83. Semoga Bahagia (A Flash Fiction)
Hari menjelang senja saat aku keluar kantor, pendar lampu jalanan mulai terang. Sudah lama aku tak punya agenda kencan, bukan tidak mau, hanya lelah. Kurasa mungkin karena aku sudah jengah, ingin menikmati waktuku sendiri. Ya, benar-benar sendiri tanpa gaduh tiap weekend. Tanpa debat saat memesan makan malam yang berujung kata “terserah”.
Hari ini ulang tahunku ke tiga puluh. Pertama kalinya aku sendirian. Tak apa lagi pula aku tak pernah minta perayaan. Dahulu saat masih kecil, ibuku yang merayakannya, tanpa kuminta pun tak pernah tanya aku meninginkannya atau tidak. Pokoknya nurut saja. setelah remaja teman-teman sekolah rajin memberi kejutan berlanjut sampai kuliah hingga kerja.
Biasanya gadisku akan sibuk menyusun kejutan ini-itu. Tidak hari ini. Keluar dari kantor aku berjalan kaki ke seberang taman. Cuaca sedang cerah, walau tak kudapati sebuah bintangpun bersinar di tengah kota ini. Duduk di sebuah bangku taman yang sepi menyesap sebatang rokok. Telinga kusumpal dengan earphone mendengar music rock klasik.
“Sendirian?” Seseorang mengejutkan kesepianku.
Aku tersenyum, Zie teman sekantorku, mantanku juga.
“Kamu juga sendirian.”
“Berdua sama kamu sekarang.” Jawabnya santai, mengambi tempat duduk persis di sebelahku.
“Nunggu siapa?”
“Enggak, pengen nyantai aja.” Jawabku
“Hmm, Happy Birthday.”
“Oh, Thanks. Masih ingat ya?”
“Aku memaafkan tapi tidak melupakan.”
Aku mencuri pandang saat dia asyik menjawab pesan di gawainya. Rupanya dia sadar, tanpa menoleh dia bertanya,
“Kenapa? Aku tambah cantik ya?”
“Ha!” Aku mengumpat dalam hati membenarkan pernyataannya.
“Semoga bahagia, Ben?” Raut mukanya serius.
“Ya. Kenapa harus sedih memangnya?” Jawabku cepat.
“Kamu kelihatan lelah.”
Aku diam lalu mengernyitkan kening, membuang puntung rokokku ke sembarang arah. Perempuan ini mantanku yang luar biasa.
“Tentu saja lelah setelah seharian bekerja.”
“Maksudnya psikismu bukan fisikmu.” Timpalnya cepat
“Tidak, mungkin kamu yang lelah mendapat suami seperti Rheo.” Balasku
“Memangnya Rheo kenapa? Dia baik.”
“Dia tidak mencintaimu.”
“Setidaknya dia mencintaiku, setia padaku.”
Sebuah Toyota camry mendadak berhenti tak jauh di depan kami. Zie beranjak dari tempat duduknya berpamit padaku.
“Semoga panjang umur dan bahagia, Ben.”
Aku mencoba tersenyum mengiringi kepergiannya. Seperti menonton adegan film romantis, mantan gadisku disambut peluk cium seorang pangeran. Sontak aku berpikir untuk segera mengakhiri masa lajangku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar