Istiqomah

Saya Widyaiswara di PPPPTK PKn dan IPS Malang. Menulis dan mengedit adalah pekerjaan yang saya sukai. Dari hobi bisa jadi sumber penghasilan dan meningkatkan ko...

Selengkapnya
Navigasi Web
Nrimo Ing Pandum, Aku Siap Jadi Istri yang Kedua, Ketiga, dan Keempat Asal ... (Sebab katamu, aku bukan Perempuan Jawa yang tak bisa nrimo ing pandum)

Nrimo Ing Pandum, Aku Siap Jadi Istri yang Kedua, Ketiga, dan Keempat Asal ... (Sebab katamu, aku bukan Perempuan Jawa yang tak bisa nrimo ing pandum)

Menghapus kenangan tentang Yo adalah hal paling mustahil untuk kulakukan. Tak ada jalan kecuali harus kudapatkan lelaki yang jauh lebih hebat darinya. Yang kutahu, sosok perwira yang gagah dengan kepribadian menawan adalah pilihan. Setidaknya, itu yang kuyakini saat ibni. Dan penggalan tentang perburuanku untuk mendapatkan cinta Sang Perwira itu belum juga menemukan jalannya.

***

“Keputusanku sudah pasti. Aku hanya mau sama Kang Anang. Bukan yang lain,” jawabku ketus ketika Mas Ajar memaksaku untuk mengubah pendirian.

Wealah, dinasihati kok keras kepala. Kamu itu mbok nyadar. Meskipun kamu bergelar magister dari Jerman sekali pun, kamu itu perempuan Isti. Umurmu sudah 29 tahun. Bagaimana mungkin kamu nekad untuk mencari suami sehebat itu?”

“Hebat apanya, Kang. Wajarlah kalau aku mencari calon pasangan hidup yang hebat. Aku perempuan normal pengin dapat pasangan yang hebat dan sesuai seleraku.”

Mendengar jawabanku yang tetap keras kepala, Kang Ajar tampak kewalahan. Sebagai kakak tertua, wajar kalau ia gelisah memikirkan masa depan adik perempuannya yang belum laku-laku juga. Entah berapa kali ia mencoba menjodohkanku dengan berbagao macam pria yang menurut penilaiannya sangat layak untukku. Mulai dari seorang guru, ustadz, pengusaha kebun sawit, sampai seorang dosen. Iya kalau para pria itu yang dibawa ke rumah dan diperkenalkan padaku. Lha yang dilakukan Kang Ajar itu sebaliknya, ia membagi-bagikan foto dan curriculum vitae-ku pada para pria itu agar mereka berbelas kasihan mau mengambilku sebagai istrinya.

Belas kasihan? Ya. Aku menyebutnya sebagai belas kasihan. Bukan rasa sayang. Dan itu adalah alasan pernikahan yang paling rapuh. Selain itu, dalam posisi itu, aku harus menjadi perempuan yang bener-bener wanita, “wani ditata” atau berani/ siap ditata. Puih, itu bukan aku. Mereka boleh saja menyebutku sebagai perawan tua. Namun, mereka tidak berhak memaksaku untuk menerima lamaran sembarang lelaki dan mensyukuri siapa pun yang mau mengawiniku.

“Ya, kalau nurut orang Jawa, lebih baik kawin sehari kemudian menjanda daripada harus menjadi perawan tua seumur hidup,”begitu kata Bi Irah, pembantuku.

No. No. Aku tak mau seperti itu. Aku perempuan Jawa. Murni Jawa. Bapak ibuku orang Jawa. Kakek nenekku orang Jawa. Aku lahir dan dibesarkan di tanah Jawa, tapi aku tak sudi menelan mentah-mentah pemikiran seperti itu.

“Ini semua pasti karena Yo. Apa sih yang hebat dari lelaki itu?” tanya Kang Ajar kali ini dengan suara gusar.

Aku tahu ini bukan yang pertama kalinya Kang Ajar marah padaku gara-gara Yo.

“Karena Yo mampu membuatku jatuh cinta. Yang lainnya tidak.”

“Cinta! Cinta! Cinta macam apa yang kau bangga-banggakan itu? Cintamu itu salah tempat! Tak seharusnya kamu jatuh cinta pada lelaki yang sudah beristri. Kita itu terlahir dari keluarga terpandang. Bahkan kamu berpendidikan tinggi, punya pekerjaan yang baik, tidak sepatutnya kamu menjatuhkan martabatmu seperti itu, Isti.”

