Istiqomah

Saya Widyaiswara di PPPPTK PKn dan IPS Malang. Menulis dan mengedit adalah pekerjaan yang saya sukai. Dari hobi bisa jadi sumber penghasilan dan meningkatkan ko...

Selengkapnya
Navigasi Web

Janda Tanpa kembang (Part 11)

Johan meminta izin pada Pak Joyo untuk berjalan-jalan di kebun. Konon, ia ingin menikmati uadara pedesaan sekaligus ingin melihat peternakan ayam Pak Joyo. Tadinya, ia berharap Yulia akan dengan senang hati mengantarnya. Namun ternyata Yulia memilih akan menunggui ayahnya.

“Aku pulang bukan untuk berlibur, tetapi untuk menjenguh Ayah,” kata Yulia setengah berbisik. Ia tak ingin ayahnya mendengar penolakannya pada Johan. “Biar kamu ditemani Kang Yanto saja ya. Aku mau bikin wedang jahe kesukaan Ayah,” kata Yulia akhirnya.

Johan mengangguk, meski sejatinya ia kecewa.

Tak lama setelah Johan berangkat ke ladang, Ayahnya memanggil Yulia.

“Johan itu pacarmu tho, Yul?” tanya Ayahnya langsung.

Yulia tergagap. Ia tak menduga ayahnya akan menanyakan hal seperti itu.

“Bukan, Yah. Dia teman kuliah. Teman biasa.”

“Andaikan dia bukan teman biasa, ayah setuju kamu kawin sama dia. Meski rambutnya gondrong dan terkesan urakan, tapi ayah melihat dia itu laki-laki yang Tangguh. Bertanggung jawab, Nduk.”

Lagi-lagi Yulia tergagap. Ia sama sekali tak menyangka ayahnya akan begitu cepat tertarik pada pesona Johan. Ah, andai saja aku dapat meraih hati Johan semudah ayah tertarik padanya, gumam Yulia dalam hati.

“Tapi, syukurlah kalau begitu. Dah kamu bantu ibumu di dapur sana. Ayah mau rebahan dulu.”

Yulia mengangguk. Bukannya segera langsung ke dapur untuk membantu ibunya, ia memilih terlebih dulu mebimbing ayahnya masuk kamar. Rasa sayangnya pada laki-laki yang selalu menyayangi dan melindunginya selama ini semakin bertambah-tambah. Bagi Yulia, ayahnya adalah sosok terhebat yang pernah ditemuinya. Ayahnya, anak laki-laki tunggal dari seorang tuan tanah yang kaya raya, konon dulu kakeknya kakek buyutnya, adalah seorang demang pada masa penjajahan Belanda. Kekayaan moyangnya itu masih tersisa cukup banyak hingga saat ini.

“Nduk,” kata ayahnya saat Yulia hendak meninggalkan kamar.

“Nggih, Yah,” jawab Yulia singkat.

“Bantu ibumu. Setelah itu segera bersiap. Habis zuhur keluarga Pak Anwar katanya mau ke sini. Njenguk ayah. Kamu bisa mendampingi Bu Anwar dan putranya kalau nanti ayah ngobrol sama Pak Anwar di kamar.”

Yulia mengangguk. Sambil berjalan ke dapur, ingatan Yulia melayang pada sosok Pak Anwar. Seorang pedagang sapi yang terkenal kaya raya di masa ia kecil dulu. Pak Anwar dan keluarganya tinggal dekat kandang ayam Pak Joyo yang berada di desa sebelah. Sesama peternah yang sukses, sesama orang kaya yang sukses, pantas kalau Pak Joyo dan Pak Anwar sangat akrab. Meski begitu, Yulia tak mengenal satu pun anak-anak pak Anwar. Yulia kecil adalah gadis kecil yang selalu dalam pengawasan ayah ibunya. Kemana pun ia pergi selalu diantar dan ditunggui. Hanya saat sekolah Yulia memiliki kebebasan. Lepas dari pengawalan dan pengawasan.

Yulia bahkan tak pernah ingat, kapan terakhir kali ia lewat di depan rumah Pak Anwar. Apalagi bertemu dengan Pak Anwar dan keluarganya. Benar-benar kurang pergaulan, keluh Yulia dalam hati.

“Masak apa hari ini, Bu? Tanya Yulia begitu masuk di dapur. Dilihatnya Yu Jem, pembantu setia keluarga Pak Joyo, sedang asyik menggoreng ayam kampung. Aroma masakan yang menggoda hidung langsung membuat Yulia tiba-tiba merasa lapar.

