Menulis untuk Peradaban
"Jika kamu bukan anak raja, atau anak ulama besar, maka menulislah."
Al-Ghazali
Belajar dari Sejarah Peradaban
Belajar dari masa lalu, sejarah sesungguhnya bisa menjadi medan pembelajaran bagi manusia untuk menjadi dirinya mencapai kebahagiaan. Sejarah jika tidak dituliskan akan menjadi dongeng. No document, no history. P. Swantoro, seorang sejarawan dan juga seorang jurnalis, mengatakan, “In het light het verleden, in het nu wat komenzal.” Secara harfiah diartikan “Dalam masa sekarang kita menjumpai masa lalu, dalam masa sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang.”
Tulisan merupakan refleksi eksistensi manusia di dunia. Melalui tulisan, manusia beralih dari zaman prasejarah menuju sejarah. Peradaban berkembang semakin cepat karena huruf-huruf yang tergores mulai dari dinding, daun, kertas, sampai yang tersimpan secara digital. Dengan tulisan, masa lalu dapat dipelajari sehingga bisa diperbaiki.
Fredrik Barth dalam Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference menuliskan bahwa munculnya sistem penulisan bertepatan dengan transisi dari masyarakat pemburu-pengumpul kepada masyarakat yang menetap dan bertani. Mereka merasa perlu menghitung properti, seperti bidang tanah, jumlah hewan, perawatan gandum, dan lain-lain.
Sekitar 4.100-3.800 SM, hitung-menghitung mulai menjadi simbol yang banyak dijumpai di tanah-tanah. Simbol tersebut menjadi catatan untuk biji-bijian atau ternak. Saat itulah bahasa 'menulis' mulai berkembang. Salah satu contoh paling awal ditemukan dalam penggalian dari Uruk di Mesopotamia.
Bahasa tulis adalah produk dari masyarakat agraris. Masyarakat tersebut berpusat di sekitar lokasi budidaya gandum. Hasil alami dari budidaya dan penyimpanan gabah. Beberapa prasasti tua ditulis terkait dengan hal tersebut.
Rasanya tidak salah jika ada ungkapan “Peradaban dapat dibangun lewat tulisan.” Sebuah peradaban sebenarnya dimulai dari langkah yang sederhana, yaitu aktivitas menulis. Bukankah bangsa Yunani dikenal memiliki peradaban yang maju karena banyaknya jejak-jejak tulisan yang dihasilkan oleh para cendikiawannya? Demikian pula dengan peradaban Mesir, Babilonia, China, hingga Romawi. Mereka diakui sebagai kawasan peradaban dunia. Semua tidak lepas dari hasil-hasil tulisan para pemikir dan ilmuwannya.
Tidak kalah hebatnya adalah peradaban Islam. Coba kita tengok, semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung. Mereka telah menghasilkan berbagai karya. Sampai saat ini karya tersebut tetap menjadi rujukan dalam berbagai disiplin keilmuan.
Dulu, dunia islam melesat jauh meninggalkan Eropa. Namun, kemunduran peradaban terjadi setelah perang Dari sinilah maka akan terjadi dinamika kehidupan sehingga yang berkepanjangan. Salah satu penyebab mendasar kemunduruan tersebut adalah hilangnya tradisi membaca dan menulis. Padahal tradisi tersebut pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu.
Nama orang-orang besar tetap terkenang di sepanjang zaman, dari sebuah tulisan tangan para pahlawan abadi. Walaupun namanya tak seharum pahlawan berdarah, tetapi jasa mereka tetap terasa sepanjang zaman. Dengan memberikan hadiah sebagai ungkapan cintanya untuk terus membangun peradaban dunia. Telah banyak pengalaman dari para ilmuan dengan tulisannya yang walaupun hanya sedikit, tetapi dapat menjadikan peradaban berubah menjadi lebih baik.
Memaknai Kekinian Peradaban
Seharusnya saat ini peradaban telah tenggelam diselimuti kegelapan. Namun, peradaban terselamatkan melalui tangan para penghasil karya-karya intelektual. Melalui tulisan tangan mereka, ilmu pengetahuan tetap terjaga dan tidak habis seiring bergantinya zaman.