“Kang Ajar saja yang tidak memahami arti cinta yang sesungguhnya.”

“Kalau kau memang tetap tak mau berubah, sudahlah. Aku nggak akan ngurusi kamu lagi. Semoga Bapak dan Ibu di sana memaafkan aku yang tak sanggup menjalankan amanahnya untuk mencarikan jodoh untukmu,” kata Kang Ajar sambil berlalu.

Kini di selasar rumah aku tinggal sendirian. Hujan yang sesorean datang masih menyisakan derainya sesekali. Dingin menyentuh sampai syaraf ingatanku. Menggigil. Aku menggigil teringat pertengkaran hebatku dengan Kang Ajar saat almarhum ibu masih ada.

Waktu itu, seusai makan malam, masih di meja makan, aku sampaikan niatku untuk menikah dengan Yo.

“Jadi istri kedua?” Ibu bertanya nyaris berteriak ketika kusampaikan bahwa aku akan menikah dan jadi istri Yo. Bukan istri pertama, tetapi istri kedua.

“Apa sudah nggak ada laki-laki lain di dunia ini?” Kang Ajar berteriak geram mendengar penjelasanku.

“Bukan soal ada atau tidaknya laki-laki lain di dunia ini, Kang. Tapi, … aku hanya mencintainya.”

“Cinta, cinta, cinta seperti apa yang kau agung-agungkan itu? Cinta seperti Romeo – Yuliet yang akhirnya berujung pada kematian? Apa kau tak memikirkan bagaimana perasaan istrinya?”Kamu itu perempuan Isti. Bayangkanlah bila kamu jadi istrinya.”

“Ya Nduk, pikirkan lagi semuanya sebelum terlambat,” kata ibu kali ini seperti biasanya dengan suara lembut.

“Kami sudah memikirkan masak-masak, Bu. Karena menjaga perasaannya, aku bersedia menikah secara syirri dengan Yo.”

“Ya Tuhan …” seru Ibu menutup mulutnya.

Tubuh ibu gemetar hebat. Aku segera memeluk dan merengkuh tubuhnya. Aku tahu keputusanku pasti melukai perasaan beliau. Namun, ini soal pilihan hidup. Aku yang akan menjalani kehidupanku, bukan ibu, bukan Kang Ajar.

“Ibu istirahat di kamar dulu, Bu,”kata Kang Ajar pada ibu sambil dihempaskannya tanganku dari pundak ibu dengan kasar.

Aku memilih diam dan tak lagi menanggapi pernyataan Kang Ajar. Kurasa saat ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk membuka semua rahasia ini. Cepat atau lambat, semua orang harus tahu dengan pilihan hidupku. Semua orang harus tahu bahwa setelah ijab Kabul, aku adalah istri Yo yang sah secara agama agar mereka kelak tidak menghakimi dan menuduhku kumpul kebo.

***

Melupakan Yo adalah hal paling sulit yang harus kulakukan dalam hidupku. Aku pernah jatuh cinta dan pacaran semasa SMA dan saat kuliah semester satu, kemudian putus. Keduanya tak meninggalkan rasa sakit hati. Biasa saja. Bahkan aku acapkali tersenyum lucu mengingat kenangan itu.

Ya, setidaknya aku bisa tersenyum dan tidak minder pada teman-teman seusiaku dulu karena aku juga normal. Bisa jatuh cinta seperti mereka. Aku tak perlu minder karena aku pun laku seperti mereka.

Namun tidak dengan Yo. Laki-laki yang mampu mengambil seluruh mimpi-mimpiku itu terlalu berat untuk kulupakan. Tak ada yang istimewa dengan Yo. Lelaki kerempeng yang lebih memilih memeluk malam dan kesepiannya dengan batang-batang rokok ketimbang pergi ke tempat hiburan malam. Lelaki yang lebih memilih membagi kesepian dan dukanya pada batang-batang pohon.

Yo, lelaki yang mampu membuatku rela meninggalkan segala kewarasan dan jabatan yang kumiliki adalah lelaki yang terlalu kuat memendam rahasianya pada dunia. Tujuh tahun menjalani hidup yang aneh. Dengan kekayaan yang ia miliki, seharusnya ia mampu membeli kebahagiaan itu. Namun Yo adalah Yo. Lelaki yang berbeda dengan lelaki lainnya.

