Jamal Passalowongi

penulis adalah guru di SMAN 6 Barru Sulawesi Selatan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Handmophobia

Handmophobia

Suatu pagi…

Saya, Pak!” kataku bersemangat sambil mengancungkan tangan tinggi-tinggi.

Pak…Saya, Pak! Ucapku sekali lagi, bahkan sedikit meninggikan suara.

Tapi, suaraku seperti tertelan angin. Saat ketiga kalinya, aku mengancungkan tangan dan dia tidak peduli. Akhirnya aku tidak bertanya lagi. Kejadian itu sudah memasuki tahun kedua, tapi begitu membekas dan sejak itu mereka tidak pernah lagi melihat aku mengacungkan tangan. Jangankan mau bertanya, hanya untuk sekadar menjawab hadir pun aku tidak mengangkat tangan lagi.

Kecewa, sedih, disepelekan, terhina adalah sederetan kata yang aku pilih untuk menunjukkan betapa rasa itu tidak tergambarkan secara pasti. Saat orang tuaku melihat satu gelagat aneh yang terjadi di luar kebiasaanku yang periang, mereka dengan sigap membawaku ke dokter.

“Sakit apa anak kami, Dok?” ayahkk memulai dengan tidak sabar, saat dokter keluar dari ruangan berwarna putih itu. Ibuku mengikuti dengan pertanyaan sama.

Merasa ditodong pertanyaan, sang dokter spesialis penyakit dalam itu menjawab

“Saya kuliah kedokteran empat tahun, dan melanjutkan spesialisasi penyakit dalam. Saya juga memiliki gelar kehormatan sebagai dokter tamu di beberapa Universitas di daerah ini”

Si dokter Spesialis tidak melanjutkan, ia batuk-batuk kecil terlebih dahulu.

Melihat ada jeda, ayahku langsung bereaksi bertanya mendahului ibuku.

“Maksudnya, Dok! Saya tidak mengerti!”

“Ia dong, Dokter. Apa hubungan kuliahnya dokter dengan penyakit anak kami!” Kali ini ibuku segera menimpali, tentu dengan nada agak tinggi

Si dokter spesialis, perlahan mundur ke belakang agak menjauh dari dua orang yang sedang tidak sabaran ini. Padahal Ia tadi hanya jeda saja sedikit untuk batuk-batuk kecil.

“Ah, Bapak dan Ibu tenang dulu. Saya ini baru mau menjelaskan. Ayo silakan duduk dulu!” katanya sambil mendorong kursi depan mejanya, sembari ia juga kemudian duduk di belakang meja kerja berwarna biru tua dengan tumpukan alat kedokteran di atasnya.

“Begini, Pak, Bu!” ia kemudian menjelaskan panjang lebar tentang kondisi yang menurutnya adalah gejala baru dalam dunia kedokteran. Penjelasan ini membuat ayah dan ibuku melongo tak karuan.

Dokter spesialis itu menjelaskan bahwa aku tidak kurang satu apapun. Bila dilihat secara fisik aku sehat walafiat. Dokter memang telah bertanya macam-macam tentang berbagai gejala yang boleh jadi dapat ia jadikan pengambilan kesimpulan. Akan tetapi, seratus persen ia tidak mendapatkan jawaban yang memadai untuk dijadikan alat diagnosa.

Bila Polisi hanya butuh dua alat bukti untuk menetapkan tersangka. Dokter tidak bisa begitu, Ia butuh berbagai macam keluhan untuk ia sambungkan menjadi satu rangkaian diagnosa. Dan si dokter spesialis tidak menemukannya pada diriku.

“Bila berkenan, kami akan melakukan cek lengkap terhadap anak Bapak! Saya akan panggil koleg saya dari berbagai bidang spesialisasi.” Katanya meyakinkan Ayah dan Ibuku.

Demikianlah akhirnya aku ter-terungku dalam ruang putih di salah satu rumah sakit ternama di kota ini. Di luar sana teman-temanku bertanya-tanya, memang separah apa sakitku sehingga harus mendiami bilik rumah sakit, padahal bila dilihat aku biasa-biasa saja. Rifaldi temanku malah penyakitnya bengek kambuhan, batuk saban hari tapi dokter tidak menyuruhnya tinggal di rumah sakit. Atau Ical penyakitnya gatalnya sepertinya luar biasa parahnya, garukannya membahana di kelas tiap sampai semua orang geri melihatnya menggaruk. Tapi, dokter tidak menyuruhnya juga tinggal di rumah sakit. Sebenarnya aku sakit apa.