Pernahkah terpikir bagaimana seandainya para ilmuwan, para pemikir, dan orang-orang terdahulu tidak pernah menulis tentang apa yang mereka alami, saksikan, dan temukan pada zamannya? Bagaimana seandainya tidak ada buku-buku dan karya ilmu pengetahuan tempo dulu? Niscaya kita tidak akan mengalami zaman modern karena kita tidak bisa mempelajari apapun tentang masa lalu, termasuk karya-karya monumental yang sangat bermanfaat untuk kehidupan kita saat ini.
Telah kita rasakan bagaimana karya-karya intelektual dari para ilmuan terdahulu mampu membangun peradaban modern pada saat ini. Karya-karya mereka menjadi rujukan di berbagai universitas dan di gunakan sebagai standar pembelajaran. Seperti buku Qanun fi At-thibb karangan Ibnu Sina (Avicenna) yang menjadi rujukan ilmu kedokteran di Eropa. padahal ibnu sina hanya hidup selama 57 tahun (980-1037). melalui tulisannya, kehadirannya pada seribu tahun silam, menjadikan nama dan keilmuan Ibnu sina evergreen, abadi hingga hari ini.
Dari tulisan para pendahulu, generasi bangsa saat ini dapat menimba banyak ilmu, baik dari pengalaman-pengalaman di masa lalu maupun konsep-konsep pemikiran yang jauh menatap ke depan. Banyak tulisan telah menginspirasi banyak orang. Bahkan tulisan mereka seolah menggantikan ruh-nya karena tulisan tidak akan pernah mati dan lapuk dimakan zaman.
Menulis adalah pekerjaan yang mulia. Mustahil peradaban manusia bisa sedemikian berkembang pesatnya jika orang-orang terdahulu malas untuk menulis. Sekarang jika semua orang malas menulis, bukan tidak mungkin, peradaban akan stagnan.
Melalui tulisan, manusia menuangkan pemikiran. Pemikiran yang tercatat tersebut merupakan modal pengetahuan bagi khalayak. Selanjutnya, masyarakat dapat memilih untuk menyetujui atau menolak pemikiran tersebut.
Persetujuan dan penolakan tentunya akan kembali menghasilkan pemikiran baru yang tertuang dalam tulisan. Tesis bertemu antithesis, kemudian berakhir dengan sintesis. Selanjutnya kembali menjadi tesis dan bertemu antitesis. Demikianlah, pemikiran menjadi semakin berkembang. Alhasil, peradaban pun berkembang, melalui tulisan. Yang pada akhirnya, manusia itu sendiri yang mendapat manfaat dari perkembangan peradaban.
Karya-karya para pujangga masa lalu dalam berbagai naskah tulisan merupakan bukti peradaban zaman itu yang sangat berharga untuk mengantarkan kemajuan zaman sekarang. Kelak, generasi setelah kita juga akan menyaksikan peradaban yang hidup pada masa sekarang, melalui kata-kata dan naskah tulisan yang dihasilkan pada zaman ini.
Menulis untuk Peradaban
Menulis merupakan cara untuk menjaga ilmu. Menulis tidak menjadikan ilmu hanya ada di dalam otak saja, karena setiap orang akan mengalami penurunan kualitas ingatan dan kinerja otak pada masa tuanya.
Di dalam sebuah syair, ilmu di ibaratkan sebagai binatang buruan yang bisa kabur jika tidak diikat. Maka ikatlah ilmu dengan menulis. Hanya dengan menulis, ilmu yang kita miliki tidak akan lepas dari ingatan.
Bagi seorang inisiator peradaban, menulis adalah suatu hal yang penting agar pergerakan tidak hanya berhenti pada masa keemasannya. Melalui tulisan, ghirah perjuangan akan tetap ada dan abadi pada setiap zaman.
Peradaban modern telah mensyaratkan manusia untuk menulis. Menulis menjadi pekerjaan sehari-hari. Sejak berusia muda, manusia sudah harus mulai mengenal huruf, angka, dan beberapa tanda baca yang melengkapi keduanya. Semakin maju peradaban, tulisan menjadi semakin penting.
Menulis sama artinya dengan membangun sebuah peradaban. Tulisan apa saja, akan memberikan manfaat bagi penulisnya sendiri dan orang-orang yang membutuhkannya. Karena di balik kata-kata yang ditulis, tersimpan kandungan makna.