Hingga suatu hari dalam pertemuan yang entah ke berapa kalinya, kuberanikan diri untuk menanyakan tentang kesepian yang acap ia tuliskan pada bebatang dan reranting pohon.

“Masih juga tak kau ceritakan padaku tentang dukamu itu, Yo?”

“Aku tidak sedang berduka. Aku hanya memilih mengawini sepi.”

Lagi-lagi lelaki berwajah dingin yang nyaris tak pernah tersenyum itu membalas pertanyaanku dengan larik-larik puitis.

“Yo, tanpa kau cerita pun aku tahu kesepianmu. Andai saja semua pepohonan di halaman rumahmu ini, dinding-dinding kamarmu, juga setiap petak ubinnya mampu bercerita, mereka pasti akan bercerita tentang kesepianmu. Kenapa tak pernah kau ceritakan tentang istri dan anak-anakmu?”

“Untuk apa? Asal mereka bahagia dan dapat meraih mimpi dan cita-citanya aku bahagia.”

“Maksudmu? Kenapa mereka tak pernah sekali pun datang ke sini, sesekali menjengukmu. Melihat apakah kamu sehat atau sakit? Kenapa Yo?” tanyaku masih nekad dengan rasa penasaranku.

“Sebab kebahagiaan mereka tak ada di sini.”

Hanya itu. Hingga berbulan kemudian aku baru mengerti bahwa istri dan anak-anaknya tak mau hidup di desa, jauh dari kemewahan hidup di kota. Dan Yo merasa tak perlu berdebat dengan istri dan anak-anaknya tentang hal itu. Ia memilih tetap bekerja di sini agar dapat memenuhi nafkah bagi anak dan istrinya. Alasan yang klasik. Bukankah andai Yo mau ia dapat saja menjual semua aset perusahaan perkebunannya dan memulai usaha baru di kota? Bukankah ia pernah bercerita padaku bahwa dulu ia pernah sukses mengembangkan bisnis garment?

“Ini soal pilihan hidup, Isti. Membuka usaha di daerah ini, membuka lapangan pekerjaan bagi para penduduk, bergaul dengan mereka lalu menjadi bagian dari kehidupan mereka adalah kebahagiaan yang tak bisa kurasakan di rumah. Aku hanya laki-laki yang harus menghasilkan uang agar istri dan anak-anakku tetap bisa menjalankan hidup dengan cara mereka. Bukan dengan caraku.”

Entah karena apa hari itu tanpa sadar Yo telah membuka tabir kehidupan rumah tangganya. Rasa empathiku pada penderitaan hidupnya (sedang ia tak pernah menamai sebagai derita) dan kekagumanku pada jiwa sosialnya semakin hari semakin berkembang. Aku tak bisa mengelak dari perasaan indah yang mulai menghiasi mimpi-mimpiku. Tanpa rencana, Yo selalu hadir dalam mimpiku.

Nyaris setiap hari, aku mampir ke rumah Yo. Sekadar memastikan ia baik-baik saja atau kadangkala membuatkannya nasi goreng kesukaannya. Ya, satu hal yang paling membuatku risau adalah pola makannya yang tak teratur. Yo lebih memilih merokok dan menghabiskan beberapa cangkir kopi daripada makan. Seringkali bila pekerjaan sangat banyak dan tak ada henti-hentinya, asam lambungnya tinggi, ia akan jatuh sakit. Jangan berpikir ia akan istirahat dan minum obat. Tidak. Ia akan tetap bekerja.

“Kasihan para pekerja kalau aku tidak bekerja. Panenan akan gagal dan mereka pun tak bisa merasakan hasilnya.”

Begitulah Yo. Orang lain. Orang lainlah yang selalu ia dahulukan, bukan dirinya sendiri.

Malam itu, entah untuk yang keberapa kalinya kutemukan ia duduk menggigil di teras depan rumah.

“Kamu sakit?”

“Enggak. Cuma lelah saja,” jawabnya seperti biasanya.

Aku tak percaya begitu saja dengan jawabannya karena kulihat keringatnya sebesar butiran-butiran jagung memenuhi dahinya. Itu pasti keringat dingin. Kusentuh dahinya. Ya Tuhan. Ia demam. Kupaksa dia masuk ke kamar. Kubuatkan teh hangat dan kupaksa ia minum obat. Meski harus dengan sedikit memaksa dan mengancamnya.

