menjadi.

Mungkinkah ini takdir? Batin Aini terus berontak, berusaha ikhlas menerima segala keputusan. Tetap saja jantungnya seakan tertusuk oleh ribuan jarum yang begitu tajam. Sakit. Namun seberapa pun kekuatan yang ia miliki, tetap tak kan mampu mengubah pendirian ibunda tercinta.

“Kak Elin ... .“ gumamnya kemudian.

Elin adalah kakak perempuan Aini satu-satunya. Kedua saudara itu sama-sama memiliki perangai yang baik, berparas cantik, dan juga pintar. Namun berbeda dengan Aini, Elin bersifat lebih keras dalam berpendirian. Ia akan terus memperjuangkan apa pun yang diimpikan sampai benar-benar tercapai. 

Semasa kuliah, Elin adalah mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan. Prestasinya pun sangat memuaskan, predikat cumlaude  berhasil ia raih. Bahkan ia menjadi mahasiswa paling berprestasi kala itu. Tak heran jika akhirnya ia diminta menjadi asisten dosen. Mungkin benar pepatah Jawa, “Tresna jalaran saka Julina”. Kebersamaan Elin dengan Ferdinan dosennya menumbuhkan rasa yang tak biasa. Gejolak asmara mulai tumbuh di antara dua hati. Hingga keseriusan hubungan mereka ingin diakhiri dengan mengarungi bahtera kehidupan bersama. 

Pak Handoyo merasa sangat bahagia ketika Ferdinan mengajukan lamaran untuk meminang putri sulungnya. Ia merasa sangat beruntung, mempunyai calon yang dewasa, mapan dan berasal dari keluarga baik-baik. Terpenting lagi, seiman. Namun kebahagiaan itu kandas seketika tatkala tradisi Jawa yang masih dipercayai oleh keluarga Handoyo diberlakukan. Ketika jumlah hari dan pasaran kelahiran kedua mempelai disatukan, muncul angka yang sama sekali tak diinginkan. 

Elin yang lahir pada hari Rabu Pahing, yang menurut primbon Jawa memiliki jumlah 16, berasal dari penjumlahan hari Rabu yang bermakna 7 dan neptu Pahing 9. Sedangkan Ferdinan lahir pada hari Kamis Wage, di mana makna angka dalam primbon Jawa menyatakan Kamis bernilai 8, dan Wage 4 sehingga memiliki jumlah 12. Angka 12 dan 16 itulah yang kemudian digabung dan menghasilkan angka 28. Angka yang menurut kepercayaan tradisi Jawa, merupakan angka yang harus dihindari untuk melanjutkan hubungan. 

Angka 28 dipercayai bernama “kebo gerang”, di mana memiliki makna bahwa siapa saja yang memaksakan diri melanjutkan hubungan dengan satuan angka tersebut, maka salah satu dari orang tua mempelai akan berumur pendek. Karena alasan itulah, Pak Handoyo berubah pikiran untuk merestui rencana pernikahan putrinya. Dengan tegas, ia meminta rencana itu dibatalkan. 

Namun ternyata Elin tak sependapat dengan pemikiran bapaknya. Begitu pula Ferdinan dan keluarganya. Mereka menganggap pendapat seperti itu sudah ketinggalan zaman dan tak masuk di akal. Sekarang zaman sudah modern, pendapat kuno semacam itu hanya berlaku untuk orang-orang zaman dahulu. Ditambah kuatnya jalinan cinta kedua sejoli yang tak lagi bisa dipisahkan membuat rencana pernikahan tersebut tetap akan dilanjutkan meski tanpa restu keluarga Handoyo. Akhirnya pernikahan pun berlangsung di rumah orang tua Ferdinan. 

Kejadian itu membuat Pak Handoyo shock berat. Ia tak menyangka bahwa putri sulung yang selama ini dibanggakan, terang-terangan telah menentangnya. Penyakit jantung yang telah lama sembuh akhirnya kambuh lagi bahkan semakin parah. Akhirnya ia pun menghembuskan napas terakhir setelah dirawat di IGD selama seminggu. 