“Ayahmu minta dibuatkan soto ayam kampung, Nduk. Katanya pengin yang seger-seger,” jawab ibunya sambil mengaduk kuah soto yang masih dimasak di atas kompor.

“Wah … pasti ayam kampung spesial ini. Ndak gundul kan Bu ayamnya?” tanya Yulia sambil langsung membantu mencuci alat-alat dapur yang tertumpuk di bawah kran cuci piring.

“Ya begitulah. Seleranya tak pernah berubah.”

“Asal bukan ayam gundul, kan Bu?” sahut Yulia.

Bertiga mereka tertawa mengingat kebiasaan ayah Yulia. Ya, orang serumah sudah hapal betul dengan selera makan ayahnya. Paling suka ayam kampung. Mau dimasak apa saja, goreng, bakar, masak pedas bersantan atau soto bening tetap suka. Asal … terpenuhi syaratnya. Pertama, ayam itu harus dipelihara lepas. Tidak dikandangkan seperti ayam negeri atau ayam petelur. Ayam kampung yang dibiarkan lepas di kendang terbuka akan makan apa saja. Dari rumput, cacing, hingga makanan siswa tuannya akan menghasilkan daging ayam yang lebih gurih dan kenyal. Beda dengan ayam negeri yang dipelihara dalam kendang tertutup. Makannya terbatas pada makanan olahan pabrik seperti konsentrat, pollard, pellet, dan sebagainya. Ayam negeri ini juga mendapat suntikan vaksin untuk mempercepat pertumbuhannya. Di usia 40 hari, mereka sudah dipanen.

Kedua, ayam kampung itu tidak boleh gundul.

“Geli!” seru ayahnya saat melihat ayam kampung gundul.

Anehnya, rasa geli itu pun terbawa hingga saat ayam kampung gundul itu tersaji di meja makan. Sesuatu yang konyol, bukan? Bukankah saat dihidangkan di meja makan, kepala ayam segondrong apa pung harus tetap digunduli sampai plonthos?

“Ayah bilang geli itu ya geli!”

Barangkali, itulah satu-satunya kelemahan ayahnya sebagai seorang laki-laki. Ia tak pernah takut atau menyerah pada apa pun, kecuali pada ayam plonthos!

“Kamu tata saja makanannya di meja makan. Setelah itu segera mandi. Biar gak bau kompor,” kata ibu pada Yulia.

Yulia tersenyum. Nasihat ibu tetap sama seperti dulu. Harus segera mandi setelah memasak. Biar tidak bau masakan dan asap kompor. Memang seperti itulah sosok ibu Yulia. Cantik, anggun, selalu rapi dan wangi. Penampilan yang sangat jarang ditemukan pada perempuan-perempuan lain di desanya. Barangkali karena itu pula ayahnya yang kaya raya tak pernah punya perempuan kedua. Ayah dan ibunya selalu rukun, saling mengasihi, bahkan terlihat sebagai pasangan yang sangat romantis dalam lingkup pergaulan orang desa yang cenderung penuh dengan basa-basi dan sangat menjaga adab kesopanan. Keduanya, tak merasa tabu bergandengan tangan saat pergi ke kondangan. Konon menurut cerita sang ibu, di awal-awal mereka berumah tangga ada juga yang nyinyirin kemesraan mereka di tempat umum, meski itu sekadar bergandengan tangan.

****

Belum juga Yulia dan ibunya melepas mukena, Yu Jum sudah memberi tahu bahwa Pak Anwar dan keluarganya sudah datang.

“Mas Johan sudah datang?” tanya Yulia tiba-tiba teringat pada Johan.

Sejak berangkat sekitar pukul sepuluh tadi, Johan belum juga Kembali.

“Belum, Mbak. Tapi tenang saja kan ada Kang Yanto. Nggak bakal kesasar juga kok, Mbak,” kata Yu Jem menenangkan Yulia.

Yulia tersenyum.