“Kalau kamu tak mau minum obat, ya sudahlah. Aku nggak akan peduli lagi padamu. Buat apa aku memikirkanmu kalau kamu sendiri tak peduli pada dirimu sendiri.”

Kalau aku sudah mengancamnya seperti itu, Yo akan mengalah. Tapi malam itu aku benar-benar marah dan berniat meninggalkannya.

“Isti, jangan pergi,”katanya memelas sambil meraih tangan kananku.

Rasa hangat mengalir ke dalam darahku. Ini kali pertama Yo memohon padaku.

“Aku lelah, Yo.”

“Jangan pernah lelah untukku, Isti. Aku membutuhkanmu.”

Ya Tuhan, akhirnya pengakuan itu keluar juga dari kedua bibir yang selalu datar dan mahal senyum itu.

“”Hm, ,”aku hanya mendengus.

“Apakah aku harus membuatkanmu berlembar-lembar puisi agar kamu bisa membaca hatiku? Kau bukan pepohonan dan gelap malam yang layak mendengar cerita dukaku. Kamu, kamu itu dewiku. Dewi yang selalu hadir menumbuhkan kembang-kembang kebahagiaanku, Isti.”

Air mataku membuncah malam itu. Tanpa bunga, tanpa cincin Yo menyatakan perasaannya padaku. Rasanya ingin kuceritakan semua mimpiku tentangnya. Tapi, kurasa tak perlu. Yo pasti tahu bahwa perhatianku padanya bukanlah sekadar perhatian seorang perempuan pada teman lelakinya. Tidak mungkin seorang teman, hanya teman, memberi perhatian seperti yang kulakukan pada Yo.

“Kau lihat apa yang telah dilakukan Yo padamu? Masih juga kau agung-agungkan cinta itu. Cinta itu takkan bisa menjamin kebahagiaan hidupmu?” suara Kang Ajar menyadarkanku dari lamunan.

“Beri aku waktu, Kang. Kali ini saja. Ini perburuannku yang terakhir kalinya. Setelah ini, andai hubunganku dengan Kang Anang tak berhasil, aku nerimo Kang. Aku pasrah padamu dan keluarga.”

“Baiklah, aku pegang kata-katamu. Kalau saja tidak karena almarhum bapak dan ibu, sudah malas aku ngurusi kamu. Hhhh,” Kang Ajar menarik napas panjang. “Tapi, kau tetap adikku. Takkan mungkin aku membiarkan hidupmu menderita.

Aku tersenyum haru. Ingin sekali kupeluk Kang Ajar sembari membisikkan permohonan maafku. Namun aku tahu, perasaan Kang Ajar sedang sangat tidak enak untukku.

***

Perihal perasaan indahku pada Yo rasanya hingga kini takkan mungkin kulupakan. Ia satu-satunya lelaki yang membuat diriku merasa dibutuhkan dan berarti. Bahkan ia satu-satunya lelaki yang tak pernah peduli tentang gelar magister dari Jerman yang kumiliki dan pilihanku untuk bekerja sebagai guru di sekolah yang ia dirikan untuk anak-anak para pekerja di perusahaannya. Padahal andai aku mau aku bisa saja mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di kota. Keahlianku masih sangat dibutuhkan dan masih sangat jarang yang memiliki.

Segalanya berakhir ketika perempuan yang ia sebut sebagai istrinya itu datang ke rumahku, melabrak ibu dan kakakku ketika aku tak ada di rumah. Sebuah tragedi sosial yang sangat memalukan buat keluarga besarku. Sebuah tamparan psikologi yang sangat menyakitkan ibuku.

Oh andai saja aku ada di rumah saat itu, akan kubuat sayatan paling dalam ke dalam hatinya yang keji itu. Oh, kalau saja ia tahu, aku tak pernah mengizinkan sesiapa pun menyakiti hati ibuku. Tidak juga karena kesalahanku. Kalau ia yakin aku yang salah, tidak seharusnya ia mencaci maki ibuku dan mengatakan ibuku tak mampu mendidikku hanya dengan satu alasan, aku telah merebut suami orang.

Keesokan harinya, semuanya terjadi tanpa rencana.

Istri Yo datang ketika aku sedang menyiapkan makan malam Yo. Tiba-tiba saja ia sudah berada persis di belakangku.

“Oh jadi ini perempuan perebut suami orang itu? Pantas saja suamiku tergoda karena setiap malam selalu dilayani.” Kalimat itu begitu saja ia lontarkan padaku dengan tatapan sinis.

