Isti Yogiswandani

Just write when desire is coming, writting is a free way to ekspress........

Selengkapnya
Navigasi Web
Mawar putih untuk Bu Clara
Mawar Putih untuk Bu Clara

Mawar putih untuk Bu Clara

Bel masuk baru saja berbunyi, Aku duduk manis di bangkuku, di sampingku, Mia si tomboy sedang asyik menyalin Pe-eR matematikaku. Dari jendela kelas yang rendah dan berukuran besar, bangunan khas peninggalan jaman kolonial yang masih dipertahankan bentuknya, kumelihat induk burung gereja yang sedang mencari makan, mematuk-matuk ulat di kerimbunan semak, di belakang bangku taman yang terletak di bawah pohon trembesi. Cahaya matahari yang benderang , membiaskan sinarnya di atas bangku, bahkan menerobos masuk lewat jendela, dan sedikit menyilaukan pandanganku. Kehangatan marasuk ke dalam hatiku, menawarkan kenyamanan yang tak tergantikan, membuat aku betah, dan tak yakin bila suatu saat aku harus meninggalkannya...

”Bu Clara datang,” Memet yang duduk di depanku berseru pelan. Membuyarkan lamunanku dan aktivitas teman- temanku yang semula seenaknya sendiri berubah total, siap menghadapi pembelajaran yang akan disampaikan Bu Clara. Mia menghembuskan nafas sebal. Mia memang kurang menyukai Bu Clara, sebab bagi kami seisi kelas, Bu Clara memang agak di luar kelaziman. Sangat sulit, menangkap apa yang diajarkan, dan sulit juga memahami untuk menjawab soal-soal ulangan yang beliau berikan, sebab jawaban yang benar tidak pernah sama, padahal kami tidak boleh protes.

”Shelamat pagi ahnak-ahnak..!”

”Selamat pagi,Bu.....” Logat Bu Clara memang aneh. Agak kebelanda-belandaan, kalau berbicara seperti mengandung huruf ”h”, seperti kalau membaca general, dibacanya kheneral, mengherankan , sebab beliau mengajar Bahasa Indonesia di kelas kami. Beberapa gigi depannya sudah ompong, dan tidak diganti gigi palsu, sehingga terkadang mengalami kesulitan untuk melafalkan kata-kata tertentu. Pokoknya kacau banget, Sebab usia beliau kira-kira sudah di atas 60 tahun, tapi mengapa tidak mengambil pensiun saja, kami tak mengerti. Tubuhnya tinggi besar, agak di luar kelaziman juga, dengan uban yang hampir merata di seluruh kepala, meski rambutnya yang di blow sedikit terlihat kalau beliau berjiwa muda.

”Nah...Dinda pagi-pagi sudah melamun, adakah kumbang yang hinggap di hatimu?” Aku tersentak kaget, sementara suara teman-temanku riuh menggodaku, rupanya karena asyik melamun aku tak sadar, kalau Bu Clara memperhatikan tingkahku. Pipiku memerah. Aku memang salah satu murid kesayangan Bu Clara. Tak heran beliau ramah dan tak marah meski aku tertangkap basah sedang melamun, tapi kalau anak lain yang melakukannya, bisa-bisa Bu Clara marah besar. Mia kembali manyun, geregetan banget tuh anak, maklum, pada ulangan minggu lalu, dia Cuma dapat nilai 60, sedang aku dapat nilai 95, padahal jawaban soal ulangan kami sama persis, sebab aku memang tak pelit membagi jawaban ulanganku pada Mia yang duduk di sebelahku. Tapi Mia tidak berani protes, bisa-bisa ketahuan kalau dia nyontek jawabanku.Dan itu akan lebih memperburuk keadaan daripada kalau dia ikhlas saja menerima nilainya yang Cuma 60 itu. Rasain, siapa juga yang suruh malas belajar, meski jujur saja, aku juga tak yakin kalau jawabanku banyak yang benar, sebab sudah kukatakan tadi, sangat sukar memahami soal-soal yang diberikan Bu Clara, apalagi jawaban yang diinginkannya, aku juga tak mengerti. Mungkin faktor dia menaruh kepercayaan besar atas kemampuan otakku saja yang membuat beliau memberiku nilai bagus. Aneh memang..!!!

”Bandeng presto adalah bandeng yang dimasak dalam panci bertekanan tinggi,” Bu Clara sedang menerangkan kosa kata kuliner. ”Bandeng ini menjadi empuk, sehingga kita bisa melahap habis sampai tulang-tulangnya, dan kepalanya,...

