Iyus Yusandi

Guru SMAN 18 Garut...

Selengkapnya
Navigasi Web

Pesilat itu Agus Ramdani

Perjalanan panjang selama 4 hari, menunggu pertandinganku di babak penyisihan silat begitu terasa menyiksaku. Dalam penantian itu jantungku dag dig dug tak menentu. Resah gelisah diriku, gugup tak karuan.

Agus ramdani adalah seorang pesilat muda remaja. Berpostur ideal dengan warna kulit sawo matang. Ia tinggal di sebuah kampung di kaki bukit.

Agus Ramdani pesilat di kelas pemula.

“Meski lelah melanda diriku, tapi aku tidak menyerah dan tidak patah semangat” Agus Ramdani bergumam.

“Agus, Agus, Agus!” Riuh suara semua orang menyebut nama Agus.

“Aku merasa terharu dan semakin gugup.” Kutundukkan kepalaku.

Juri pertama memanggil nama Agus. Agus masuk dari sudut biru. Dari sudut merah disebut nama lain oleh juri. Lawan Agus berwajah lebih sangar, bahkan lebih tinggi posturnya dari Agus.

“Aku melaju ke atas gelanggang disemangati orang tuaku dan kawan-kawanku. Aku mengambil posisi di sudut biru. Seperti yang sudah ditentukan para juri.

“Aku harus menjatuhkan lawan dalam ronde awal! Lawanku harus jatuh satu kali tendangan. Jadi aku gak harus mengumpulkan banyak angka kemenangan.” Agus bertekad sambil menggerak-gerakan kakinya di sudut biru.

Aku masih berdiri di sudut biru gelanggang silat itu. Gelanggang itu di lantai dengan dilapisi matras setebal 5 cm. Permukaannya rata berukuran 10 m x 10 m. Dengan warna dasar hijau terang dan garis berwarna putih sesuai dengan keperluannya. Gelanggang itu disediakan Komite Pelaksana. Aku masih ingat ketentuan-ketentuan dalam bertanding. gelanggang pertandinganku itu berbentuk lingkaran berdiameter 3 m dengan lebar garis 5 cm ke arah luar sebagai batas pemisah sesaat akan bertanding.

Sudut biru, sudut tempatku berdiri, berada di sebelah ujung kanan meja Ketua Pertandingan. Sedangkan lawanku masih berdiri di sudut merah, persis di hadapanku. Sudut merah persis di arah diagonal sudut biru. Sudut lainnya berwarna putih, yaitu sudut netral. Sudut netral diguakan untuk kategori Tunggal, Ganda, dan Regu. Ketentuannya, gelanggang penampilan untuk ketiga kategori Tunggal, Ganda, dan Regu adalah gelanggang dengan ukuran 10 m x 10 m.

Riuh penonton semakin menggema di gelanggang itu. Aku semakin gelisah.

Wasit memberi aba-aba kepada kedua petarung. Pencak silat dimulai dengan gerakan berdo’a. Aku berdiri dengan kedua tangan di samping, lalu menundukkan kepala. Gerakanku dilanjutkan dengan berdiri tegap. Kepalaku kutegakkan dengan pandangan lurus ke depan. Selanjutnya, gerakan hormat. Mengangkat kedua lengan, kemudian telapak tangan dipertemukan di dadaku. Aku pun menundukkan kepala. Aku pun melakukan gerakan menjabat tangan. Tangan kanan kujulurkan ke depan. Sedangkan tangan kiriku kujulurkan ke dada. Kaki kiriku diserongkan ke kiri depan, dan kepalaku ditundukkan.

Wasit memeriksa kesiapan kami sebagai petarung. Kami mengenakan body protektor. Wasit memberi aba-aba tanda dimulai. Tubuhku pun semakin bergemeletar. Tetap aku pasang kuda-kuda kokohku. Aku susun serangan dengan mengombinasikan 4 jurus pukulan dan tendangan secara teratur dan berangkai. Dengan berbagai cara ke arah sasaran sebanyak-banyaknya serangan. Babak pertama usai. Babak pertama pertandingan masih seimbang. Dua pesilat bergantian unggul dalam poin. Kami bertanding dalam dua menit, dan istirahat selama 1 menit.