Bu Handoyo sangat terpukul atas peristiwa tersebut. Lalu mengaitkan semuanya dengan satuan weton pernikahan putrinya yang baru saja berlangsung. Kematian suaminya adalah bukti nyata bahwa petungan kebo gerang telah memakan korban. Bahkan Bu Handoyo pun enggan menerima apalagi merestui hubungan suci mereka. 

Lima tahun berlalu dengan sangat dingin. Aini yang kebetulan bekerja di sebuah bank swasta di kotanya, dan masih tinggal serumah dengan sang ibu, merasakan sikap ibunya yang sangat jauh berbeda sejak kepergian bapaknya. Perempuan yang dulu dikenalnya sebagai sosok bijak, enak diajak bicara, tempat mengadu segala persoalan apa pun, kini berubah menjadi perempuan pendiam, pemurung, dan sensitif. Aini paham, perempuan setengah baya yang telah membersamainya selama dua puluh tahun itu masih belum bisa menerima perilaku kakaknya. Mungkin perlu waktu lagi, entah sampai kapan. Ia sendiri tak tahu pasti.

Mengingat peristiwa silam yang masih nyata terkenang itu, Aini tak mampu menentang keputusan ibunya sebagaimana kakaknya menentang keputusan bapaknya. Aini takut melukai perasaan orang tua satu-satunya. Ia tak ingin mengecewakan ibu tercinta sebagaimana yang dilakukan kakaknya dulu. Oleh karenanya, mau tidak mau Aini harus menuruti keinginan ibu. Hanya itu satu-satunya cara untuk membuatnya bahagia. 

Aini harus menerima jodoh pilihan ibunya. Jodoh yang sudah diperhitungkan matang-matang mulai dari bibit, bobot dan bebetnya (keturunan, kualitas diri dan status ssia. Selain karena kemapanan pekerjaan, lelaki pilihan ibunya itu adalah sosok yang dewasa. Usianya 8 tahun lebih tua, sehingga ibunya sangat yakin bahwa Toni akan mampu menjadi imam yang baik bagi putri bungsunya itu. Dan yang terpenting lagi, berdasarkan primbon Jawa, petungan weton kedua mempelai sangatlah cocok. 

Meski Aini bersikeras menolak, tapi ia tetap tak bisa menggagalkan rencana perjodohan itu. Entah akan seperti apa hidupnya, mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang baru ia kenal tanpa pernah ada rasa cinta. Ia hanya bisa pasrah, dan berdoa semoga seiring perjalanan waktu, akan tumbuh benih asmara pada suami pilihan orang tua. 

Hari pernikahan yang telah ditentukan akhirnya tiba. Pesta yang telah dipersiapkan beberapa hari sebelumnya pun digelar begitu meriah. Aini bagai pengantin boneka. Yang hanya menuruti satu per satu urutan persiapan ijab kabul dengan diam seribu bahasa. Namun di sisi lain, Aini merasa bahagia, melihat bibir perempuan yang telah melahirkannya itu, kini mulai dihiasi senyum kembali. Senyum yang beberapa tahun lalu menghilang entah ke mana. 

“Gawat ini, gawat!” 

Semua orang dikejutkan oleh kedatangan seorang pemuda tergopoh-gopoh dengan napas tersengal-sengal penuh keringat bercucuran. Nampak sekali terpancar kekhawatiran teramat dalam dari raut wajahnya. Beberapa orang berhamburan menemuinya dengan penuh tanda tanya. 

“Anda ini siapa?” tanya Elin seraya menyodorkan segelas air air putih.

Tanpa menjawab, lelaki tak dikenal itu menyambar air mineral yang disodorkan lalu meneguknya hingga tetes terakhir. Setelah mengatur napas, ia pun berusaha memulai pembicaraan. 

“Mas Toni, Mas Toni, Mbak!” lanjutnya terbata.

