TBLS_ 2 : ORANYE SENJA
Aku selalu suka oranye senja, romantis. Ironisnya senja hari ini aku masih harus disini, berkutat dengan sibuknya kedai kopi. Ariel, salah satu pelayanku tidak masuk tanpa izin, sialan sekali. Dugaanku dia pasti bersusah payah menonton klub sepakbolanya bertanding keluar kota, dasar hooligan brengsek. Rasanya lelah sekali, entah karena kebanyakan kerja atau kebanyakan menggerutu aku tak tahu, nyatanya aku benar-benar hampir limbung.
Secangkir Latte Macchiatto kuhadiahkan untuk diriku sendiri, menemani kesendirianku di meja paling ujung, bersanding langsung dengan deretan rak buku. Aroma apak buku menguar tidak seimbang dengan aroma kopiku, mengedarkan nuansa aneh. Asal saja kuambil sebuah novel dari rak terendah, ternyata “Hilangnya Kucing Siam” by Enyd Blyton. Ah, melihat covernya saja membuatku ingin kembali menjadi anak-anak.
Tak sengaja mataku menangkap tahun terbitnya, 1960, lawas sekali seusia ibuku. Baru terbaca dua halaman tiba-tiba selembar kertas nampak terselip diantaranya. Mungkin belum lama kertas itu bersembunyi disana, warnanya masih putih walau tak bisa dikatakan bersih. Sepertinya itu lembar puisi. Kuraih dan kubaca pelan,
Kelakar Senja
Senja berkelakar tentang kesunyian
Kemudian bercerita tentang jahatnya air
Yang menjulang tinggi melewati sempadan
Aku menemaninya di ruang baca
Melihat ke laut lepas melalui jendela kaca
Hatiku kelu
Lupa pada panas kopi yang menguar di sisi meja
Dan buku merana terbuka
Aku sedetik menyipitkan mata
Mengernyitkan lara
Dengan iba aku kembali duduk bersama dengan
Hembusan napas berat dan iba
Kucari Handphone dan mencari nama
Gugup aku mengudara menunggu berita
“Aku baik-baik saja”
Sudah itu sunyi kembali
Segala kembali ke tempat seharusnya
“Apaan sih,” Lagi-lagi aku menggerutu.
Pasti bukan anak-anak yang membuat puisi seperti itu, tapi kenapa terselip di novel anak. Sengaja atau tidak? Ah, sudahlah aku tak punya waktu untuk hal remeh temeh macam itu. Kuambil kertas puisi itu dan memasukkannya ke kantong bajuku. Aku menghembuskan napas berat dan mencoba kembali menikmati latte yang mulai menghangat.
Bel pintu berdenting membersamai seseorang yang masuk, seorang pelayanku tersenyum ramah sembari mencarikan tempat duduk dan menyodorkan menu. Aku hanya memperhatikan dari sudut sambil menyipitkan mata hingga kusadari aku mengenalnya.
“Zack!” hatiku mencelot.
Bagaimana mungkin, dari banyaknya café di kota ini dia memilih masuk di tempat ini. Ah, sial, aku masih menata napas, mengendalikan diri agar jantungku tidak benar-benar melompat keluar.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar