Kuspriyanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Corona Jangan Bagikan Lagi!
https://www.marketwatch.com/

Corona Jangan Bagikan Lagi!

Pandemi COVID-19 sudah memenuhi ruang media di sekitar kita, baik cetak (laring) maupun elektronik (daring), terlebih lagi di media sosial. Saking penuhnya, mulai muncul opini untuk menghentikan pemberitaan "buruk" seputar ODP, PDP, dan fatality rate. Sebagian orang menginginkan hanya pemberitaan "baik" saja yang dibagikan. Lalu bagaimana kita harus bersikap?

Di antara kabar baik (good news) dan kabar buruk (bad news), mana yang kita ketahui lebih baik? Ini bukan salah kita sebagai manusia, tapi juga bukan salah media sebagai jembatan pemberitaan.

Kalau bicara media "besar", pasti bicara industri. Di sini perusahaan harus bertahan menuruti kemauan pasar, dalam hal ini adalah pembaca. Dalam hal media sosial adalah warganet. Itu adalah hukum ekonomi dasar; no reader no money. Mana yang lebih disukai, rating-nya lebih tinggi. Alhasil, pemasukan dari iklan atau klick akan bertambah. Hal ini bisa menjebak pers untuk "berkhianat" pada tujuan mendidik masyarakat.

Dalam kajian psikologi, hal buruk ada korelasinya dengan insting manusia. Kita punya kecenderungan lebih suka dengan hal negatif dibandingkan hal positif. Yang muncul adalah negativiy bias. Begitu pula dengan adanya amygdala dalam struktur otak. Manusia akan selalu penasaran dengan hal-hal yang belum mereka ketahui, kemudian mencari sumber kebenaran. Secara news value, hal ini akan menambah nilai sebuah berita.

Bergeser ke sudut pandang neuro semantics, kita bisa mendapatkan pencerahan tambahan. Ada stimulus, ada respons. Namun, di antara keduanya masih ada proses antara. Proses inilah yang menentukan respon yang diberikan.

Pada kenyatannya, ini bukan hanya satu proses, tetapi berlapis-lapis, berlangsung cepat, yang dinamakan sebagai proses berpikir. Ini yang akan menentukan sikap (respons) berikutnya. Bisa berupa tindakan, bisa juga berupa ucapan.

Ternyata pikiran dan tindakan tidak selalu berjalan linear. Bahwa ada proses lain di antara stimulus dan respons inilah yang menjadi penyebab dan/atau pemicu tindakan, secara sadar maupun tidak.

Contoh sederhana, ketika kita mendapati ada siswa yang menjatuhkan pot-pot bunga dari raknya di lorong sekolah, respons kita bisa berbeda. Mungkin ada yang kesal dan marah. Ada juga yang sangat khawatir tentang keselamatan siswa tersebut. Namun, bukan tidak mungkin ada juga yang lebih mengkhawatirkan tentang kerugian yang timbul dari insiden tersebut.

Begitulah, stimulus bisa sama, berita yang kita terima juga bisa sama. Pada akhirnya respons kita bisa berbeda. Berita tentang kasus COVID-19 bisa membuat sebagian orang semakin ketakutan, tapi sebagian lagi bisa memaknainya lebih positif untuk kewaspadaan. Sebagian orang bisa mengatakan bahwa berita tersebut bisa menyebabkan stres sehingga berdampak negatif terhadap daya tahan tubuh, tapi sebagian lagi bisa lebih well-prepared di masa work from home (WFH) ini. Semua kembali pada proses di dalam kita. []

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap... Semoga semua kembali aman dan terkendali.. Aamiin

25 Mar
Balas

Amin...

25 Mar



search

New Post