“Tenang, Mas. Tenangkan dirimu. Mas Toni kenapa? Jelaskan pelan-pelan,” kata Elin berusaha menenangkan pemuda itu. 

“Mas Toni mengalami kecelakaan saat berusaha menghindari truk oleng. Mobilnya terperosok ke dalam jurang dan terbakar,” jelas pemuda itu lagi. 

“Apa?! Lalu bagaimana dengan Mas Toni?” tanya Elin dengan nada keras penuh kekhawatiran.

“Mas Toni tak bisa diselamatkan, Mbak!” tegas pemuda itu lagi.

Bu Handoyo menjerit histeris mendengar berita duka itu. Hatinya terasa tercabik menghadapi kenyataan pahit yang tak terduga sebelumnya. Sedangkan Aini tetap diam mematung dengan baju pengantin yang masih membalut tubuhnya. Pikirannya mulai berkecamuk tak karuan. Antara sedih dan lega bercampur aduk menyesakkan dada. Ia lega karena telah terbebas dari permasalahan yang begitu berat baginya. Namun, benarkah ia seegois itu? Bahagia di atas berita duka yang baru saja ia terima? Bukankah bagaimanapun juga Toni adalah calon suaminya? Tak ada sedikitkah rasa kehilangan terselip dalam dada? Seketika bulir bening di kedua sudut mata sipit itu pun jatuh mengajak sungai. Meski ia sendiri tak bisa memaknai arti tangisannya, nyatanya air mata itu kian deras bahkan seketika pandangannya kabur, yang tersisa hanya hitam, gelap. 

***

Aini sangat iba dengan ibu tercinta. Sejak kegagalan pernikahannya dua tahun lalu, perempuan paruh baya itu kembali menjadi pemurung dan sensitif. Ia tak tahu harus berbuat apa. Meski ibunya merasa terhibur dengan keberadaan cucu perempuan, anak dari kakaknya, tapi hal itu hanya terjadi sesaat saja. Kakaknya Elin menetap di Semarang mengikuti suaminya sehingga untuk mengunjungi ibunya di Purwodadi hanya bisa dilakukan sebulan sekali. Bahkan, dua atau tiga bulan sekali baru bisa berkunjung karena padatnya aktivitas di kota. “Nduk, apa kamu tak kasihan pada ibumu ini?” tanya Bu Handoyo suatu hari.

“Aini harus bagaimana, Ibu?”

“Ibu sudah semakin tua, tidakkah kau punya pikiran untuk segera membina rumah tangga? Mumpung Ibu masih ada, segeralah menikah, Nduk,” lanjutnya.

Aini terdiam sejenak. Kalau bisa jujur, ia pun ingin sekali segera mengakhiri masa lajangnya. Namun nyatanya, sampai saat ini belum juga ia temukan laki-laki yang mampu menerobos di sudut hati. 

“Ibu ingin sekali menimang cucu laki-laki, Nduk,” Rajuk ibunya.

“Iya, Ibu. Kalau sudah tiba masanya nanti, Aini pasti akan membawanya pada Ibu. Doakan agar Aini segera mendapatkan imam yang baik dunia akhirat,” jawab Aini yang tak ingin mengecewakan ibunya.

“Ingat, Nduk. Wetonmu itu Sabtu Pon. Menurut petungan Jawa, itu artinya Sabtu 9, pon 7 sehingga jumlahnya 16. Jangan sampai calon suamimu nanti berjumlah 12. Itu adalah pantangan yang harus kau hindari,” kata Bu Handoyo mengingatkan.

“Tapi Aini tak paham dengan semua itu, Ibu. Masak iya Aini harus menanyakan weton pada setiap lelaki yang mendekati Aini,” jawab Aini setengah cemberut mendengar penjelasan ibunya yang masih mempermasalahkan petungan kebo gerang.

“Ya wajib itu. Daripada setelah kalian saling mencintai baru tahu wetonnya, ya alangkah lebih baik ditanya di awal perkenalan. Agar tak menyesal nantinya.”

