Fadibah Setiawan

Sukses itu adalah membuat orang lain sukses, dan aku menikmati nya dengan lebih semangat lagi berbagi dan bersyukur. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Abi Tidak Galak

Abi Tidak Galak

Aku melihat jam tangan biru yang melingkar di lengan kiriku. "Aftagfirullah sudah jam 18.30" aku bergumam sendiri. Kuberitahukan pada wafa dengan berbisik "ayo kita pulang" dengan memberi kode agar lihat jam. Seketika itu tersadar dan langsung berpamitan pada Owik.

Sadad yang lagi asik bermain dengan Rafi juga ikut kaget dengan sikap kakak tertuanya. Setengah kutarik lengannya agar dia juga bersegera.

Kami bertiga berlarian segera pulang. Rumah Owik berada di samping lapangan sepakbola tempat kami bermain. Memang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, hanya berjarak sekitar 500 meter. Dengan suasana seperti ini rasanya jauuuh banget.

Sampai depan rumah Wafa membuka pintu pagar dengan pelan dan hati-hati sekali, sambil menempelkan telunjuk kiri di mulutnya. "…..kriiiieek," bunyi pintu ketika ditutup secara perlahan.

Abi yang sedang mengaji di teras rumah menoleh ke arah suara. Kamipun terdiam terpaku di tempat.

“Wafa, Arul, Sadad. Masuk kamar!” suara Abi tegas dengan nada dan volume cukup tinggi namun bermimik wajah lembut.

Ada apa gerangan? Abi hampir tidak pernah sekeras ini saat berbicara.

Kami bertiga masuk ke kamar, menuruti perintah Abi dengan kepala tertunduk. Peluh masih membasahi sekujur punggung, kami baru pulang bermain bola di kampung sebelah saat adzan Isya telah berkumandang. Memang kami terlalu larut bermain.

Kamar itu sebenarnya sebuah gudang yang disulap menjadi tempat tidur bersama dan ruang serbaguna dengan penerangan lampu seadanya. Wafa bersila diantara aku dan Sadad yang juga ikut bersila. Kami sering disebut ‘Tiga Sekawan’ oleh tetangga karena selalu bertiga kemana-mana. Abi pun bersila di hadapan kami. Wajahnya mempertontonkan kekecewaan yang semakin membuat kami ciut.

“Kenapa pulang selarut ini?” Abi mulai menginterogasi kami.

Wafa sebagai kakak, lelaki pertama, memposisikan diri sebagai juru bicara, dan mulai cerita panjang tentang alasan kenapa pulang larut malam. Mulai dari sendal sadad yang hilang sebelah karena dijahili Eko, hingga diajak main Playstation. Bersama dengan Owik, tetangga sekaligus teman karib kami bertiga. Aku pun tak kalah berargumen membenarkan apa yang dikatakan Wafa.

“Sudah shalat maghrib?”

Sebuah pertanyaan yang mencekat. Wafa diam membeku. Apalagi aku, juga Sadad yang paling muda. Kami betul-betul lupa waktu saat itu. Hanya menundukkan kepala yang bisa kami lakukan. Mungkin karena ini wajah Abi begitu kecewa.

"Nda, tolong matikan lampu”, suara Abi lembut kepada Ummi.

Ummi yang semenjak awal ternyata mendengarkan di balik pintu kemudian masuk dan mematikan lampu lalu duduk di samping Abi. Kamar seketika gelap gulita.

“Apa yang bisa kamu lihat sekarang?”

Hening. ....

"Semua gelap. Lihat sekeliling kamu, hanya ada hitam. Tapi ulurkan tanganmu ke kanan dan ke kiri. Kamu akan merasakan genggaman tangan saudaramu dan Abi Ummi.”

Kami saling menggenggam.

“Tapi tidak lagi saat nanti di alam kubur. Karena kamu akan sendirian dalam kegelapan. Tidak ada saudaramu. Tidak ada Abi dan Ummi. Hanya sendiri. Sendiri dalam kegelapan dan kesunyian.”

Aku tercekat. Semua terdiam. Genggaman tangan di kanan kiriku mengerat.

"...sreeet … cetak" suara korek api kayu dinyalakan, sesaat tergambar wajah Abi, Ummi, Wafa, dan Sadad akibat kilatan cahaya api pada korek yang dinyalakan Abi. Semua berwajah sendu. Korek itu membakar sebuah benda yang menghasilkan bara berbau menyengat. Bau obat nyamuk.

"Siapa yang berani menyentuh bara ini?” suara Abi masih mendominasi.

Semua diam. Masih diam. Hening....

“Ini hanya bara. Bukan api neraka yang panasnya jutaan kali lipat api dunia. Maka masihkah kita berani meninggalkan shalat? Shalat yang akan menyelamatkan kita dari gelapnya alam kubur dan api neraka.”

Terdengar suara isak tangis perempuan. Itu Ummi. Genggaman kami semua semakin menguat.

"Tolong Abi. Tolong Ummi. Abi, Ummi akan terbakar api neraka jika membiarkan kamu lalai dalam shalat. Wafa, usiamu 14 tahun, paling dewasa di antara semua lelaki. Arul, 12 tahun. Sadad, 10 tahun. Bahkan Rasul memerintahkan untuk memukul jika meninggalkan shalat di usia 10 tahun. Apa Abi perlu memukul kamu?”

Suara isak tangis mulai terdengar dari hidung kami bertiga. Takut. Itu yang kurasakan. Kami semua saling mendekat. Mendekap, bukan lagi menggenggam.

“Berjanjilah untuk tidak lagi meninggalkan shalat. Apapun keadaannya. Sekarang kita shalat Isya berjamaah. Dan kamu bertiga mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aku pengen baca krn kalimat awal ada kata 'biru'. Wkwkwk ....

16 Mar
Balas

Ada apa dengan biru?

17 Mar



search

New Post