”Rakus.kaya’ kucing saja.!!” Tanpa sadar aku nyeletuk. Aku terlonjak kaget, tak sadar dengan apa yang kuucapkan barusan. Tapi semuanya sudah terjadi, aku tak bisa mengelak. Bu Clara mendelik galak, diacungkan jarinya ke arah........Memet!!!! Maju kamu. Tidak tahu sopan santun...!!”

Saya,Bu?” Memet menunjuk dirinya tak yakin, sementara aku sudah pucat pasi menyaksikan Bu Clara murka. Sungguh, aku tak bermaksud tak sopan. Nasibku ada di tangan Memet....

”Tapi Bu...!”

”Tidak ada tapi-tapian. Kali ini kamu saya ampuni, kucatat namamu, kalau lain kali kamu ulangi, kamu harus membuat surat pernyataan rangkap 19 untuk tidak mengulangi perbuatanmu. Sekarang berdiri di belakang papan tulis sampai pelajaran Bahasa Indonesia usai..!!” Memet patuh, sekilas dia melirik ke arahku, tapi melihat wajahku pucat pasi, dia melangkah gentleman untuk menjalani hukuman dari Bu Clara. Terima kasih, Met..! Temanku ada yang bertanya-tanya, ada yang tak puas, tapi akhirnya semua acuh seperti biasanya, Bu Clara memang selalu aneh.....

”Teett!!!!!Bel istirahat sudah berbunyi, kami semua menghela nafas lega. Segera merapikan buku dan siap beristirahat sejenak.

”Ke kantin yuukk!!! Mia mengajakku seperti biasanya. Aku agak malas sebenarnya, tak berselera dengan jajanan kantin sekolah, ditambah sarapanku tadi pagi agak over dosis, tapi daripada bengong di kelas, okelah...kuturuti saja ajakan Mia.

”Wuihh...barang baru nih..!!” Di meja kantin ada satu piring kue klepon yang sudah dikemas dalam sebuah sudi (tatakan dari daun, berbentuk bulat dengan tengahnya lancip menonjol, sekelilingnya cekung untuk menaruh makanan). Satu porsi terdiri dari 5 bulatan kue klepon. Mia tersenyum lebar, tahu kalau kue klepon adalah makanan kesukaanku. Baru hari ini kue itu tersedia di kantin. Dengan nikmatnya dia menyantap kue klepon itu, sampai gulanya muncrat dan kelapa taburnya berhamburan ke mana-mana. Akupun begitu, tapi lebih berhati-hati, sebab ketika digigit, kue itu biasa memuncratkan gula merah yang terdapat di dalamnya. Ketika aku sedang enak-enaknya menikmati sensasi citarasa kue klepon ini, tiba-tiba Mia terkekeh-kekeh sampai hampir tersedak. Entah dapat ide gila apalagi tuh anak sampai terpingkal-pingkal.

”Sudahan yuk Din...!” Mia mengajakku segera membayar apa saja yang sudah kami nikmati. Aku masih tercenung, merasa ada sesuatu yang aneh. Tak biasanya Mia hanya makan satu porsi, padahal aku sudah hampir habis dua porsi. Biasanya kan dia lebih gembul dari aku, dan biasanya Mia jugalah yang betah berlama-lama di kantin.

”Ada apa Mia?” Tanyaku keheranan.

”Enggak ada apa-apa, cuma malas saja tuh ada Bu Clara,” Mia memberiku alasan, meski matanya bersinar jenaka.

’Sebentar dong Mia, kleponku masih tersisa dua biji, nih.!.” Sambil melahap kue kleponku, pandanganku tertuju ke arah piring klepon, tiba-tiba aku tersadar dengan apa yang telah terjadi.

”Mia...kamu gokil banget. Bagaimana kalau ketahuan?” Mia malah terkekeh-kekeh sambil menyeretku ke meja kantin. Ternyata di situ ada Bu Clara.

”Dinda sama Mia suka kue klepon buatan Ibu ya..?” Bu Clara menyapa kami. Aku dan Mia berpandangan.”Ii...i ya,Bu. Kue kleponnya enak, jawabku terbata-bata, sementara senyum Mia malah bertambah lebar. Seperti seorang jagoan yang baru saja melampiaskan dendam kesumatnya. Keterlaluan sekali tuh anak.

”Mari, Bu..!” Aku berpamitan pada Bu Clara.

”Iya, Dinda...pertahankan prestasimu ya..!!” Bu Clara membalas sapaanku. Mia buru-buru menyeret tanganku. Sampai di kelas tuh anak ngakak-ngakak sambil memegangi perutnya saking gelinya. Tuh anak memang gokil, kue klepon yang satu porsi berisi lima biji itu diambilinya satu-satu, sehingga satu porsi tinggal empat-empat!!!