Berbagai pemeriksaan dilakukan oleh beberapa dokter spesialis. Aku seperti kelinci percobaan mereka. Disuruh begini, begitu. Sampai akhirnya sudah dua minggu dan hari ini adalah janji mereka kepada ayah dan ibuku untuk menjelaskan duduk persoalannya.

“Baiklah kami akan sampaikan diagnosa kami setelah melakukan serangkaian pemeriksaan secara terintegrasi dari beberapa dokter spesialis.” Seorang dokter yang kelihatannya sudah berumur dan pastinya paling senior di antara dokter-dokter yang duduk disekitar kami.

Panjang lebar dokter tua itu menjelaskan, berbagai argumentasi medis. Sampai-sampai beberapa refrensi berbahasa Inggris dan Spanyol terselip disela penjelasannya yang panjang kali lebar. Hal ini membuat ibuku yang dari tadi sudah mulai sebal dengan penjelasan-penjelasan itu tiba-tiba.

Brakkk…ibuku menggebrak meja di depan dokter tua itu.

“Tolong, Dok! Berhenti menjelaskan, dan katakan dalam bahasa Indonesia apa nama penyakit anak kami! Titik!” suaranya meninggi disertai napas memburu.

Dokter tua mengurut dada, belum hilang rasa kegetnya karena gebrakan meja di kesunyian ruangan. Kini ia mendapatkan teriakan keras dari ibuku, bak macan betina yang lagi marah.

“Handmophobia!” seorang dokter muda berseru

Semua orang berbalik. Tampak dokter muda itu membantu si dokter tua yang lagi shok di depan ayah dan ibuku.

“ya..itulah nama penyakit anak ibu!” kini dokter tua itu angkat bicara dan membenarkan ucapan koleganya.

“Penyakit apa itu, seumur-umur baru kami mendengar nama penyakit itu!” ayahku bergumam tak jelas sambil memandangi semua dokter di ruangan itu.

Maka dokter tua yang tadi menjelaskan panjang lebar segera mengambil kendali lagi. Ia menjelaskan bahwa Handmophobia adalah satu penyakit kejiwaan yang berhubungan dengan orang-orang yang bertanya mengacungkan tangan tinggi-tinggi tetapi tidak mendapat respons dari orang-orang di sekitarnya.

Dan anak Bapak, kata dokter tua itu, pernah mengalami ini di sekolahnya setahun yang lalu. Ia mengacungkan tangan dengan bersemangat untuk bertanya. Tapi gurunya tidak peduli bahkan seperti tidak mengindahkannya dalam ruangan itu. Rasa kecewa itulah yang dibawahnya sampai saat ini. Dokter itu menutup sesi itu dengan cepat-cepat memberesi buku-buku di depannya, kemudian berlalu dengan cepat bersama dokter lainnya meninggalkan ayah dan ibuku yang sedang melongo tak karuan. Di luar pintu tiba-tiba ia berhenti dan setengah berteriak.

“Itu tidak ada obat medisnya, maaf…kami tidak bisa mengantar Bapak dan Ibu keluar dari ruangan ini!” katanya ketus sambil berlalu.

“Handmophobia… Handmophobia …hanya karena tidak di pedulikan saat bertanya anak kita jadi cacat mental, Bu!” kata ayahku sambil menutup muka sedihnya.

“Ia, Pak” sahutnya yang dibarengi dengan deraian air mata.

Akhir yang teragis bagiku. Tidak ada obatnya….Saban hari ketika kubuka jendela kuhirup udara pagi. Kusaksikan teman-teman SMA-ku berangkat ke sekolah dengan riang. Aku hanya terduduk dan tidak peduli lagi dengan sekolah. Dalam hatiku aku berdoa semoga tidak ada lagi guru yang tidak peduli pada siswanya saat mengacungkan jari untuk bertanya seperti diriku ini.

--tamat---

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Perilaku negatif yang kadang tidak kita sadari tentang dampaknya.Cerita sarat amanat.Bagus. Terima kasih dan sukses selalu. Salam kenal dan Salam literasi

31 Jul
Balas



search

New Post