Isti Yogiswandani

Just write when desire is coming, writting is a free way to ekspress........

Selengkapnya
Navigasi Web
Kidung lereng wilis part 2
Lukisan Basuki Abdullah

Kidung lereng wilis part 2

Cerbung (part 2)

Raden Ayu Woro Sumbodro mematut-matut penampilannya. Wanita berdarah biru itu masih terlihat cantik dalam balutan kebaya modern meski sudah memasuki masa-masa akhir purna tugas. Sebagai wanita terpelajar, dirinya mempunyai jabatan penting di kantornya.

Panji, ayo cepat. Ibu sudah siap", dipanggilnya putera semata wayang yang selalu mendampinginya jagong mantensejak suaminya sowan ing ngarsaning Gusti. Meninggalkan dirinya dan Panji yang kala itu masih remaja. Sekarang putranya sudah dewasa, sudah saatnya diperkenalkan dengan wanita. Mengajak Panji ke setiap resepsi pernikahan adalah sekali tepuk 2 lalat. Di samping untuk menemani dirinya, Panji bisa ia perkenalkan pada teman-temannya, siapa tahu ada yang ingin menjadikannya menantu dengan bibit,bebet dan bobot yang jelas. Sumbodro tersenyum samar. Tak sabar rasanya mempunyai menantu yang sulistya ing warni. Cantik dalam segala hal, cerdas,cantik, mandiri tapi tetap ngabekti pada suami. Juga wanita subur yang akan memberinya banyak cucu.

Sumbodro cepat-cepat meraih tas tangan hitam beraksen emas yang sangat serasi dengan kebaya yang dikenakannya.

"Panji, kamu kenal Larasati, putrinya Pak Widagdo?" Dia baru saja diangkat jadi guru PNS. Anaknya sopan, cantik, luwes, Ibu suka kalau mempunyai menantu seperti itu", Panji tak menanggapi perkataan ibundanya. Ia pura-pura asyik menyetir. Pikirannya justru melayang pada Candramawar, adik tingkatnya yang unik. Gadis itu telah membuatnya tertarik. Mengobrol dengannya selalu membuat dirinya merasa "hidup". Tidak meledak-ledak, tidak juga banyak basa basi membosankan, tapi mengalir seperti angin yang membuai.Wajah manis gadis itu selalu membayanginya. Kecantikan alami sedikit terpoles make up tipis-tipis semakin membuat Panji kesengsem.

" Hati-hati, Panji!" sepeda motor yang tiba-tiba menyalib dari kiri sempat membuat Panji kaget. Nyaris menyerempet sedan yang dikendarainya. Panji kembali berkonsentrasi, tak ingin membuat ibundanya was-was.

Panji berharap Ibu tidak bertemu teman-teman beliau sehingga tidak perlu banyak basa basi dan bisa cepat pulang, tapi rasanya tak mungkin. Benar saja, Ibu langsung bersemangat ketika bertemu keluarga Widagdo.

"Panji, itu Larasati," Ibu berbisik pelan sambil menghampiri mereka. Pandangan Panji tertuju pada perempuan muda yang mengenakan kebaya modern warna biru laut dengan kerudung merah jambu. Cantik, luwes,anggun.

"Larasati," gadis itu menyebutkan namanya. Suaranya lembut sedikit kemayu. Sopan dan luwes. Panji balik menyebutkan namanya. Ibu tak salah, Larasati memang gadis yang sempurna. Pelan-pelan bayangan Candramawar dengan celana jins dan kemeja flanel longgarnya menguap dari angannya.

"Mempunyai istri seorang guru itu sangat ideal Panji. Terbiasa menghadapi anak-anak akan memupuk jiwa keibuannya, jam mengajarnya tidak terlalu menyita waktu, sehingga keluarga tidak terabaikan, juga mandiri karena mempunyai penghasilan sendiri. Pasti juga ngajeni dan ngabekti pada suami karena terbiasa dituntut untuk selalu sopan karena harus bisa digugu dan ditiru," petuah Ibu menari-nari dalam bayangan Panji, seperti dorongan kuat untuk lebih memperhatikan Larasati. Gadis itu tersenyum ke arahnya. Panji jadi blingsatan, dibalasnya senyum gadis itu untuk menutupi kecanggungannya. Gadis itu terlihat santun, membuat Panji berpikir dua kali jika ingin berkata semaunya, seperti saat ia mengobrol bersama Candramawar. Tiba-tiba bayangan Candramawar berkelebat. Rasanya nyaman di samping gadis itu. Bisa bebas dan lepas mengobrol. Gadis itu tak pernah marah, jika dia bercanda kelewat batas, meski segera menghentikannya dengan halus. Sampai sekarang mereka sama-sama paham batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Tapi kalau tidak sengaja melanggar, selalu ada kata maaf dan saling mengingatkan. Entahlah, Candramawar bukan tipe gadis yang lemah lembut, tapi gadis itu selalu bisa menyentuh hatinya dengan ketulusan dan sifatnya yang apa adanya. Panji jadi rindu gadis itu.

"Panji, kesengsem boleh saja, tapi jangan menatap Larasati tanpa berkedip seperti itu," Ibu berbisik dan mencubit lembut lengannya. Panji tergeragap, dan meringis malu.

"Sudah, Ibu tinggal dulu, mengobrollah dengan Larasati, tapi jangan membuat malu,". Ibu pura-pura menyapa temannya dan berlalu, membiarkan Panji mendekati Larasati.

Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post