Bahasa jawa, sastra tingkat dewa
"Dek, mbok kalau sama suami itu pakai bahasa krama inggil. Jangan seperti orang yang tidak tahu aturan".
" Gak, mau!" jawabku cuek.
"Deeeeek.....!" suamiku meradang.
"Dalem kangmas, inggih punapa ingkang panjenengan kersakaken" (iya mas, apa yang mas inginkan). Jawabku sambil tertawa.
Sejujurnya aku memang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan suami. Bukan karena merasa malu menggunakan bahasa jawa karena terasa kuno. Tidak sama sekali. Meski terkadang ada sedikit penolakan bila dalam aturan bahasa jawa agak sedikit'lebay' dalam penggunaannya, seperti menggunakan kata "dalem" dalam berkomunikasi bahasa krama dengan teman sebaya. Sebab "dalem" di sini mengandung pengabdian dan penghormatan mendalam terhadap lawan bicara, bisa terhadap orang yg lebih tua, yang sangat kita hormati, merupakan atasan, dan ada jarak yang memisahkan. Kalau terhadap teman sebaya dan tidak akrab sehingga membuat kita perlu menggunakan bahasa krama, kata ganti "kula" (saya/aku) lebih nyaman digunakan.
Ada lagi cerita, waktu saya ikut acara halal bihalal di tempat kerja suami, yang memberi ceramah mengulas kata "dalem". Yang menurut beliau salah digunakan. Kata " dalem" menurut beliau terlalu halus bila digunakan oleh orang kebanyakan, lebih baik menggunakan kata"kula". Itu lebih pas. Tapi menurutku itu bukan masalah, sebab menggunakan kata "dalem" sebagai kata ganti aku itu bagus , sebab menunjukkan kerendahan hati dan penghormatan terhadap lawan bicara. Mungkin beliau hanya mendengar tentang kerancuan kata "dalem" dalam penggunaannya, tanpa memahami lebih dalam. Kata "dalem" yang biasa disalahgunakan adalah kata "dalem" yang berarti rumah. Sering aku mendengar orang yang berkata "Dalem aturi pinarak dhateng dalem kula" (salah). Karena bahasa krama yang sehalus itu justru bermakna "kurang ajar". Dengan menggunakan kata " dalem" untuk mem bahasa kramakan rumah, maka kita menganggap lawan bicara lebih rendah kedudukannya dari kita, padahal dalam unggah ungguh jawa, akan selalu menempatkan orang lain lebih tinggi dan selalu andhap asor, rendah hati. Jadi bahasa krama yang benar, "Dalem aturi pinarak dhateng griya kula". Kalau dalam bahasa Indonesia sih artinya sama, Saya persilakan mampir di rumah saya.
Selain itu, banyak sekali anak-anak sekarang yang menggunakan bahasa krama, tapi justru menjadi " kurang ajar" karena salah menggunakan bahasa yang justru meninggikan dirinya sendiri.
Seorang anak muda berkata padaku, "Bu, kula timbali kok panjenengan mboten mireng". Aku hanya tersenyum, sebab kata" timbali" itu harusnya digunakan untuk orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya.Tentunya ini penghinaan. Sungguh terlalu! Hehehe....tapi untungnya aku bukan orang yang gila hormat, jadi cukup kumaklumi, meski prihatin dengan penggunaan bahasa krama yang terbalik jadi kurang ajar seperti ini.
Lain lagi yang kuingat, saat itu aku sedang bimbingan skripsi. Kebetulan aku mulai ngidam anak pertamaku, dosennya jarang ke kampus, dan aku harus mendatangi rumahnya, jadi kuajak suamiku. Beliau priyayi Solo asli, jadi pastilah paham bahasa krama. Singkat cerita aku dan suami bertamu di rumahnya, dengan sedikit ngobrol dan konsultasi skripsi. Akhir cerita kami mohon diri, suamiku berkata,
"manawi tindak madiun, bapak dalem aturi sowan dalem kula". (Saat itu serasa nafasku berhenti dan pengin ngumpet di kolong meja mendengar bahasa krama suami yang belepotan dan beraroma kurang ajar. Sejenak ada perubahan rona di wajah beliau, dosenku. Buru-buru kutambahkan sambil pura-pura tak paham apa yang diucapkan suami,
" Inggih pak, manawi tindak madiun, dalem aturi pinarak wonten griya kula" kataku sambil tersenyum semanis mungkin. Alhamdulillah, pak dosen ikut tersenyum, dan skripsiku lancar sampai lulus :-)
Sebenarnya dengan aku membiasakan berbahasa Indonesia, maka jika lebaran kami sowan ke sesepuh di desaku, aku berharap suamiku berbahasa Indonesia saja, sebab jika beliau berbahasa krama, maka "accident bahasa" yang terjadi antara suami dan dosenku akan sering terjadi, dan itu membuat telingaku"kerih" dan "lingsem".
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Saenipun makaten,Bun! Amargi bahasa Jawi saget kangge nglatih ngaluske budi pekerti. Nuwun...
Inggih pak, matur nuwun...