Bukan aku kalau dikata-katai seperti itu lalu menangis dan menyerah. Bukan. Itu bukan aku.

“Kenalkan Mbak, aku Isti. Yo sering cerita tentang Mbak dan anak-anak. Kapan datang dari Jakarta?” tanyaku sambil berusaha untuk tetap ramah dan tersenyum, padanya.

“Perempuan macam apa kamu ini? Tak punya malu.”

“Saya perempuan biasa saja, Mbak. Perempuan yang kebetulan ditakdirkan Tuhan untuk hadir dalam kehidupan suami Mbak. Perempuan yang membantu Yo menjalani kehidupannya di saat ia berjauhan dari Mbak dan anak-anak.”

“Cih, tidak tahu malu.”

Yo bergerak di saat yang tepat. Ketika tangan kanan istrinya hampir menyentuh pipiku, ia meraih tangan itu dan menyeretnya ke kamar.

Tak perlu kudengarkan pertengkaran suami istri itu. Tak ada hakku mencampuri urusan mereka berdua.

Sepanjang perjalanan pulang ada banyak protes keras dalam hatiku yang sejatinya ingin kusampaikan pada istri Yo. Perempuan itu seharusnya berterima kasih padaku karena akulah yang menjalankan sebagian kewajiban yang harusnya ia lakukan pada Yo. Seharusnya ia lah yang memperhatikan bagaimana kesehatan Yo, makan, tidur, dan segala keadaan Yo tiap hari. Tapi keegoisannya membuatnya tidak peduli dengan kemalangan Yo. Ia hanya butuh memeras darah dan keringat Yo, lalu bersenang-senang menikmati hasilnya di kota.

Apakah aku merebut suami orang? Tidak. Aku tidak pernah merebutnya dari siapa pun, juga dari istrinya. Apakah aku salah ketika aku hadir dalam kehidupan Yo? Apakah aku salah jatuh cinta dan kemudian cintaku tak bertepuk sebelah tangan pada lelaki yang sudah beristri?

Andaikata jatuh cinta pada lelaki beristri itu sebuah kesalahan, mana mungkin Tuhan menciptakan perasaan indah itu terjadi padaku dan banyak perempuan lainnya? Jangankan hanya jatuh cinta, bahkan Tuhan pun mengizinkan perempuan menjadi istri kedua, ketiga, dan ke empat tanpa harus meminta izin pada istrinya.

Sungguh tidak adil.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Yo datang ke rumah bersama istrinya. Di hadapan almarhumah ibu dan Kang Ajar, istrinya dengan tegas mengatakan padaku.

“Isti masih muda. Carilah laki-laki lain yang bukan suami orang. Kasihan ibumu. Anak perempuan satu-satunya yang dibanggakan ternyata perebut suami orang.”

Oh andai saja tak ada ibu, aku pasti sudah mengkhotbahinya panjang lebar. Akan kutikamkan pertanyaan paling kasar pada perempuan yang hanya mau menikmati tetesan keringat dan darah suaminya tetapi tidak mau menjalankan kewajibannya itu. Bukankah ia seharusnya berterima kasih padaku yang telah merawat suaminya selama ini? Bukannya berterima kasih ia malah menuduhku telah merebut suaminya. Fitnah yang kejam. Aku tidak pernah merebut Yo darinya. Yo dan aku saling mencintai, saling membutuhkan, dan saling memberi.

“Yo …,”kataku mencoba meminta pertanggungjawaban Yo lewat pandangan mataku. Aku harus menjaga perasaan ibuku.

“Maafkan aku, Isti. Ada anak-anak dan keluarga yang harus kujaga, begitu pun kamu. Ada perusahaan dan para pekerja, ada murid-muridmu dan wali muridmu juga. Kita tak hidup untuk diri kita sendiri. ….”

Aku sudah tak sudi mendengarkan penjelasan Yo. Lelaki yang kupuja sepenuh hati, yang kuharapkan akan menjadi ayah bagi anak-anakku itu, telah menceraikan aku dengan cara paling keji. Perceraian yang ia lakukan ketika janjinya menikahiku secara syirri belum juga ia tunaikan.

Sejak saat itu, aku bersumpah. Akan kubuktikan pada semua orang, akan kusuarakan ke penjuru dunia bahwa tidak selamanya istri muda itu perebut suami orang. Istri muda tidak selalu salah. Akan kusuarakan juga bahwa istri tua tidak selamanya benar.

