126. Just Be Yourself
Just Be Yourself
Suatu ketika, saya bertanya pada anak-anak. kamu mau jadi apa? Satu diantaranya berkata, aku mau jadi youtuber seperti Atta Halilintar. Anak lainnya berkata aku mau jadi Dokter seperti ayahku. Satu anak menggeleng, aku tidak tahu. Percakapan itu sepertinya biasa-biasa saja bagi kebanyakan orang. buat saya, itu luar biasa. Saya menyadari bahwa setiap anak berbeda. Ada yang berpikir ke depan, ada yang biasa saja, ada pula yang tidak tahu harus bagaimana.
Ketika ada anak yang ditanya, mau jadi apa tapi menjawab tak tahu, bisa jadi ada yang salah dengannya. Apakah ada yang keliru saat membimbing dan mendidiknya? Saya bukan ahli psikologi, bukan ahli parenting tapi saya tahu anak ini butuh pertolongan. Jika dibiarkan saja, anak ini kelak akan kebingungan menentukan jalan hidupnya. Nyatanya, anak-anak seperti ini tidak hanya satu tapi banyak. Contoh paling baru adalah kebingungannya mencari sekolah lanjutan.
Ketika saya tanya, kamu mau sekolah dimana? SMA atau SMK? SMA-nya dimana? SMK-nya jurusan apa? Masih banyak anak yang bingung, tak tahu harus menjawab apa? sebagian ada yang menjawab tapi dengan jawaban yang seragam. Kesannya anak ini hanya ikut-ikutan. Teman baiknya masuk SMK X jurusan Z, dia mengekor saja. Teman yang masuk SMK X ini juga hanya ikut-ikutan sebab kakaknya alumni yang sukses. Ada juga yang manut alias nurut apa kata orang tua.
Menurut anjuran orang tua memang baik. Mengerti apa yang dicita-citakan tentu lebih baik. Hasil penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN) menunjukkan sebanyak 87 persen mahasiswa di Indonesia mengakui jurusan yang diambil tidak sesuai dengan minatnya. Survei pada 2017 itu juga menemukan ‘salah jurusan’ bisa berdampak pada studi. (https://www.inews.id/news/nasional/survei-87-persen-mahasiswa-di-indonesia-salah-jurusan)
Disini, sebagai Guru, tugas kita membimbing dan mengarahkan anak-anak untuk berani menjadi dirinya sendiri. Berani berdiskusi dengan orang tua akan pilihan pendidikan dan karir anak. Demikian dengan orang tua, ada baiknya tidak egois menentukan masa depan anak. Walau misalnya kita punya usaha yang sangat sukses dan dapat diwariskan. Mari berkompromi dengan anak, apakah dia mau meneruskan usaha kita. Tentu kita semua tahu, segala sesuatu yang dipaksakan akan berdampak buruk. Meski ada pula yang terjerumus namun malah sukses, seperti saya contohnya. Tidak pernah bercita-cita jadi guru.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar