Jamal Passalowongi

penulis adalah guru di SMAN 6 Barru Sulawesi Selatan...

Selengkapnya
Navigasi Web

Arajang

Kehidupan rakyat semakin sulit, ungkapan ini telah sering didengar LaRumpang Megga dalam perjalanannya mengamati beberapa wilayah kekuasaan Tanete. sejak diangkat menjadi raja tanpa bendera. La rummpang Megga sering berkeliling menghabiskan waktunya di antara rakyatnya. Ia dipuji atas rasa ibanya pada penderitaan rakyat, walaupun tetap saja dalam hatinya yang paling dalam ada perasaan tidak puas atas pelantikannya tanpa bendera Petta Bolongge yang diambil Belanda saat menduduki kerajaan Tanete. Atas bantuan Belanda inilah La Rumpang menduduki tahta, tetapi tahta tanpa Arajang. Arajang itu diambil Belanda untuk menjaga dan memantapkan bahwa kerajaan Tanete adalah kerajaan Boneka dari Belanda.

Sering La Rumpang termenung dalam kesendiriannya. Akhir-akhir ini panen kurang berhasil, banyak sawah yang gagal panen, hama tikus kian merajalela. La Rumpang mencoba mengingat-ngingat dalam hidupnya yang sudah setengah abad ini, kapankah ada masa kerajaan Tanete ini dilanda masalah macam ini. Ingatannya ia tajamkan, dan tidak ada satupun muncul satu masa dalam terawangnya akan bencana yang sedemikian ini.

Ini pastilah kesalahan yang ditimpakan padaku batin La Rumpang, sejak perang saudara itu sampai hilangnya Arajang rasanya suasan menjadi tidak sedamai dulu. Tanete dari gunung sampai lautnya seperti kurang bergairah dalam suasana ini.

Setelah pemikiran yang mendalam, tindakan harus dilakukan. La Rumpang memiliki dugaan, salah satu yang menjadi penyebab semua ini adalah Arajang harus kembali. Ia harus di rebut, karena Belanda pasti tidak akan memberikannya. Secara diam-diam Ia mengupulkan pasukan berani matinya, tentu saja istilah special force atau pasukan khusus model Marinir One, atau kopasus jauh dari mereka. Mereka yang dikumpulkan adalah to warani dari lima wilayah, mereka memiliki kesaktian dan hanya berbekal kawali, dan sarung hitam.

Tidak ada suara, hanya La Rumpang yang memberikan isyarat agar semua ini dirahasiakan. mereka adalah pasukan yang tidak bernama, dan tidak ada yang mengakui perbuatan mereka, karena akan menngancam masa tenang dan rakyat akan menderita bila terjadi perang lagi. Pasukan dengan tanggung jawab besar misi rahasia mengambil Arajang Petta Bolongge di Markas Belanda di Makassar.

Pasukan ini sadar sesadar-nya akan bahaya misi ini, dan tentu saja mereka tidak berharap akan dimakamkan di pekuburan yang layak seperti seorang pahlawan perang, karena keberadaan mereka tidak diakui, mereka dianggap tidak pernah ada. Hanya satu orang di dunia ini yang tahu keberadaan mereka yaitu La Rumpang Megga, bahkan anak istri pun tidak mengetahui apa misi mereka. Tekad yang bulat pengabdian yang tinggi terhadap kerajaan dan sang raja di atas segalanya, inilah pasukan sejati tiada tara.

Kelima jagoan ini berangkat ke benteng Belanda, beberapa minggu mereka melakukan pengintaian dengan berbaur bersama rakyat biasa. Jalanan sudah tidak asing langi bagi mereka, bahkan mereka telah membaur menjadi pedangang di pasar untuk menghilangkan kecurigaan pasukan Belanda.

Sampailah akhirnya di tengah malam yang telah ditentukan, mereka mulai memasuki benteng Belanda dari titik terlemah dari pengintaian mereka selama ini. Kelimanya bergulat dengan bayangan-bayangan pasukan Belanda yang hilir mudik tiada henti. Sampai akhirnya mereka berhasil memasuki gudang penyimpanan barang berharag dan menemukan banyak barang berharga di sana. Di sanalah terletak semua pusaka kerajaan seluruh Sulawesi, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Belanda sengaja mengambil pusaka-pusaka ini untuk tujuan melemahkan perjuangan raja-raja, karena pusaka kerajaan atau Arajang adalah ruh kekuatan pasukan dan raja. Arajang memang berwujud material, seperti badik, songkok, kalung, atau bendera. Akan tetapi, Arajang adalah pusaka turunan yang sangat dihargai sebagai simbol eksistensi kerajaan. Simbol ini penting selain Raja, karena Arajang adalah dimensi ruh dan batin kerajaan, berapa banyak nyawa sudah dilepaskan hanya untuk mempertahankan simbol ini dan mereka rela mati hanya untuk simbol ini.