Di ruang tamu, tampak Pak Joyo penuh semangat meski kulit wajahnya masih pucat, menyambut tamu-tamunya. Seorang pria seumuran Pak Joyo, berbaju kemeja batik, tampak sangat berwibawa. Di sampingnya, seorang perempuan berusia tak beda jauh dengan Bu Joyo. Penampilannya anggun, khas perempuan kaya di desa. Menggunakan kerudung panjang yang ujungnya dibiarkan menyilang di bahu kanan kirinya. Wajahnya menyiratkan keanggunan dan kepercayaan diri yang tinggi. Bedaknya yang tipis tak mampu menutupi gurat-gurat tipis yang mulai muncul di sekitar ujung kelopak matanya. Namun, senyumnya yang lepas dan suaranya yang lembut membuat siapa pun yang berbincang dengannya akan melupakan sedikit keriput itu. Di kursi terpisah, seorang pemuda, berumur sekitar 30 tahun duduk dengan sopan. Tampilannya tak kalah berwibawa dengan kedua orang tuanya.

Yulia tersenyum dalam hati melihat penampilan tamu-tamunya. Formal banget. Seperti orang mau kondangan. Dheg! Hati Yulia tersentak mendengar suara hatinya. Jangan-jangan …. Ah, tidak mungkin, Yulia menepis jauh-jauh pikiran yang tiba-tiba melintas di otaknya. Ia yakin, kedua orang tuanya tak akan melakukan sesuatu pada dirinya tanpa memberitahunya lebih dulu.

“Nah ini Yulia, putri kami satu-satunya yang sekarang kuliah di Jogja, Mas Anwar,” kata Pak Joyo pada Pak Anwar saat Yulia masuk ke ruang tamu.

Yulia meletakkan gelas-gelas berisi kopi panas di meja. Lalu dengan senyum dan sikap santun ia menyalami tamunya satu per satu.

Saat itu Pak Anwar dan istrinya seolah tak berkedip menatap Yulia. Mereka seolah sedang mengamati suatu barang untuk meudian menentukan nilainya. Pak Joyo dan istrinya bukan tak sadar dengan perilaku tamunya. Namun, sebagai orang tua mereka seolah mafhum dengan semua itu.

Sedangkan sang pemuda, hanya sekilas saja menatap Yulia. Selanjutnya ia memilih lebih banyak menundukkan mukanya.

Yulia hendak berlalu Kembali ke ruang dalam. Saat itulah ayahnya memintanya duduk dan bergabung dengan para tamunya.

“Duduk di sini saja, Nduk. Kamu kan belum kenalan dengan Hamdan.”

Yulia tertegun sejenak. Kecurigaannya seolah hampir menemukan buktinya. Dengan hati bertanya-tanya dan jantung yang mulai berdebar lebih kencang, Yulia duduk di kursi kosong. Tepat di depan Hamdan, anak Pak Anwar. Seperti tidak sengaja posisi mereka. Posisi yang membuat Yulia dan Hamdan bisa saling memandang, tanpa penghalang.

“Jadi, Nak hamdan ini sekarang dimana?” tanya Pak Joyo memecah suasana yang sempat tegang beberapa saat.

“Sekarang saya di rumah. Dua tahun bekerja di Kalimantan ternyata tidak cukup mampu membuat saya berkembang,” jawab Hamdan. Suaranya utuh. Penuh. Suara yang membuat siapa pun lawan bicaranya akan tertarik untuk menyimak kemudian menatap wajahnya.

Suara yang memikat, batin Yulia. Saat Hamdan menjawab pertanyaan ayahnya, saat itulah Yulia dapat lebih cermat menatap wajah Hamdan. Tidak terlalu tampan. Tapi garis wajah yang tegas, sorot mata yang tajam, benar-benar membuat tampilan Hamdan yang bertubuh tegap dan dempal itu semakin menawan. Tipe pekerja keras seperti umumnya orang-orang di desanya. Padahal sebagai anak juragan sapi yang kaya raya, bisa saja Hamdan tampil modis. Ia memiliki segala-galanya. Tampang dan modal. Alih-alih menjaga penampilannya, Hamdan ternyata lebih memilih menjadi sosok pekerja keras. Setidaknya itulah penilaian Yulia saat teringat telapak tangan Hamdan yang kuat dan kasar saat menyalaminya tadi.

“Selain membantu usaha ya, Hamdan juga mulai merambah peternakan ikan hias, ini Mas Joyo. Nyuwun pangestunipun (restunya). Dia mulai mengembangkan usahanya dengan mengirim ikan-ikannya ke luar negeri,” cerita Pak Anwar tentang Hamdan.

“Wah, kebetulan kalau begitu. Saya sudah lama ingin miara ikan koi di kolam belakang rumah itu. Tapi ndak tahu ya Mas Anwar mota-mati terus,” sahut Pak Joyo.

“Inggih (iya) Mas Anwar. Tangan ayahnya Yulia ini panas sepertinya kalau megang ikan.”