”Gila....ini sudah tidak bisa dibiarkan..!!!” Argo Sang ketua kelas memandangi hasil ulangan umum Bahasa Indonesianya yang mendapat angka lima!

”Pilih kasih..!!”Kania menggerutu sambil melirikku tajam. Dia memang bersaing denganku dalam meraih ranking di kelas, tak heran kalau dia jengkel dengan hasil perolehan nilai Bahasa Indonesianya yang Cuma 71, sementara aku mendapat nilai 97.

”Aku juga mau protes, gara-gara Bu Clara mendiktekan catatan yang tidak jelas, harusnya jawabanku benar jadi salah. Gara-gara setahuku Bu Clara mengucapkan nama Aman Jatoh Mojokerto, dan di catatanku juga berbunyi seperti itu, aku jadi ditertawakan, sebab yang betul Aman Datok Madjoindo!!” Parto yang berteriak-teriak serius justru mengundang gelak tawa kami. Kami semua tidak puas dengan hasil ulangan kami. Bahkan aku yang mendapat nilai baguspun juga begitu, sebab aku tak yakin jawabanku yang banyak ragu-ragunya ternyata mendapat nilai setinggi itu.

”Kita demo saja biar Bu Clara diberhentikan,”

”Kita lapor kepala sekolah saja, biar diganti,”

”Setuju...besok kita temui Bapak Kepala sekolah..!!” Akhirnya kami mencapai kesepakatan.

Pagi ini sekolah masih sepi, Aku melangkah perlahan. Pak Kebon sedang asyik menyapu halaman sekolah, sementara Pesuruh yang lain sedang sibuk membuka pintu ruang kelas satu demi satu. Pikiranku menerawang ke mana-mana. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Tak tega rasanya membayangkan Bu Clara yang begitu baik padaku harus di demo, meski aku tak menyalahkan keinginan teman-temanku. Bu Clara memang Guru yang aneh, tapi bukankah kami sebenarnya bisa belajar sendiri dengan membaca buku-buku yang banyak terdapat di perpustakaan, atau yang lebih lengkap lagi bisa browsing di internet? Tapi siapa yang akan mendengar kata-kataku, Dinda anak emas Bu Clara? Pastilah mereka akan mencibirku. ..

”Aku kembali melihat Induk burung gereja mencericit mematuk ulat. Memberi makan anak-anaknya. Ah...sepagi ini burung itu sudah harus menyuapi anak-anaknya. Aku termangu, perlahan mentari memancarkan sinarnya, menawarkan kehangatan ke mayapada. Teman-temanku sudah mulai berdatangan, tapi ruang Guru masih sepi. Tak lama kemudian Mobil Bapak kepala sekolah masuk halaman sekolah, beberapa menit lagi bel masuk berbunyi. Benar saja, tapi melalui mikrofon kami diharap berkumpul di lapangan sekolah. Tak seperti biasanya. Mendadak langit mendung, angin berhembus pelan. Mentari murung, hatiku terasa tak nyaman.

Rumah tua itu masih berdiri kokoh, rumah bergaya kolonial, dengan jendelanya yang besar-besar. Catnya sudah banyak yang terkelupas, warnanya sudah kusam dan pudar. Rumah itu penuh orang, tapi terasa hening. Aku dan Mia berdiri di salah satu sudutnya, di antara kerumunan pelayat. Kami sama-sama membisu.

Melalui mikrofon, tapi pelan, protokol mulai membacakan biografi Bu Clara.

” Clara Charlotte, dilahirkan 61 tahun yang lalu, dikarunia 3 orang anak yang semuanya masih duduk di bangku kuliah, menikah pada usia 37 tahun, dan menjanda pada usia 50 tahun. Purna tugas dari SMP ”Nasional” dua tahun yang lalu, tetapi karena tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, beliau masih bertahan di SMP Nasional sebagai Guru Honorer. Wafat pada usia 61 tahun karena tumor indung telur yang dideritanya....

Aku tak kuasa membendung air mataku, kulirik Mia juga sama denganku, tak lagi manyun seperti biasanya...!Pelan-pelan aku dan Mia beringsut...meninggalkan rumah duka dalam keharuan.

”Bu Clara, tabungan kami yang tak seberapa ini mungkin tak begitu berarti bagimu yang telah meninggalkan kehidupan dunia,tapi semoga bisa meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.,” ...

Setelah memasukkan amplop di kotak yang disediakan, aku dan Mia bergegas menuju pemakaman dengan sekeranjang bunga mawar yang sempat kami beli dalam perjalanan pulang dari bank tadi.

”Selamat jalan Bu Clara, ternyata Engkau menuruti kemauan murid-muridmu dengan caramu atas kehendak Tuhan. Maafkan segala kesalahan kami, murid-muridmu........

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post