Jamal Passalowongi

penulis adalah guru di SMAN 6 Barru Sulawesi Selatan...

Selengkapnya
Navigasi Web
POHON KERAMAT

POHON KERAMAT

Tidak ada jalan lain, harus dilakukan. Karena itu Solihin mengambil parang panjang itu, langkahnya mantap. Semua harus diakhiri di sini, dan sekarang juga. Tidak akan ada lagi masyarakat yang akan menyembahmu. Pohon besar kokoh berdiri di tengah desa itu adalah tujuan Solihin, sontak saja mereka yang sedang tirakatan di bawah pohon langsung berhamburan. Tanpa ba-bi-bu Solihin takbir “Allahu Akbar” ayunan parangnya pun menancap pada pohon besar itu. Kini seperti kesetanan Solihin menganyunkan parangnya berkali-kali ke arah pohon besar. Dan akhirnya dapat ditebak pohon besar itu hanya terluka kecil di sana-sini, tebasan Solihin tidak ada artinya dibandingkan kekarnya batang yang konon sudah ribuan tahun itu.

Solihin jatuh saikit. Bisik-bisik itu menyebar keseluruh desa. Desa gempar, beberapa penduduk mengaitkan sakitnya Solihin karena berani menebang pohon keramat di desa itu. Kesehatan Solihin semakin memburuk, sudah di bawah ke puskesmas terdekat namun dokter merasa Solihin secara fisik baik-baik saja, tidak ada luka, tidak ada asam urat, koleterol, atau darah tinggi, semua test normal, tetapi bahkan hanya untuk membuka matanya Solihin tak mampu, Ada apa dengan Solihin. Beberapa penduduk mendatangi istri Solihin suatu sore, mereka adalah dukun-dukun desa yang biasa melakukan sesajen pada pohon besar itu.

Kabar bahwa Solihin sakit tidak biasanya memang sudah terdengar ketelinga mereka. Kini mereka datang menawarkan bantuan, agar Solihin di bawah ke pohon besar dan meminta maaf kepada “Mbha Gundu” penghuni pohon besar di tengah desa itu. Awalnya istri Solihin tidak percaya tetapi melihat kesehatan suaminya semakin memburuk, secara diam-diam istri Solihin meminta tolong pada beberapa orang penduduk untuk menandu Solihin yang sudah setengah payah itu. Mengetahui dirinya akan di bawah ke pohon krmata. Solihin berontak denga sisa tenaga yang ada, Solihin marah besar. Lebih baik mati daripada jatuh pada kesyirikan. Istrinya tak berdaya, Solihin tetap sakit. Dan masyarakat pun tenggelam dalam kesyirikan yang nyata.

Sampai suatu ketika, seorang dari kota datang membawa kabar, desa mereka akan dilewati jalur kereta api, semua masyarakat yang terkena pembebasan lahan akan diberikan ganti rugi yang akan menguntungkan semua orang. Pagi itu masyarakat berkumpul di balai desa, orang kota akan datang melakukan pengukuran tanah mereka. Beberapa rumah dan tanah berdiri di jalur kereta api, dan termasuk pohon besar di tengah desa. Semua menahan napas, masyakat menjadi riuh. Kepala desa menenangkan. Mereka tidak ingin pohon keramat itu ditebang, karena merupakan sumber kepercayaan desa. Tetapi tetap harus dilaksanakan. Siapa yang menentang akan berhadapan dengan pengadilan negara. Tentu saja masyarakat kecut. Tetapi beberapa orang rela mati untuk mempertahankan pohon itu, mereka adalah dukun-dukun desa yang akan kehilangan pekerjaan dan penghargaan desa. Buntu, perundingan buntu...

Bujukan terus dilakukan oleh pemerintah, bahkan akan dibuatkan pohon baru bila masyakat menginginkan. Tentu saja masyarakat tetap menolak. Tak ada yang selamat bila pohon itu ditebang, Mereka mencontohkan Solihin yang sakit karena berusaha menebang pohon kramat itu. Akhinrya pemerintah bersedia menanggung resiko bila ada hal-hal buruk terjadi bila pohon itu ditebang.

Pada waktu yang ditentukan semua masyarakat desa berkumpul menyaksikan pohon besar itu akan ditebang. Bolduzer besar telah siap detik-detik menegangkan pun dimulai, perlahan tapi pasti Bolduzer menggusur pohon besar ribuan tahun itu sedikit demi sedikit, dan akhirnya roboh. Semua menahan napas menunggu yang terjadi. Semenit, dua menit, tiga puluh menit, satu jam, hari hampir sore, tidak terjadi apa-apa, pekerja kereta api terus saja melanjutkan pekerjaannya. Masyarakat yang sudah pulang ke rumah menunggu-nunggu kabar apa yang akan terjadi selepas pohon kramat ditebang. Satu hari, dua hari, sudah satu minggu tidak terjadi apa-apa, pekerja kereta api tetap saja bekerja sesuai jadwal.

Ditebangnya pohon raksasa itu akhirnya terdengar di telinga Solihin. Besoknya masyarakat gempar lagi, semua berlarian ke arah lapangan tempat pohon besar. Rasa penasaran membawa semua masyarakat mendatangi sumber kerumunanan orang-orang. Apa yang terjadi. Semua mata terbelalak tertuju pada sosok berbaju putih yang sedang sujud tepat di atas tempat pohon keramat itu pernah berdiri kokoh. Lelaki berbaju putih itu adalah Solihin. Kini dia sembuh, sehat walafiat.

---selesai---

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Syirik jangan dibiarkan

03 Aug
Balas

mantaaaapp

03 Aug
Balas



search

New Post