“Malulah Bu, masa iya perempuan nanya-nanya weton. Di jaman milenial seperti ini semua itu sudah tak berlaku, Ibu,” Aini berusaha meyakinkan ibunya. “Jaman boleh berubah, Nduk. Tapi adat dan tradisi jangan sampai dilupakan. Kita ini orang Jawa, sudah sepatutnya menjaga dan melestarikan adat dan tradisi Jawa.”

“Tapi, Ibu ....“

“Tidak ada tapi-tapian, pokoknya jangan sampai menikah dengan lelaki dengan weton Minggu Pon, Rabu Legi atau Senin Kliwon. Ingat itu,” Bu Handoyo meninggalkan gadis bungsunya tanpa memberikan kesempatan untuk menyanggah lagi.

Setahun kemudian akhirnya Aini menemukan sosok lelaki yang mampu membuka hatinya. Benih asmara semakin tumbuh di antara keduanya. Hingga tak ada alasan lagi bagi mereka untuk segera menghalalkan hubungan dua hati itu.

Bu Handoyo sangat bahagia. Ia seperti mendapatkan menantu dengan paket lengkap seperti apa yang ia impikan. Dewasa, mapan, soleh, bertanggung jawab, serta yang paling utama cocok dengan weton putrinya. Terlebih lagi, mereka tetap tinggal serumah sehingga tak lagi merasa kesepian karena sejak Aini dinyatakan positif hamil, Aini memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya dan fokus menjadi ibu rumah tangga saja.

Namun ternyata, Bu Handoyo tak bisa mengenyam kebahagiaan itu lebih lama lagi. Suatu ketika ia terserang hipertensi, salah satu pembuluh darah di otaknya pecah. Mengakibatkan nyawanya tak mampu lagi diselamatkan. Aini merasa sangat kehilangan. Ada perasaan bersalah yang terus menghantui perasaan dan pikirannya. 

Sejak sepeninggal ibunya, tiba-tiba saja Aini sangat rajin meruwat weton. Kebiasaan yang dulu pernah ia acuhkan ketika ibunya selalu melakukan hal tersebut. Kini, ia selalu mengadakan selametan kecil-kecilan setiap weton keluarganya. Dengan menyediakan bubur merah putih beserta jajan pasar tujuh rupa sebagaimana yang selalu dilakukan almarhum ibunya semasa hidup. Ia tak pernah tahu filosofi yang terkandung dari semua itu. Karena baginya tak ada maksud lain, kecuali  sebatas ungkapan syukur pada Allah atas limpahan rahmat yang ia rasakan dan senantiasa memohon keselamatan bagi keluarga kecilnya, itu saja. 

“Duh, anak mama ngompol ya? Ganti popok dulu ya, Sayang?”

Dengan penuh kasih sayang, Aini mengganti popok bayinya yang telah basah. Bayi mungil itu tersenyum lucu seolah membalas pernyataan mamanya.  

“Andai Ibu masih ada, ia pasti sangat bahagia melihat cucu laki-laki lucu seperti yang diimpikannya,” tanpa sadar, Aini menitikkan air mata. 

“Sayang, Papa berangkat kerja dulu, ya?” 

Aini tersadar dari lamunannya. Ia segera mengusap air matanya seketika. 

“Sebentar, Pa. Itu selametannya didoakan dulu, biar nanti tinggal bagi ke tetangga.”

“Oh, ada selametan to? Weton siapa ini, Ma?” 

“Wetonnya Papa,” jawab Aini mengikuti suaminya.

“Oh jadi hari ini Senin Kliwon rupanya?”

Aini hanya menjawab dengan senyum dan anggukan saja seraya bergumam dalam batin, “Maafkan Aini, Ibu.”

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

07 Aug
Balas

Salam literasi

08 Jun

Salam literasi

08 Jun

Keren sekali ibu cerpennya.

07 Aug
Balas



search

New Post