Sejenak pecahlah tawa di ruang tamu itu.

“Tolong dilihat apa yang salah dengan kolam saya ya Nak. Biar Yulia yang mengantarmu ke sana,” pinta Pak Joyo seolah menemukan ide brilian.

Pak Anwar dan istrinya mengangguk-angguk setuju.

“Ya ya … barangkali harus dilihat sama ahlinya dulu,” sahut Pak Anwar.

Sesaat Yulia terkesiap. Tak menyangka ayahnya akan memintanya menemani Hamdan. Berdua saja ke kolam belakang rumah. Memang bukan tempat yang jauh, hanya beberapa meter saja dari ruang tamu. Terpisah oleh tembok pemisah ruang tamu dan dapur, dapur serta tembok luar. Namun, berdua saja dengan pria yang sama sekali belum dikenalnya, kecuali namanya, jelas membuat Yulia ragu.

“Yul …. Sana angtarkan Mas-mu,” seru ibunya mengagetkan Yulia. Lebih kaget lagi ketika ibunya terang-terangan menyebut Hamdan dengan “Mas-mu”. Yulia memilih menurut. Dengan rasa segan dan senyum setengah terpaksa ia berdiri kemudian menuju ke luar ruangan.

“Mari, Mas,” ajak Yulia dengan suara lirih. Ada kecanggungan yang tak dapat ia pahami. Entah apa. Namun, ia yakin Pak Anwar dan istrinya, bahkan mungkin juga Hamdan punya rencana tersembunyi di balik kunjungannya kali ini. Setahunya, jarang sekali Pak Anwar dan keluarganya datang ke rumahnya, kecuali saat lebaran. Kalau pun sesekali Pak Anwar datang bertamu, biasanya sendirian atau dengan teman bisnisnya. Itu pun yang menemui hanya ayahnya. Ibunya, apalagi dirinya, tentu tak pernah ikut menemui mereka.

Kini di pinggir kolam ikan berukuran sekitar 6 X 8 meter, Yulia hanya bisa berdiam diri. Ia tak tahu harus mengucapkan apa untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Hamdan. Sesaat ia seperti serius benar-benar mengamati kolam ikan itu.

“Siapa yang merawat ikan-ikan ini?” tanya Hamdan memulai percakapan.

“Kang Yanto,” jawab Yulia singkat. Ia menjawab sambil memandang ke sudut kolam. Taka da keberaniannya untuk memandang Hamdan. “Saya sama sekali tidak paham soal ikan. Maaf.”

“Hehehe. Mas percaya Dik Yulia pasti tak pernah ikut merawatnya. Tapi makan ikan doyan, kan?” tanya Hamdan yang mendadak memanggilnya Dik dan menyebut dirinya “Mas”. Oh … sikap yang cukup berani!

Yulia hanya mengangguk. Ia benar-benar takt ahu harus menjawab apa atau harus bersikap bagaimana. Situasi seperti ini baru pertama kali ia alami seumur hidupnya. Dipaksa berada di satu tempat dengan pria yang baru dikenalnya. Kalau saja bukan kedua orang tuanya yang meminta, Yulia pasti lebih memilih berlari dan menyembunyikan diri di kamar dan menghabiskan tumpukan koleksi novel barunya.

“Sekarang semester berapa?”

“Tiga.” Lagi dan lagi, Yulia menjawab singkat.

“Jurusan apa, Dik?”

“Keguruan, Mas.”

“Waaaah mantap. Ternyata calon guru. Tidak salah kalau begitu cerita ibu tentang Dik Yulia.”

“Maksudnya?” tanya Yulia tak mengerti. Siapa yang bercerita tentang dirinya, cerita apa? Yulia yang penasaran mengangkat wajahnya dan menatap Hamdan. Ia tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.

“Nah … begitu dong. Jangan menunduk terus. Sayang wajah cantik itu hanya dinikmati semut-semut kecil,” ucap Hamdan mulai berani menggoda.

Ah …Yulia balik lagi menunduk. Ia tak menduga Hamdan akan sevulgar itu memujinya. Murahan? Rasanya tidak. Hamdan mengucapkan kalimat itu dengan tulus. Senyumnya saat mengucapkan pujian pun tulus. Tidak genit! Anehnya Yulia merasa nyaman. Senang. Ada debar-debar halus yang diam-diam mengalir di dadanya.

“Beneran mau tahu siapa yang cerita?”

Yulia hanya mengangguk.