Semakin banyak kata yang ditulis, semakin banyak makna yang dikandung. Semakin banyak makna tentunya semakin banyak memberikan wacana yang bisa dibaca, dicerna, dipahami, bahkan menginspirasi banyak orang. Ketika sebuah tulisan telah banyak menginspirasi banyak orang, maka akan semakin banyak orang pula yang melakukan sesuatu. Dari sini akan terjadi dinamika kehidupan sehingga terciptalah sebuah peradaban.
Menulis dan peradaban bak ibu dan anak. Peradaban adalah anak kandung budaya menulis. Dan menulis adalah ibu yang melahirkan peradaban. Atau dengan kata lain, tulisan hanya terdapat dalam peradaban dan peradaban tidak ada tanpa tulisan.
Tulisan merupakan prasyarat utama peradaban menggapai kemajuan dan kejayaan. Dari tulisan, akan lahir berbagai pemikiran cerdas nan cemerlang yang mampu membangkitkan semangat membangun peradaban. Tulisan mampu menghadirkan starting point membuka perubahan.
Hingga saat ini, tulisan tetap menjadi tolok ukur majunya peradaban suatu bangsa. Di negara maju yang budaya bacanya tinggi, Amerika Serikat contohnya, setiap tahun setidaknya diterbitkan 75.000 judul buku. Tak mengherankan, bila Barat lebih maju. Tulisan yang mereka hasilkan lebih banyak. Dalam setiap bentuknya, tulisan akan senantiasa menjadi mercusuar peradaban. Di negara berkembang seperti India, yang menduduki peringkat ketiga dunia dalam hal penghasil buku, jumlahnya mencapai 60.000 judul buku terbit setiap tahun.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sangat memprihatinkan. Sebagai sesama negara berkembang dengan India, jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia per tahun jauh lebih sedikit, hanya sekitar 7.000 judul.
Lantas bagaimana menanamkan tradisi menulis? Diperlukan gerakan untuk ‘membumikan’ menulis secara masif. Seandainya semua serentak untuk bergerak, tentu kita akan dapat memanen hasilnya suatu saat nanti. Semua kembali kepada kita. Jika tidak sekarang kita mulai, kapan lagi? Jika bukan kita yang memulai, siapa lagi?
Menulis tidak harus selalu menggunakan bahasa ilmiah dan sarat dengan filosofi. Yang paling penting adalah pesan yang disampaikan muncul dalam tulisan. Kita bisa mulai menulis dari hal-hal kecil dan sederhana tentang pekerjaan, aktivitas, ata pengalaman kita sehari-hari.
Lihat bagaimana Soe Hok Gie dengan rutin menuliskan kesehariannya hingga menjadi “Catatan Seorang Demonstran” yang membius pembaca seakan merasakan atmosfer politik era Order Lama-Orde Baru. Anak muda tentu lebih akrab dengan Raditya Dika yang muncul dengan cerita ringan khas mahasiswa tuna-asmara yang sedang berkuliah ke Australia. Pada akhirnya ia mampu mendobrak tren baru dalam dunia literasi di Indonesia.
Cara lain yang cukup mudah adalah dengan menuliskan opini. Bidangnya bisa apa saja, sesuai dengan background pendidikan, peminatan, dan kompetensi kita masing-masing. Opini merupakan produk dari buah pemikiran. Dari sini pembaca akan mengetahui jalan pikiran kita. Bisa saja dari opini tersebut akan muncul gagasan baru dan diwujudkan oleh orang lain sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar.
Jika orang ingin dikenal dunia, maka dia harus menulis. Andai ada orang besar yang tidak menulis, bersiap-siaplah untuk dikubur namanya. Sudah berapa banyak orang besar yang terlupakan keberadaannya karena mereka tidak menulis. Sejarah mereka terabaikan karena tidak meninggalkan ‘warisan’ untuk peradaban.
Intinya, dari tulisan tentang pengalaman kita, bisa saja para pembaca terinspirasi untuk membuat karya yang jauh lebih besar. Dengan demikian, secara tidak langsung kita sudah memandu seseorang untuk berbuat sesuatu. Semakin banyak tulisan yang kita buat, maka akan semakin kaya peradaban yang akan tercipta. []
Diolah dari berbagai sumber.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap. Aku membacanya tuntas!
Terima kasih
Bagus tulisannya
Terima kasih
Terima kasih