MENGAMALKAN PANCASILA
Oleh:Joni Faisal,S.Pd
Sepulang sekolah aku masih Memikirkan pelajaran yang diajarkan oleh Bapak Jofa. Aku masih penasaran dengan pelajaran yang satu itu. Pak Jofa berkata kalau kita bisa mengamalkannya dalam kehidupan kita, kita akan menjadi anak Indonesia yang baik.
Sesampainya di rumah, aku tahu pasti masih sepi. Abak sedang sibuk rapat ini dan itu di kantornya, Bundo sudah pasti pergi berbelanja atau melakukan hal-hal yang bisa dikatakan menghamburkan uang. Sedangkan kedua kakak kembarku masih di sekolah mereka.
Namaku Anin, aku bersekolah di Sekolah Dasar Solok Santiang, dan sekarang aku duduk di Kelas 5. Aku adalah anak biasa-biasa saja, tidak terlalu pintar, tapi aku juga tidak ingin menjadi anak yang malas. Aku selalu berusaha belajar dan berlatih dengan giat.
Hari ini, guruku, Pak Jofa, memberikan tugas tentang Pancasila, membuat sebuah tulisan dan wawancara tentang cara-cara kita untuk mengamalkan butir-butir Pancasila. Aku merasa ini adalah tugas baru dan aku merasa semangat untuk mulai mewawancari seluruh anggota keluarga di rumah.
Malamnya, aku menunggu semua orang sudah selesai dengan kesibukan mereka masing-masing dan semua sedang bersantai di ruang keluarga. Aku mendekati kedua kakakku—Kak Dio dan Kak Dias. Mereka hanya menanggapiku sambil lalu. Awalnya aku masih semangat memberikan pertanyaan kepada kedua kakakku, namun mereka tidak menanggapi tugasku dengan serius.
Aku bertanya kepada Bundo, dan hasilnya pun sama saja, ia malah lebih memilih membaca majalah fashion ketimbang menanggapi tugasku.
Aku menunggu Abak pulang, dan hanya ia satu-satunya harapanku. Sambil mencatat hal-hal yang aku ketahui walaupun sedikit. Aku duduk di ruang keluarga sambil membaca dan melafalkan Pancasila berulang-ulang, hingga aku mulai memahaminya satu persatu. Aku mulai mencatat beberapa hal yang harus aku lakukan selama seminggu kedepan.
Setelah menunggu satu jam, seberkas cahaya menerangi ruangan selama beberapa detik dan menyadari Abak sudah pulang. Aku berlari ke pintu dan membukakannya untuk Abak. Abak terlihat letih namun ia masih memberikan senyuman khasnya kepadaku.
Aku menunggu Abak selesai beristirahat dan makan malam. Lalu Abak memanggilku dan mengajakku duduk di ruang kerjanya.
“Jadi, ada yang Abak bisa bantu buat Anin?” tanya Abak dengan bahasanya yang sopan.
Kuserahkan buku catatanku dan menjelaskan maksud dari tugasku. “Aku sudah bertanya pada Kak Dio dan Kak Dias, juga Bundo. Tapi… Abak tahu sendiri, mereka sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.”
Abak tertawa kecil. “Abak akan bantu Anin. Tapi Abak enggak mau kita berdua yang bekerja.” Abak tersenyum meyakinkan. “Tidurlah, besok kita akan bicarakan bersama-sama.”
Paginya seperti biasa kami berkumpul untuk sarapan bersama. abak selalu membiasakan kami untuk bangun subuh; mandi kemudian sholat berjamaah. Setelah itu kami sarapan bersama. Namun ada yang berbeda di meja makan. Bukannya piring yang tersedia seperti biasa, tetapi hanya ada secarik kertas dengan tulisan angka-angka besar.
Bundo bertanya kepadaku, apakah ini ulahku lagi. Namun aku menggeleng, aku juga tidak tahu-menahu mengenai hal ini, aku saja mendapatkan angka 5. Kedua kakakku hanya memandang tak acuh, mengambil piring dan mulai mengolesi roti dengan selai.
Abak datang dan duduk di kepala meja. Bundo dengan cerewetnya menanyakan apa maksud dari angka-angka yang tertera di kertas-kertas itu.
“Abak akan mengadakan sayembara.”
Kedua kakakku menghela napas bosan. Bundo terlihat sedikit antusias karena kalau ada sayembara, pasti ada hadiahnya. Aku duduk manis dan baru menyadari angka-angka itu bukanlah hanya sekedar angka.
“Angka-angka yang ada di hadapan kalian masing-masing adalah angka urutan Pancasila. Kalian pasti sudah hapal Pancasila kan? Abak akan memberikan tugas kepada kalian, tugasnya gampang banget.” Abak menatapku dengan penuh arti.
Kulihat Abak sendiri mendapatkan angka 1, Bundo angka 2, Kak Dio angka 3, Kak Dias angka 4. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami maksud Abak.
“Selama satu minggu, Abak ingin kalian berbuat sesuatu—minimal 1 perbuatan tiap harinya—sesuai dengan butir Pancasila yang tertera dikertas kalian. Siapa yang melakukannya paling banyak akan Abak berikan sebuah hadiah.”
Kedua kakakku mulai sedikit tertarik. Aku mulai membayangkan apa yang akan aku lakukan nanti yang sesuai dengan nomorku.
