Isti Yogiswandani

Just write when desire is coming, writting is a free way to ekspress........

Selengkapnya
Navigasi Web

Kidung lereng wilis part 8

Awal pendakian dini hari itu terasa menyenangkan. Jalan mulus beraspal cukup lebar berasa jalan raya membuat mereka bisa beriringan berdua, bahkan bertiga atau berempat. Jalanan menanjak cukup menguras tenaga, yang terpenting mereka harus tetap hati-hati dan waspada, sesekali berhenti ketika sampai di pos pendakian. Nafas mereka mulai terdengar ngos-ngosan, Eka dan Lia hampir putus asa, tapi semua saling menyemangati. Apalagi ketika bertemu lelaki penambang belerang yang begitu kuat dengan pikulan kanan kirinya berisi belerang, melintasi rute yang mereka lalui. Terasa memalukan kalau mereka yang nyaris tanpa beban apa-apa dan berjalan santai harus menyerah di tengah jalan.

“Bonusss….!” Panji berteriak ketika mereka menempuh rute yang datar, sedikit ringan untuk bernafas. Suara burung malam membuat merinding, saatnya fokus penuh dalam perjalanan, tak perlu membayangkan bertemu binatang buas yang bisa mempengaruhi pikiran. Berjalan sambil memperhatikan kondisi jalan yang berbelok-belok, supaya tidak salah tersesat masuk lembah atau jurang.

“Kita istirahat dulu sebentar,” terdengar gumaman dan nafas lega ketika Panji mengajak teman-temannya untuk istirahat. “Jangan minum banyak-banyak, beberapa teguk saja,” Panji mengingatkan ketika melihat Dion langsung menenggak botol air minumnya.

“Rombongan dari mana, Mas? Tiba-tiba ada beberapa anak muda yang menyusul mereka. Tapi mereka datang melalui jalur Banyuwangi. Tampaknya mereka sudah biasa mengadakan pendakian.

“ Madiun. Lha sampeyan dari mana?

“Surabaya. Tapi naik kereta sampai Banyuwangi, terus lewat Licin, baru ke Paltuding,” Kinos salah satu pendaki dari Surabaya itu bergabung dengan mereka. Tapi ketika Panji menawarkan makanan kecil ditolaknya. Dia sudah membawa perbekalan sendiri katanya. Teman-temannya juga begitu. Mereka adalah anak-anak muda wirausaha. Selepas lulus SMK membuka bengkel kecil-kecilan bersama dua temannya. Sesekali mereka mendaki gunung untuk menyegarkan pikiran. Panji memberi acungan jempol.

“Sudah dekat, Mas?” Panji kembali bertanya ketika mereka mulai melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka lebih santai bertemu pendaki yang sudah berpengalaman.

“Masih setengah perjalanan, 60 persenlah. Kinos member ibformasi.

“Wow, ternyata masih jauh,” Afif berteriak. Yang lain hanya nyengir.

“Sudah dekat, kok. Paling satu jam lagi sudah sampai,” Kinos menghibur mereka.

“Semangat…semangat…semangat,” Panji menyemangati teman-temannya. Terakhir rute agak menanjak lagi, tapi ternyata lokasi sudah dekat.

“Alhamdulillah….mereka berebut mengabadikan momen langka di kawah ijen. Menyembur api biru dari kawah ijen.

“Hati-hati, jangan terlalu dekat,” Panji tak bosan-bosannya mengingatkan teman-temannya.

“Cari tempat yang datar dan pastikan tempatnya aman.

“Oke, bosss..!” Mbak Tita menjawab sambil tertawa. Kamera yang terbaik mereka pakai untuk mengambil foto bersama, minta tolong Kinos dan teman-temannya untuk membantu memotret. Tak lama mulai banyak wisatawan berdatangan, sebagian besar dari mancanegara. Fenomena api biru kawah ijen memang sangat seksi untuk menarik wisatawan mancanegara. Konon fenomena itu hanya ada 2 di dunia,yaitu di Islandia dan satu-satunya di Indonesia. Pada umumnya setiap gunung berapi mengeluarkan gas sulfur atau lebih dikenal dengan nama belerang. Belerang ini akan berinteraksi dengan udara pada suhu mencapai 360 derajad Celsius. Umumnya warna pendaran dari reaksi ini adalah merah atau oranye akibat lava dari perut bumi. Namun pendaran warna di kawah ijen bukan disebabkan oleh lava, panas, melainkan gas belerang dengan kuantitas dan suhu yang sangat tinggi, bisa mencapai 600 derajad Celsius. Oksigen yang ada di udara terpantik oleh panas lava, sehingga belerang akan langsung terbakar dan menghasilkan warna biru. Belerang yang terbakar di kawah ijen muncul dalam jumlah yang sangat tinggi dan mengalir melalui bebatuan sehingga terlihat seperti lava berwarna biru atau blue fire. Jadi sebenarnya api biru atau blue fire ini sebenarnya adalah reaksi dari gas bumi yang bertemu dengan oksigen pada tingkatan tertentu. Reaksi inilah yang terlihat seperti api berwarna biru, seperti kobaran kompor gas. Fenomena ini mungkin sudah terjadi sejak ratusan atau ribuan tahun lalu, tapi pertamakali dilihat pada tahun 1950an.

Panji melirik arlojinya, sudah pukul 04.30. Dikumpulkan teman-temannya, mencari tempat yang datar, dan menunaikan shalat subuh. Yang sudah batal wudhlunya bisa tayamum, karena sangat sulit menemukan air di ketinggian itu.