Adakah mereka mampu menghentikan takdir Tuhan? Bila jodohku, jodoh perempuan muda lainnya adalah menjadi istri kedua, ketiga, dan ke empat dari suami perempuan lain, apakah mereka sanggup menghentikannya?

***

Ryo menemuiku di kantor. Seperti biasanya dengan gaya akrabnya.

“Jadi bagaimana Isti? Kamu masih nekad mau mendekati Anang?”

“Aku suka pada lelaki yang bertanggung jawab pada istrinya. Apalagi dengan karier yang mapan dan status sosial yang tinggi seperti dia. Benar-benar menggoda.”

“Ya ampun, Isti. Kamu sakit. Kenapa sih selalu terobsesi pada laki-laki beristri? Kenapa tidak memilih aku saja. Kita sama-sama masih lajang, dan aku tidak pernah banyak menuntut padamu sebagai calon istriku,” kata Ryo serius.

Aku mendelik menatapnya. Ini bukan pertama kalinya ia mengatakan hal itu padaku. Selalu serius. Tidak main-main. Namun, aku tak pernah menyukainya lebih dari seorang teman. Teman yang membantuku bekerja di kantor ini sejak Yo meninggalkanku.

“Kamu ini bener-bener nggak pantes jadi perempuan Jawa. Perempuan Jawa itu nerimo ing pandum (menerima takdir Tuhan),” kata Ryo akhirnya. “Ingatlah bahwa Nabi Muhammad menyatakan bahwa perempuan itu dinikahi karena kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan agamanya. Beliau tidak mengatakan itu pada wanita,” katanya lagi mencoba meyakinkanku.

Nerimo ing pandum itu ya ndak seperti itu Ryo. Nabi memang bersabda seperti itu, tetapi Nabi tidak pernah melarang perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya. Masak iya, kami para perempuan harus nerimo dipilih oleh sembarang lelaki tanpa berhak memilih lelaki hebat sebagai calon pendamping hidupnya dan calon bapak dari anak-anaknya kelak. Tidak adil dong,”protesku.

“Kalau soal itu aku tak mau mendebatmu. Yang aku tak habis piker itu, kamu itu perempuan Jawa. Keluargamu sangat menjunjung tinggi adat Jawa. Lha kok kamu seperti ini? Apa mungkin karena pendidikanmu di Jerman sana?”

“Ini bukan soal pendidikan ke luar negeri atau kemana pun, Ryo. Ini soal pilihan hidup. Bayangkanlah, Berkali-kali Kang Ajar membawa banyak laki-laki yang ia paksa-paksa agar berbelas kasihan mengawiniku. Bayangkan, Ryo. Aku diperlakukan seolah-olah barang yang tidak laku tanpa pernah diberi hak untuk menolak. Jelas ini sangat tak adil.”

“Tapi, laki-laki itu memang ditakdirkan untuk memilih. Apa kau akan memilih bertahan dengan pendapatmu sedang usiamu makin bertambah? Kau harus tahu, lelaki seperti Anang itu tak bakalan mau menikah lagi. Para perwira itu terikat oleh peratuiran perundangan yang melarang mereka poligami. Keinginanmu tak bakal terwujud.”

“Kamu terlalu premature dengan simpulanmu itu. Tak masalah bagiku hanya menjadi istri simpanan yang penting perkawinanku kelak diridai Tuhan,”kataku mantap.

“”Kamu benar-benar seperti orang asing bagiku, Isti. Tapi aku sangat menyayangimu. Apa pun yang kau inginkan aku akan membantumu selama aku bisa. Tapi, kau harus sadar diri, semakin tinggi kedudukan dan jabatan seorang laki-laki, mereka akan lebih memilih perempuan yang cantik dan menarik. Kurasa kau bukan tipe mereka.”

Hhhhh kali ini aku sungguh-sungguh marah pada Ryo. Pemikirannya yang picik membuatku kemudian meninggalkannya begitu saja di ruang tamu. Tapi bukan Ryo namanya kalau ia membiarkan dirinya kumarahi. Ia telah berteman denganku sejak SMP dulu.

Kurasa ia masih ingat ketika aku diputus oleh pacar pertamaku saat di SMA. Bukannya menangis seperti gadis-gadis lain, aku biasa saja, malah masih bisa tertawa. Ryo sampai berkali-kali bertanya padaku apa aku baik-baik saja. Jelas saja aku baik-baik saja. Bukankah cowok di dunia gak cuma satu.