“Ibuku. Ibu yang cerita tentang anak gadis Pak Joyo yang konon menurut beliau selain ayu juga anggun dan cerdas. Ternyata ibu tak salah menilai.”

“Ibumu berlebihan, mas.” Tiba-tiba saja Yulia mempunyai kekuatan untuk membalas kalimat Hamdan. Bahkan bibirnya tanpa sadar dengan ringan menyebut kata “Mas”. Jauh dalam hatinya, Yulia pun terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Ah, biarlah, pungkas Yulia akhirnya memilih mengikuti suara hati dan suasana.

Tiba-tiba percikan air mengenai wajah Yulia.

“Ah!” teriak Yulia protes saat dilihatnya Hamdan dengan sengaja memercikan air kolam ke wajahnya.

“Nah gitu dong! Jangan nunduk terus! Gak enak tahu ngobrolnya!”

Lagi-lagi Yulia melihat dirinya terseret pada putaran arus keakraban yang diciptakan Hamdan. Ia membalas Hamdan. Mengabil segenggam air dengan kedua telapak tangannya lalu menciprtakan ke wajah Hamdan. Keduanya pun makin akrab berbincang sambil tertawa lepas.

Keduanya tak menyadari ada sepasang mata yang melihat keakraban mereka. Sepasang mata yang tersembunyi di balik kaca mata hitam lelaki berambut gondrong. Lelaki yang mengurungkan Langkah kakinya untuk mendekati Yulia. Tawa Yulia yang lepas, sikap akrab keduanya, membuat lelaki itu mengurungkan niatnya. Diam-diam ia memilih langsung menyelinap masuk lewat pintu samping dapur dan segera menghilang dalam kamar tamu. Dia adalah Johan. Tak sengaja ia melihat adegan keakraban Yulia dan Hamdan.

Lelaki itu membawa perasaan kesalnya sampai ke kamar.

“Sepertinya firasatku benar,” kata Johan. “Tapi aku tak akan mundur! Pantang bagiku mengalah sebelum janur kuning melengkung,” janji Johan pada dirinya sendiri.

Ia hempaskan tubuhnya yang gerah di atas kasur. Kegembiraannya berjalan-jalan di kebun keluarga Yulia dan melihat-lihat peternakan ayam Pak Joyo seolah lenyap. Padahal tadi banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Yulia, juga Pak Joyo. Ide-ide briliannya untuk mengembangkan peternakan Pak Joyo. Sebuah ide yang ia yakini akan membuat Pak Joyo simpati dan menyukainya.

“Ah!” Johan menyulut sebatang rokonya. Hanya dua isapan lalu ia mematikannya. Akhirnya ia memilih memejamkan mata. Baginya, tidur adalah salah satu cara paling jitu untuk melupakan kersahan dan menghilangkan rasa Lelah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selalu keren seperti biasa

18 Apr
Balas

Alhamdulillah..keren Bunda..sampai ga mau berhenti membacanya

18 Apr
Balas

Bunda Isti memang kereen

19 Apr
Balas

Ya udah biarin Johan istirahat dulu deh Bun

19 Apr
Balas

Aduh...habis.....betah aku bun bacanyaPengen bisa..

18 Apr
Balas

Waduh ...habis bun...aku masih betah bacanya....jadi pengen bisa kaya bunda

18 Apr
Balas

Sampai2 dua kali ngirim ...maaf ya bun....jadi grogi ketularan yulia ....tokoh2nya hidup

18 Apr
Balas

empuk. ahh, Ibu selalu bisa membawa suasana

18 Apr
Balas

Masyaa Alloh.. Keren bangat .. Hebat bun..

18 Apr
Balas

Semakin keren bun ditunggu kelanjutannya.

18 Apr
Balas

Wah bunda keren dan hebat ceritanya

18 Apr
Balas

Bunda Isti luar biasa. Makin penasaran ingin tahu kelanjutan ceritanya. Jangan lama2 ya, Bun... he he

18 Apr
Balas

Dari alur cerita dan tata bahasa sepertinya sdh terbiasa menulis ya bun...Bagus bangeet..sukses ya bun..salam literasi.

18 Apr
Balas

Amiiin. Mohon doanya ya Pak Khalid agar saya dapat menulis seperti teman-teman. Begitu pun Bapak. Salam sukses!

18 Apr

Bun, apik banget critane, seger ....

19 Apr
Balas

Bun, apik banget critane, seger ....

19 Apr
Balas



search

New Post