Ita Fauzia

Pengikut Muhammad SAW, Pengagum Al Fatih, Penggemar Sheilla On 7even, Penikmat Kopi, penyuka Rotiboy. Tidak pilih-pilih bacaan tapi pemburu buku diskonan ...

Selengkapnya
Navigasi Web
71. Eddy

71. Eddy

Aku bukan cenayang, bukan indigo atau apalah sebutannya untuk orang yang bisa melihat hantu. Aku hanya merasa sedang sial. Semua orang di ruangan ini bicara santai, tak ada apapun yang mereka risaukan. Hanya aku yang merasa ada yang salah. Firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk terjadi, jika tidak malam ini maka besok, pokoknya segera. Aku tidak mampu mengalihkan pandangan pada gadis terlalu cantik yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian disini. Sesekali dia melirikku dan tersenyum licik.

Ada banyak kamar di rumah ini namun kami bertiga malah berdesakan di kamar utama. Hawa dingin membuat kami enggan tidur sendirian. Seperti biasa aku butuh waktu membiasakan diri di tempat asing, hingga hampir tengah malam mataku tak mau terpejam. Seketika aku iri pada mereka berdua sekaligus jengkel karena harus terbangun sendirian. Aku mencoba menelpon Teguh tapi tak diangkat, tentu saja cowok tengil itu juga sudah tidur.

Samar-samar kudengar suara derap langkah di luar kamar, semakin cepat semakin dekat dan berhenti di depan kamar kami. Penasaran aku bangkit dan mendekat, kutempelkan telingaku di daun pintu, hening. Entah dorongan apa yang membuatku ingin membuka pintu, pintu tua itu menderit mengejutkanku. Perlahan sekali aku membukanya, kemudian kulihat seorang anak lelaki kecil berdiri mematung disana.

“Tolong”

Aku tercekat, dadaku berdebar kencang. Lelaki kecil itu berlumuran darah, kepalanya terbelah, tangannya memegang sebuah kapak besar.

“Akhhhhh!!!!!” Jeritku membangunkan seisi rumah.

Kelima temanku sudah berdiri mengelilingiku yang gemetaran, aku segera menghambur memeluk kekasihku mencari ketenangan. Akhirnya kami berenam duduk melingkar di lantai bawah kamar utama. Mereka menatapku jengkel menuntut penjelasan. Akhirnya kuceritakan semua yang kurasakan dan kulihat sejak masuk ke rumah ini. Tiba-tiba Febi bercerita;

 “Aku masih berumur Sembilan tahun waktu itu. Ayah membawaku ke sini untuk mengisi liburan sekolah. Emma tinggal di sebelah rumah ini bersama kakak dan kedua orang tuanya. Aku tidak terlalu paham tapi kata orang-orang sekeluarga itu dibunuh dengan kejam, hanya Emma yang selamat.  Tidak ada segores lukapun di tubuhnya sedangkan kedua orang tuanya dimutilasi. Kakak laki-lakinya yang seingatku bernama Eddy, kepalanya terbelah. Dia masih kecil seumuran denganku. Tidak ada yang tahu bagaimana cara Emma bisa selamat.”

Kami saling bertatapan, merinding. Seumur hidup aku tak pernah dapat melihat hantu, setan atau apalah namanya. Bagaimana mungkin belum genap sehari aku di rumah ini sudah dua kali melihat makhluk halus. Kepalaku mendadak berdenyut sakit, firasatku berkata ada aneh. Sementara itu teman-temanku mencoba mencari segudang alasan menjelaskan keadaanku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post