Babak kedua pun aku tempuh. Kupasangkan kuda-kuda kokohku. Aku terserang di babak kedua. Empat kali kombinasi serangan lawan mendarat di tubuhku, di pinggang kiriku. Meski telah kucoba memperkuat pertahananku. Bahkan aku pun terjatuh di dalam areal lingkaran pertarungan. Aku berusaha bangkit dari posisiku. Dan aku bangkit dalam hitungan ketiga, sebelum wasit meyelesaikan hitungan detik ke sepuluh.

Di babak kedua ini, aku berhasil memperoleh poin dari keberhasilanku menangkis serangan lawan. Bahkan aku pun memperoleh poin dari serangan balik yang aku lakukan. Namun, aku tak dapat menangkis serangan tendangan lawan saat hingga terjatuh tadi. Ini kerugianku, aku tak mendapatkan poin sedangkan lawanku mendapatkan 2 poin. Aku pun menciut. Tapi tetap berusaha menangkis serangan, dan menyerang balik. Babak kedua pun berakhir. Aku kembali ke sudut biru untuk beristirahat.

Babak ketiga pun dimulai. Setelah pasang kuda-kuda. Tiada kuduga lawanku menyerang dengan tendanganya. Aku terpelanting dan terjatuh. Dirasakan betapa sesak dadaku. Wasit menghitung angka itu. Aku berusaha bangkit dari sakitku. Aku tidak boleh menyerah. Aku berusaha sekuat tenaga agar bisa berdiri di atas kedua kakiku. Namun aku tak kuasa, sesak di dada begitu menekan. Kulihat penonton samar-samar. Mataku berkunang-kunang dengan sesak di dada yang kian menekan. Wasit pun selesai berhitung sampai di angka sepuluh. Kulihat lengan kanan lawanku diangkat oleh wasit. Aku pun bersimpuh ke atas matras.

Aku menyadari bahwa jurus-jurusku masih lemah. Aku masih pemula. Ini pengalaman pertama di gelanggang pertanding silat. Aku pun salut dengan lawanku yang tangguh. Ia kakak kelasku. Ia jauh lebih berpengalaman dalam bertanding. Ia begitu amat tenang saat di gelanggang. Ia berasal dari sekolah swasta, smk ybkp3 di daerah Garut. Ia anak kelas XI.

“Maafkan aku mengecewakanmu, Bapak.” Saat aku berada di pangkuan bapakku yang melatihku.

“Aku akan terus berlatih demi meningkatkan jurus-jurus silatku, Bapak.”

“aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berusaha dan berlatih, agar jurus-jurus silatku kian ampuh.” Kataku sambil berusaha bangkit dari posisiku.

Bapakku pun berkata: “Agus, Anakku, jagoanku. Kegagalan adalah cara Tuhan mengajarkan kita tentang apa itu arti perjuangan, kerja keras, pantang menyerah, kesabaran, serta percaya diri. Ketika hidupmu dihadiahi kegagalan, janganlah bersedih. Itu artinya, dirimu telah melewati suatu proses yang spesial.”

“Ingatlah pepatah Chairil Anwar: Hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Tambah bapakku sambil mengusap-usap rambutku.

“Ingat pula kata Bambang Pamungkas, bahwa Sebuah kekalahan memang sangat menyakitkan, tetapi akan jauh lebih menyedihkan jika kekalahan tersebut membuat sebuah tim tercerai-berai. Kita adalah tim, Anakku. Ya, Kau dan aku adalah tim. Mari tetap bersatu”, tegas bapakku sambil memeluk erat tubuhku.

Gelanggang silat antar pelajar se-Jawa Barat memang seru. Aku dan bapakku pun meninggalkan gelanggang itu. Aku kalah di babak penyisihan. Selamat tinggal Gelanggang Olahraga Gelora Intan Garut. Semoga berjumpa lagi di tahun depan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post