180. Kembali
Di sudut cafe tengah kota, Ami duduk berhadapan dengan Abi. Pertama kalinya setelah empat tahun. Pria yang dulu mempesona kini terlihat biasa saja.
“Fesya baik?”
“hmm.”
“Kamu?”
“hmm.”
“Baguslah.” Abi masih tidak tahu bagaimana harus bersikap pada mantan pasangannya itu. Dahulu wanita di depannya itu selalu bersikap sangat manis dan lembut. Ia mau menerima Abi bagaimanapun keadaannya. Bahkan saat Abi memilih menikah dengan orang lain, Ami masih mau berkawan baik dengannya. Kini, berbicara dengannya saja sulit. Seolah ada tembok pembatas tebal dan tinggi yang menghalangi mereka.
“Kalau ga ada yang diomongin lagi. Aku pulang.” Ami hendak beranjak pergi namun Abi mencegahnya
“Ayolah, Mi. Tolong beri aku kesempatan memperbaiki kesalahanku.” Pinta Abi
Ami berkeras pergi. Abi tidak mau lagi memaksanya, percuma. Suasana hatinya sedang buruk. Memaksa diskusi apapun dengannya rasanya percuma. Abi menghela napas panjang dan berat. Lagi-lagi keinginannya untuk bertemu dengan putrinya gagal.
Abi tahu dia salah walau tak sepenuhnya. Kedunguannya dahulu telah menyebabkan Fesya, putri kecilnya lahir dengan paksa ke dunia. Gadis kecil yang tidak boleh diakuinya. Bayi imut lucu yang tidak bernasab padanya. Situasi menjadi buruk saat istri sah Abi dan keluarga besarnya tahu. Demi meredakan ketegangan, Abi memilih menghindar sementara dari Ami dan bayinya. Tapi Ami berpikiran lain. Ibu muda itu menganggap Abi terlalu pengecut.
Ami pergi membawa bayinya yang malang ke kota lain. Berjuang hidup sendirian hingga beberapa waktu lalu Abi berhasil menemukannya. Abi ingin dianggap, dia bermaksud bertanggung jawab.
“Kamu tidak berhak atas Fesya, Bi.” Tegas Ami
“Setidaknya izinkan aku bertemu dengannya?” Rajuk Abi
“Untuk apa?”
“Aku Ayahnya?”
“Fe tidak pernah punya Ayah, seperti kata Abahmu yang sholeh itu. Fe tidak berhak atas apapun darimu. Tidak bernasab padamu. Tidak berhak mendapat warisanmu, uangmu, kasih sayangmu. Dia haram buat kamu.” Ami menekankan kata HARAM dengan suara berat dan tinggi.
“Setidaknya aku Ayah biologisnya. Izinkan aku terlibat dalam hidupnya.”
“Tidak.”
“Izinkan aku hadir di hidupnya, jika menurutmu kau sudah cukup kaya untuk menafkahinya.”
“Tidak.”
“Kamu egois, Mi!”
“Kita, Bi. Kita Egois. Kita yang membuat dia lahir.”
“Ya kita, maka izinkan aku juga ada untuk dia. Bukan hanya kamu tapi kita.”
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
Ami tidak menjawab, bosan menjelaskan. Sebagian dari dirinya mengakui memang dia egois. Sebagian dirinya yang lain masih belum dapat menerima berbagai perlakuan menyakitkan Abi dan keluarganya. Betapa omongan mereka telah menusuk-nusuk hatinya sangat dalam. Luka itu masih belum menutup sempurna. Ami belum dan mungkin tidak akan pernah lupa saat Abi meninggalkannya lagi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren ceritanya bun...aku setuju dengan sikap Ami... penasaran dengan lanjutannya.. salam sukses selalu
Sebenarnya ini chapter lanjutan dari cerbung yg saya telantarkan sejak kira2 dua bulan yang lalu. Btw terimakasih sudah mampir. Sukses juga buat ibu :-)