Pasukan rahasia akhirnya menemukan Arajang Petta Bolongge tergeletak disepelekan oleh Belanda. Dengan hati-hati mereka melipat dan memasukkannya dalam kain khusus. Mereka bergegas keluar dari gudang, tetapi naas seorang dari mereka terlihat bayanganya oleh pasukan Belanda. Lonceng bahayapun dibunyikan, seluruh pasukan Belanda mengepung benteng. Kelima orang to warani ini mempertahakan diri mati-matian dari sergapan para tentara Belanda. Kelimanya berjuang gagah berani, peluru mereka tepis, bayonet mereka lewati. tetapi apa daya perjuangan itu melawan ribuan orang pasukan, merekapun berguguran satu demi satu, hanya satu orang yang berhasil lolos dengan banyak luka di tubuhnya.

Benteng itu ini seperti siang hari oleh sinaran obor, empat jasad tanpa baju, hanya berselempang sarung hitam kini terbujur kaku dengan senyuman. Mereka meninggal dengan senyuman, telah menunaikan tugas rahasia dari tanah pertiwi, tidak ada penyesalan sedikit pun.

Kolonel H. de Stuers bersama pemimpin pasukan lainnya berlari ke gudang penyimpanan pusaka kerajaan, mereka kemudian meminta agar dilakukan inventarisasi, semua dicocokkan secara detail, tidak ada yang terlewatkan dan apa yang hilang, tidak ada sebuah-pun. Semua garuk-garuk kepala tidak ada barang hilang, semua lengkap, kawali, selendang, songkok, Bendera Bolonnge, semua utuh, lantas apa yang dicuri oleh para penyusup itu-mereka mati sia-sia, begitu pikiran Kolonel H. de Stuers dan kawan-kawan. Sambil tertawa mereka melemparkan mayat-mayat itu ke dalam jurang, mereka tidak layak dikuburkan kata mereka.

---

Pagi itu tampak La Rumpang Megga duduk sendiri di atas rumah bambu di atas gunung tertinggi perbatasan Tanete dan Segeri, matanya menerawang ke angkasa, wajahnya seperti membeku, terlihat ada bekas tetesan air mata yang sudang mengering dipipinya. Jauh di dalam hutan itu, tampak tangannya menggenggam erat bendera Petta Bolongge seakan tidak ingin melepaskannya. Semuanya menjadi satu, gembira dan haru bercampur menjadi satu Kini Arajang itu telah kembali dengan pengorbanan luar biasa pasukan tak benama. Terlihat ada satu kuburan sederhana dengan satu batu di atas gundukan di sebelah rumah bambu itu. Itu adalah kuburan salah satu yang selamat dan membawa bendera Arajang ke La Rumpang Megga, setelah menukarnya dnegan yang palsu di gudang Belanda. Hal ini telah diperkiraakan La Rumpang Megga, bila hanya Bendera Bolongge yang dicuri maka pasti Belanda akan menuduh Tanete yang mengirim pasukan itu, dan imbasnya tentu saja rakyat akan menderita dengan perang yang berkepanjangan.

Kini La Rumpang Megga bisa bernapas lega, wajahnya kembali ceria, ia kini bersemangat memimpin rakyat. Semangat itu datang kembali, walaupun Bendera Bolongge tidak pernah diperlihatan kepada rakyat. tetapi rakyat Tanete seakan-akan melihat La Rumpang Mengga seperti melihat Bendera Petta Bolongge. semangat kerja mereka pun kembali, pengairan digallakkan, hama tikus mereka buru, dan jadilah Tanete kembali menjadi subur dan makmur seperti sediakala.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah legenda ya pak. Senang dapat ilmu dari Makasar.

13 Jul
Balas

Up to date. Cerpennya Keren banget. Mengikuti kisahnya terus memunculkan penasaran. Salut Pal.

13 Jul
Balas

Cerpen yang bagus , Pak

15 Jul
Balas

Kisah heroik. Merebut kembali kehormatan dari tangan imperalis. Menjadi cermin di era kini. Utama semangat juangnya pak. Sip. Salam

13 Jul
Balas



search

New Post