“Kamu nggak sedih?”

“Enggak. Beneran.

“Tapi … kenapa kamu masih mengirimi dia surat?”

Aku tersenyum. Heran juga bagaimana Ryo bisa tahu bahwa aku mengirimi surat pada bekas pacarku.

“Kau mau tahu apa yang kutuliskan padanya?” tanyaku pada Ryo. Ia mengangguk. ”Aku Cuma menuliskan kalimat begini, KAU BOLEH BERLALU DARIKU, DI BELAKANGMU RIBUAN YANG ANTRI.”

Dan kami pun tertawa terbahak-bahak ketika itu. Ya, itu ketika itu. Kalau kemudian aku harus mengalami ditolak Anang atau siapa pun, ya nggak apa-apa. Namanya belum jodoh mau apa. Masak mau dipaksa-paksa. Sama persis seperti penolakanku pada laki-laki yang disodor-sodorkan Kang Ajar padaku.

“Kau tahu benar pandanganku, Ryo. Aku tak peduli orang-orang melihat perempuan menarik itu dari wajah dan tubuhnya. Itu bukan aku. Aku memang tidak sangat cantik, tetapi aku tidak jelek. Menurutku perempuan seksi dan menarik itu perempuan yang otaknya berisi dan punya kepribadian. Mandiri dan punya prinsip. Ibuku mendidikku sejak kecil untuk menjadi pribadi seperti itu agar aku tidak menjadi perempuan yang mudah dilecehkan lelaki.”

“Iya, aku tahu. Tapi, tidak semua lelaki suka perempuan sepertimu. Lebih banyak yang memilih wajah yang cantik dan penampilan yang seksi.”

“Laki-laki seperti itu tidak pantas untukku.” Yang kutahu hingga saat ini, Anang bukan lelaki yang memandang perempuan dari wajah dan fisiknya. Ia lelaki sejati. Bagaimana pun caranya, aku harus mendapatkannya.”

Ryo mengangkat kedua pundaknya sambil menghela napas panjang. Aku tahu ia pasti akan tetap membantuku untuk mendapatkan lelaki impianku. Seorang perwira. Meskipun lelaki itu suami orang lain, tak apa-apa. Sebab, telah kusiapkan diriku menjadi yang kedua, bila perlu yang ketiga, bahkan ke empat. Meskipun untuk itu, aku harus merahasiakannya dari dunia.

Penerimaan atas takdir menjadi yang kedua, ketiga, atau ke empat bila tak ada takdirku menjadi yang pertama bagi seorang perwira itulah yang kumaknai sebagai nerima ing pandum. Cinta bagiku adalah kerelaan untuk bersetia dan berkorban.

…. (Tunggu lanjutannya ya)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Muga muga aku ora rabi maneh, isaw turu emper...... #ketika ribuan bait puisi tak habis menceritakan tentang cinta yang kedua, semuanya akan berhenti ketika butuh pengorbanan untuk tegak bersama dengan yang pertama.

15 Apr
Balas

Muga muga aku ora rabi maneh, isaw turu emper...... #ketika ribuan bait puisi tak habis menceritakan tentang cinta yang kedua, semuanya akan berhenti ketika butuh pengorbanan untuk tegak bersama dengan yang pertama.

15 Apr
Balas

Jadi baper bun.....

15 Apr
Balas

koq ada Kang Ajar barang... haha... ikut laruuut aku membacanya... suedaaaap mengaduk aduk hatiku....

15 Apr
Balas

ibni= ini (paragraf 1) begibni = begini (lupa paragrafnya) Merinding saya baca kisah ini. Ohhh cinta memang tak pernah salah Yo... Sedetik ini kumerindukan dirimu Andai saja istrimu memberikanmu padaku Kan kutumpahkan seluruh perhatianku Hanya untukmu Dan menjadikan kisah ini abadi Ohh Yo... Asyek2...

15 Apr
Balas

yo.. yo wes...karepmu haa..

15 Apr
Balas

Izinkan aku menikah dengan suamimu.. Ooookkkkkhhh, nohok banget

15 Apr
Balas

idenya ada-ada saja. mainkan perasaan pembaca! siip b. Is1

17 Apr
Balas

Namanya juga yg menulis seorang suhu ya, kubaca berulang ulang tetep nyamleng, enak. Isinya....duh...dalemmmmmm...

16 Apr
Balas



search

New Post