Sambil menanti matahari terbit mereka mengobrol dengan pendaki maupun wisatawan. Sekalian melatih kemampuan berbahasa Inggris, tapi ternyata tidak semua turis lancar berbahasa Inggris, sebab mereka datang dari banyak Negara. Ada yang dari Jepang, Perancis, Jerman, juga Inggris.

‘Hi, my name is Panji,where do you come from?” Panji menyapa turis cewek yang duduk di tonjolan bebatuan di dekatnya.

“I am Rose from UK. You? Where do you come from?” Panji tersenyum. Heran, apa wajahnya yang ganteng ini tidak keliatan kalau orang Indonesia asli. Kok ditanya dari mana.

“I’m Indonesian. Come from Madiun,” Panji menjawab sekenanya, Si Ros hanya mengangguk-angguk, entah paham atau tidak, Madiun itu di mana.

Panji memberi isyarat pada Candramawar untuk memotretnya bersama Rose. Norak dikit gak papalah, biar dikira punya pacar turis. Eh….

“Are you willing to take a picture with me?” Panji minta ijin dulu pada Rose,menjaga sopan santun. Paling tidak kan membawa nama Negara. Ehm…

“Sure,” Rose menjawab antusias sambil bergeser agar semakin dekat dengan Panji. Panji hanya nyengir ketika teman-temannya mentertawakannya.

“Okay, thank you. Panji mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan obrolan bersama Rose.

“By the way, What’s make you come to Indonesia, especially to visit Ijen cruter?”

“I thing nobody refused, that It’s very-very beautiful place. Amazing. And great,” I like Bromo,too. I have visited, yet,” Rose menjawab panjang lebar, membuat Panji keteteran untuk menterjemahkan, tapi yang penting mengangguk-angguk, itu sudah membuat Rose merasa dihargai.

Tak terasa hari mulai terang, dan pemandangan yang terlihat tak kalah menakjubkan. Kawah yang tadinya dihiasi api biru itu sudah berganti warna menjadi hijau toska, sementara tebing-tebing di pinggir danau yang beruba bukit cadas berlapis-lapis seperti kembaran grand canyon. Sungguh indah dan luar biasa. Panji kembali bergabung bersama teman-temannya dan asyik mengabadikan momen langka yang entah kapan baru bisa terulang.

Pukul 6 tepat mereka memutuskan untuk turun. Panji tak lupa say goodbye pada Rose diiringi suit-suit temannya yang lain, Panji hanya tertawa, begitu juga dengan Rose, mungkin dia tak paham dengan keusilan teman-teman Panji yang norak. Seperti biasanya perjalanan pulang selalu lebih menarik. Langkah terasa ringan, dan pemandangan yang mulai tampak serba indah. Pahatan Gunung raung di kejauhan memberikan keindahan yang melengkapi keistimewaan Gunung ijen. Pohon-pohon pinus dan wisatawan yang baru naik memberikan nuansa tersendiri dalam pengalaman pendakian mereka. Ada rombongan keluarga dengan putra putrinya, bahkan pasangan lansia yang masih bersemangatpun ada, entah mereka berhasil mencapai kawah ijen atau tidak. Ada juga anak-anak pecinta alam dari Madiun yang berseragam kaos dengan nama sekolahnya. Memakai scarf berwarna biru. Sekilas Panji bisa membacanya, tiba-tiba dia tersentak.Nama sebuah SMA di Kabupaten Madiun. Itu adalah bekas almamaternya. Sudah lama dia tak pernah melakukan kontak, kebetulan dia bertemu di sini. Tapi tentunya adik-adik kelasnya itu tak mengenalnya, tak lama di rombongan paling belakang Panji melihat lelaki berumur sekitar 50 tahun itu.

“Pak pri,” Panji menghampiri dan menyalami laki-laki itu dengan erat. Pak Priyo, mantan gurunya, sekaligus Pembina pecinta alam di SMAnya dulu. Ternyata beliau masih segar bugar dan masih suka mendaki. Penampilannya tak berubah, Cuma sekarang terlihat berjenggot dan rambutnya mulai memutih.

“Hai, Panji. Kamu Panji kan?” Ternyata ingatan Pak Priyo masih tajam, masih ingat siapa Panji.

“Pak Pri masih ingat saya, ya?” Panji tertawa senang. Pak Priyo hanya tersenyum.

“Ya masih, muridku yang paling ganteng. Pak Pri masih ingat itu teman-temanmu yang hampir bermusuhan karena memperebutkan kamu, Pak Pri terkekeh.

“Pak Pri bisa saja, “ Panji tertawa separuh malu. Teman-temannya langsung bersuit-suit. Panji memperkenalkan teman-temannya pada Pak Pri. Lelaki berpostur kecil itu sangat keras melatih Panji dan teman-teman pecinta alamnya di SMA dulu. Mendidik untuk patuh satu komando selama pendakian supaya semua bisa berjalan lancar dan tidak ada perdebatan. Melatih prihatin, ulet dan survive. Panji masih ingat semuanya. Sejenak mereka mengobrol sambil bernostalgia, Pak Pri juga mengundang Panji untuk sesekali main ke sekolah menyaksikan latihan kepecinta alaman adik-adik kelasnya. Panji mengiyakan, tapi tak berani berjanji. Akhirnya mereka berpisah, karena Pak Pri sudah ditunggu anak-anak dan Panji ditunggu teman-temannya. Mereka harus bergegas, karena sudah berjanji dengan Mas Andri untuk kembali ke terminal Bondowoso. Sebelumnya mereka harus membongkar tenda dan mempersiapkan perjalanan pulang. Kasihan juga Mas Udin yang dititipi tenda mereka, siapa tau dia sudah membongkar tenda baksonya dan bergegas pulang ke Banyuwangi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post