Bab 1 Senja dan Sebuah Nama (T.418)
Langit senja memerah, seolah turut memikul beban yang selama ini tersimpan di dada Afkar. Angin sore berhembus pelan, menyentuh ujung bajunya yang sedikit berdebu usai membantu ayahnya mengantar tempe ke warung-warung kecil. Di tangannya, sebuah buku catatan lama terbuka. Lembarannya menguning, tapi namanya tetap sama: Aisyah.
Afkar pemuda sederhana yang lahir dari keluarga pedagang tempe, tak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada seorang perempuan yang begitu jauh dijangkau, meski sebenarnya dekat. Aisyah bukan hanya gadis desa biasa. Ia adalah putri dari Ustaz Salman, guru ngaji, pemimpin majelis, dan tokoh yang sangat dihormati di kampung itu. Sosoknya begitu bersahaja, namun penuh wibawa. Dan Aisyah, mewarisi kelembutan sekaligus ketegasan dari sang ayah.
"Kenapa harus dia, ya Allah…" bisik Afkarpada dirinya sendiri. Ia sadar betul, mencintai Aisyah sama saja seperti berharap pada bintang yang tak bisa disentuh. Bukan hanya karena status keluarga, tapi karena kenyataan pahit bahwa mereka masih memiliki garis darah. Aisyah adalah anak dari paman ibunya. Sepupunya.
Meski begitu, rasa itu tak pernah pergi. Ia tumbuh dalam diam, bertambah dalam doa, dan hidup dalam tatapan-tatapan singkat setiap kali mereka berpapasan.
Setiap sore, setelah urusan jualan tempe selesai, Afkar punya kebiasaan duduk di bawah pohon jambu yang menghadap ke jalan kecil tempat Aisyah biasanya lewat sepulang dari mengaji. Bukan untuk menunggu, katanya, tapi untuk "kebetulan" yang selalu ia syukuri.
Kadang Aisyah tersenyum. Kadang tidak. Tapi senyum itu cukup untuk menghidupkan harapan kecil di hati Afkar. Harapan yang ia tahu tak akan pernah tumbuh besar.
Suatu sore, angin membawa kabar dari seorang teman. Kabar yang membuat langkah Afkarterhenti sejenak saat akan menurunkan keranjang tempe dari sepeda tuanya.
"Kar, kamu tahu nggak? Aisyah itu katanya bakal dijodohkan sama anak kiai dari kota. Udah pulang dari Yaman, lulusan syariah. Katanya Ustaz Salman yang minta langsung."
Afkar tak menjawab. Ia hanya tersenyum, meski jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia menunduk, pura-pura sibuk membersihkan keranjang, padahal matanya mulai menghangat.
Langit di atasnya memerah, seolah ikut merasakan guncangan itu. Dan dalam hatinya, Afkar hanya bisa berkata lirih:
"Kalau benar langit tak mengizinkan, biarlah cinta ini hanya kutitipkan pada angin… agar ia sampai pada-Mu, ya Rabb."
=====================================================
Garahan, 17 April 2025 / Kamis, 18 Syawal 1446 H, 18.32 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Suka kisahnya, Pak. Lanjooot.... Ditunggu berikutnya. Salam sukses.
Siap bunda