Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat. e-mail: [email protected] @FB Jumari Tito Galing @IG Jumari Tito @Tiktok Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web
Nyonteng menjelang Panen Padi di Desa Garahan (T.41)

Nyonteng menjelang Panen Padi di Desa Garahan (T.41)

Sebelum subuh embuk(Ibu) Maryam sudah berada di dapur menyalakan tungku yang terbuat dari tanah, masih memakai mukena selesai sholat tahajut, korek api batangan di sulutkan ke kulit pinus menimbulkan bara api dan membakar kayu-kayu kering lainnya didalam tungku. Persediaan kayu tatal (serpihan kayu tipis) banyak tersedia di Bumi Garahan Kecamatan Silo Jember. Aroma asap pinus menyelimuti dapur Tabing (dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu). Hari ini embuk maryam panen padi, hari yang ditunggu-tunggu selama 4 bulan, segala persiapan telah dimulai terutama masakan yang akan di berikan kepada pekerja yang memanen padinya. Satu Jembung (baskom besar) nasi sekitar 3 kg, sayur katuk bercampur rebung dan jagung muda, ikan asin, ikan pindang, sambal, air minum, Kopi dan rokok. Lumrahnya kehidupan di desa serba sederhana.

Namun satu hari sebelum panen, Pak Hasan suami embuk Maryam, sore harinya pergi ke sawah membawa dua talam (wadah pipih berbibir) berisi satu tumpeng nasi, telur, daging ayam. Satu talam lagi berisi bunga setaman berisi uang logam dan sebutir, beberapa kue tradisional, bubur merah putih, segelas kopi dan satu batang rokok, air putih di letakkan di pematang sawah yang agak lebar, kemudian Pak Hasan duduk bersila membakar sabut kelapa ditaburi kemenyan, di barengi dengan doa-doa kepada leluhur secara Islami. Beberapa menit kemudian selesai berdoa Pak Hasan mengelilingi sawah dengan membawa sabut kelapa yang dibakar kemenyan dengan tujuan mensyukuri nikmat rizki yang diberikan oleh Allah SWT dan semoga hasil panen hari ini melimpah ruah dan barokah. Setelah ritual terlaksana, sesajen yang tinggalkan di pematang sawah adalah bunga setaman, bubur merah putih, segelas kopi, air putih, sebatang rokok, selebihnya dibawa pulang untuk di berikan kepada tetangga.

Arti dari Nyonteng adalah meruwat atau menyelamati (Mendoakan) istilah ini mengadopsi dari bahasa Madura karena sebagian besar penduduk Garahan berbahasa Madura, acara ritual ini adalah pembacaan doa-doa sebelum panen padi keesokan harinya sebagai bukti rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya hasil panen padi di sawah dengan disajikan tumpeng dan lauk pauknya, bunga setaman, bubur merah putih, kue tradisional, kopi, dan rokok. Kearifan lokal yang ada di desa Garahan atau yang berada di sekitarnya adalah salah satu warisan para leluhur yang masih terjaga sampai sekarang, bagi orang-orang yang masih kuat memegang tradisi ini akan tetap terus dilakukan menjelang panen. Tradisi seperti ini perlu kita wariskan kepada anak cucu agar mereka tetap melestarikan adat istiadat yang berlaku di masyarakat sampai kapanpun jua.

Nyonteng tidak hanya di lakukan setiap kali panen, ada beberapa daerah yang melakukan ritual ini setiap kali akan menanam padi dengan harapan padi yang ditanam akan melimpah dan dijauhkan dari hama penyakit. Seperti yang penulis alami ketika masih kecil, nenek menyiapkan nyonteng panen padi dengan berbagai sajian salah satunya ayam engkong (Ayam utuh yang dipanggang) untuk dibawa ke sawah bersama Paman, sawahnya tidak begitu jauh dari rumah nenek berjarak 200 meter, sesajen nyonteng di letakkan di kaki gumuk(Bukit kecil) yang bersanding dengan sawah kakek, sambil menunggu kakek datang, penulis menunggu di tepi sawah bersama paman. Kakek membawa asapan terbuat dari tanah liat, setelah kakek mendoakan dengan membakar kemenyan, kakek beranjak dari tempat duduknya dan mengelilingi sawah, saatnya penulis dan paman beraksi mengambil sebagian daging ayam kampung untuk dimakan di tempat, sebagian lagi sesajen di tinggal di sawah, entah siapa yang mengambil sesajen tersebut.

Ada beberapa upacara nyonteng yang masih berlaku di sekitar wilayah Garahan atau di desa lain yaitu Nyonteng Kolbuk artinya meruwat, mendoakan sumber mata air, sebagai sumber kehidupan, mengairi sawah, air minum, mencuci pakaian dan lain sebagainya. Nyonteng kolbuk sudah terkurangi sakralnya di jaman sekarang, cukup membawa tumpeng dan ayam kampung panggang, bunga setaman, bubur merah putih, rokok dan kopi, di doakan oleh tetua desa atau tokoh agama, setelah ritual selesai, mereka makan bersama di mata air tersebut menggelar tikar dan nasinya di gelar menggunakan daun pisang.

Kearifan lokal yang kini hampir punah akan semakin hilang apabila tidak dilestarikan oleh kita sendiri sebagai penerus tradisi secara estafet. Warisan budaya(Heritage) tak benda yang akan terus Berjaya apabila kita merawat dan meneruskan ke generasi berikutnya.

Sumber foto:

https://www.indovoices.com/umum/tradisi-wiwitan-sebagai-rasa-syukur/

https://www.facebook.com/reel/1090671532008933

https://www.facebook.com/kotajogjacom/posts/wiwitanwiwitan-berasal-dari-kata-wiwit-yang-berarti-mulai-untuk-itu-dalam-masyar/2677934522273596/?locale=fr_CA

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ulasan yang informatif. Makasih, Pak

25 Jan
Balas

Terima kasih bunda, semoga bermanfaat

25 Jan

Mantap ulasannya

24 Jan
Balas

Terima kasih bunda seniorku hadirnya

24 Jan

Terima kasih ulasannya, Bapak. Tambah wawasan tentang budaya daerah. Salam bahagia.

24 Jan
Balas

Sama-sama bunda cicik, semoga bermanfaat, sukses selalu buat bunda dan keluarga

24 Jan



search

New Post