Satu minggu berlalu. Setelah makan malam Abak mengumpulkan semuanya di ruang keluarga. Abak ingin mendengar setiap orang menjelaskan semua tugas mereka. Mulai dari Abak sendiri.
“Abak mendapatkan butir Pancasila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa. Disini Abak melakukan hal-hal seperti; Abak memiliki keyakinan dan Abak melakukan ibadah dengan sholat lima waktu, Abak saling menghormati dengan rekannya yang berbeda keyakinan, menghormati dan mengerti ketika mereka sedang merayakan hari raya mereka, dan Abak tidak memaksakan keyakinannya dengan orang lain.”
Lalu giliran Bundo, “Satu minggu ini Bundo belajar dari Pancasila yang kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bundo mulai sadar dan mempelajari hal-hal seperti; Bundo tidak akan merendahkan orang lain, Bundo memperlakukan anak-anaknya dan semua orang dengan adil, Bundo mulai mengikuti kegiatan kemanusiaan daripada hanya datang ke Mall atau duduk arisan bersama teman-teman Bundo, dan Bundo mulai saling menghormati tanpa melihat derajat atau status sosial.”
Kak Dio dengan bangga mulai berbicara, “Aku dapat Pancasila yang ketiga; Persatuan Indonesia. Aku mulai belajar bergaul dengan seluruh murid di sekolah, saling mengenal satu sama lain, tanpa melihat ras, suku, ataupu agama mereka. Aku mulai mempelajari Indonesia, mempelajari sukunya, budaya, sampai kekayaan alamnya, dan pastinya aku harus memulai menjaganya, Bak.”
Kak Dias kelihatan tidak mau kalah, dengan semangat di menceritakan pengalamannya selama satu minggu ini, “Dias dapat sila keempat; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan. Dias sekarang mulai aktif mengikuti kegiatan OSIS dan ekstrakulikuler. Dias sering mengadakan rapat atau diskusi. Setelah mempelajari sila keempat, Dias mulai menyadari bahwa setiap pendapat harus dihormati, dan Dias dengan teman-teman lainnya tidak boleh egois. Setiap kali ada masalah, kami menghadapinya bersama-sama dengan musyawarah, dan setiap keputusan yang diambil kami hormati dan tidak menggerutu dibelakang. Dias mulai belajar menerima pendapat orang lain dan tidak bisa memaksakan pendapat Dias kepada orang lain.”
Abak mengangguk setuju sambil tersenyum puas. Lalu Abak menatapku, ia mempersilakanku untuk bicara dan menjelaskan apa yang sudah aku pelajari selama seminggu ini.
“Aku mendapatkan sila kelima,” kataku memulai, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sekolah dan rumah, aku mulai membantu teman-teman dan Bundo untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara gotong royong. Aku mulai menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Aku belajar membantu orang lain dan menghormati hak mereka. Dan sekarang aku berusaha untuk bersikap adil terhadap sesama, Bak.”
Setelah mendengarkan penjelasan semuanya. Abak mulai mengumpulkan kertas catatan semua orang dan menyerahkannya kepadaku. Ia tersenyum puas dan bangga kepada kami semua.
“Oh,” Abak teringat sesuatu, “Abak lupa hadiahnya.”
Bundo buru-buru menyanggah, “Setelah kita pahami tugas dari Abak, bukan hanya sekedar untuk membantu tugas Anin saja. Tapi kita menyadari selama ini kita sudah terlalu jauh dari ‘hidup mengamalkan Pancasila’. Kita sudah mendapatkan hadiah terbesar kita, kita sudah mengingat dan mulai mempraktikan butir-butir Pancasila setiap harinya.” Bundo tersenyum penuh haru.
Abak tertawa gembira, kedua kakakku sedikit menyesal dengan tidak adanya hadiah, namun mereka tetap bangga dengan hasil kerja mereka.
Aku pun begitu. Kubaca semua tulisan dari keluargaku, lalu kutulis ulang menjadi sebuah laporan wawancara. Aku merasa bangga dengan hasil kerjaku dan keluargaku. Dan mulai sekarang kami bisa saling membantu dalam mengerjakan tugas.
Aku tidak berharap mendapatkan nilai tertinggi, ataupun pujian. Hal itu merupakan bonus tambahan atas semua hal yang aku pelajari selama satu minggu ini. Aku mulai menyadari pentingnya kita mengamalkan Pancasila, menjadikan kita generasi penerus bangsa yang bermartabat, berbudaya, dan tahu akan negaranya sendiri.
Terima kasih Abak atas bantuannya. Bukan hanya untuk tugas saja, tapi aku mendapatkan pelajaran yang berharga. Aku akan berusaha menjadi anak yang dapat dibanggakan oleh negara, menjadi pembela paling depan untuk Indonesia.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap,, Luar biasa,,,,
Terimakasih bu,
Siip mantap dan keren salam kenal dan salam literasi
Pembelajaran dan pengalaman Pancasila dalam.keluarga. keren
Makasih buk,
Semoga bermanfaat
Wah..eemangat terus Pak..tetap jadi yang terbaik
Makasih buk
kan santiang dedek kakak tu. lanjutt jo...
Jo kalau ikut tantangan menulis, tambahkan #tantanganmenulisgurusiana#tantanganharike...yg patang bisa di edit jo...
Ok kk
Keren Jova, teruslah berkarya.
Mkasih buk
Keren jo...salam literasi
Alam literasi
Keren mas... Lanjutkan berkarya.Salam literasi..