Ita Fauzia

Pengikut Muhammad SAW, Pengagum Al Fatih, Penggemar Sheilla On 7even, Penikmat Kopi, penyuka Rotiboy. Tidak pilih-pilih bacaan tapi pemburu buku diskonan ...

Selengkapnya
Navigasi Web
47. Belum Ada Judul

47. Belum Ada Judul

Genap tiga bulan aku tinggal disini, berdua saja dengan bibiku yang baru saja menjanda. Bibi tidak punya keturunan, jadi ketika aku diterima sebagai ASN di desa kecil ini, beliau yang paling girang. Sudah sejak lama sekali memang perempuan setengah abad itu mengajakku untuk tinggal bersamanya.

“Ini buat Mbah Guru.” Bibi menyodorkan segantang makanan

Aku yang sedang duduk manis di depan TV segera beranjak mengantarkan makanan selagi masih hangat. Yang disebut Mbah Guru oleh bibiku adalah perempuan sepuh kisaran tujuh puluhan tetangga sebelah kami. Orangnya tertutup cenderung misterius namun sebenarnya hangat. Mbah guru hanya tinggal dengan pembantunya yang berusia sekitar empat puluhan dan suami sang pembantu yang juga seorang tukang kebun.

Tampak dari luar, rumah Mbah Guru sederhana. Hampir seluruh bagian rumah terbuat dari kayu. Halamannya luas sekali, dari pintu gerbang yang juga terbuat dari kayu, orang harus berjalan kira-kira lima menit untuk sampai di teras rumah. Sepanjang jalan masuk, ada barisan bunga matahari. Di belakang bunga matahari halaman dibiarkan kosong berumput halus. Di belakang pagar dua pohon cemara berdiri tegak seolah menjadi penjaga rumah. Di samping kanan rumah ada bermacam-macam tanaman obat keluarga. Di sisi kiri rumah berbagai macam bebungaan berwarna-warni yang mengundang banyak kupu-kupu. Di belakang rumah ada kolam renang kecil yang jarang dipakai dan beberapa pohon buah-buahan.

“Pagi, Mbah Guru.” Aku mendekati perempuan tua itu pelan-pelan.

“Pagi, Resti.” Beliau bangkit dari duduknya yang nyaman untuk memelukku.

Aku suka kehangatan itu, sesuatu yang tidak dia bagi kepada banyak orang. Jarang ada orang yang mengunjunginya sebab ia juga jarang menghabiskan waktu di luar rumah kecuali untuk beribadah tiap minggu. Ia juga tidak mengikuti kegiatan doa berjamaah, entah karena apa. Kata bibiku Mbah Guru hanya dikunjungi saudaranya saat natal, selebihnya jarang ada tamu. Namun bibiku sering menyapanya sebagai tetangga dekat. Kadang hanya bercengkerama di teras atau berbasa-basi di luar pagar.

Sejak disini, akulah yang sering datang ke rumahnya hampir tiap minggu. Rumah yang cozy seolah menarikku. Ada kedamaian yang tidak dapat kujelaskan membuatku rindu kembali ke sana. Kondisi rumah yang nyaris seperti rumah idamanku dan keasriannya menggodaku betah berlama-lama. Sejauh ini, aku hanya dibolehkan berbincang di luar rumah dan ruang tamu. Entah kenapa aku penasaran pada isi rumahnya namun kutahan karena sungkan.

“Resti tidak ke kota?” Tanyanya

“Tidak, Mbah.” Jawabku singkat

“Silahkan Tehnya Mbak Resti.” Mak Narti menyodorkan secangkir the panas dan kue kering.

“Terimakasih, Mak.”

“Sampaikan terimakasihku pada Bibimu, ya.”

“Ya, mbah.” Lagi-lagi kau menjawab singkat setelah seruputan pertaman tehku.

“Resti.” Raut wajah Mbah Guru serius membuatku tergagap.

“Ya.”

“Sampai kapan disini?”

“Eh, saya akan terus disini, mbah. Saya sudah diangkat jadi PNS.”

“Hmm.”

Mbah Guru beranjak dari duduknya, aku hanya terpana melihatnya.

“Desa kadangkala bisa jadi tempat terdamai untuk melarikan diri.”

Aku tidak mengerti maksudnya.

“Ikuti aku.” Ajaknya tanpa menoleh.

Aku mengekor saja di belakangnya tanpa bersuara. Kami berjalan menyusuri ruang tamu yang luas dengan perabotan kuno yang eksotis. Lukisan di dinding seolah-olah mengajakku berbicara, mengingatkanku pada salah satu adegan Harry Potter. Aku mengedipkan mata sambil bertanya dalam hati, apakah Mak Narti meracuni tehku sampai aku berhalusinasi. Aih, tentu saja tidak, pemikiran horror.

Setelah melewati ruang tamu, ia berbelok ke kanan menuju ke sebuah ruang tertutup dengan pintu yang tinggi besar. Lagi-lagi aku berhayal, “Apakah di ruangan ada lemari segede gaban menuju pintu masuk dunia Narnia?. Astaga, sepertinya aku sudah kebanyakan nonton Film Fantasi. Gagang pintu yang besar dan berat itu terbuka, memperlihatkan sebuah pemandangan yang indah. Perpustakaan pribadi yang besar berisi berbagai bacaan dengan banyak genre.

“Tutup kembali pintunya.”

“Eh, ya.” Aku terpesona.

 

_To be Continue_

 

(Tak tinggal turu sek, lanjut  kapan-kapan)

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post