Selendang merah sang Nenek (T.448)
Bab 9 – Dunia Baru Zahira
Suara peluit kereta api yang memanjang mengantarkan kepergian Zahira dari stasiun kecil di pinggir desa. Di tangannya tergenggam selendang merah pemberian nenek Fransiska selalu dibawanya ke mana pun. Di balik wajah yang tersenyum, Zahira menyembunyikan degup jantung yang berdebar: ia meninggalkan rumahnya untuk pertama kali, menuju dunia baru.

Surabaya menyambut Zahira dengan hiruk pikuk yang tak pernah tidur. Bangunan menjulang tinggi, jalanan ramai, dan bunyi klakson bersahutan seperti orkestra tak beraturan. Bagi Zahira yang biasa hidup di desa yang tenang, kota besar adalah dunia yang asing dan menantang.
Sesampainya di Sanggar Langit Selatan, Zahira terkesima. Gedungnya luas dan modern, dinding kaca mengkilap, dan ruang latihannya memiliki cermin besar dari lantai ke langit-langit. Lantai kayu licin dan pencahayaan sempurna. Ini jauh berbeda dari halaman tanah beralaskan tikar di desanya.

“Zahira, ini kamarmu,” kata Ambu Zamzam sambil menunjukkan sebuah kamar kecil tapi rapi. Ada dua ranjang di dalamnya. Zahira akan berbagi kamar dengan Meisya, siswi lain dari Bandung yang sudah dua bulan lebih dulu belajar di sana.
“Kalau perlu apa-apa, bilang aja ya. Aku bantu,” ujar Meisya ramah.
Zahira tersenyum. “Terima kasih, Meisya.”
Hari pertama pelatihan dimulai lebih pagi dari perkiraan Zahira. Jam 5.30 pagi, semua siswa sudah harus berkumpul di aula. Pelatih utama mereka, Pak Bram, seorang koreografer terkenal, memimpin sesi pemanasan.
Zahira berusaha menyesuaikan diri. Ia belum terbiasa dengan gerakan modern seperti balet kontemporer atau jazz dance yang energik. Beberapa teman bahkan menatapnya aneh saat Zahira melakukan gerakan tradisional Jawa saat sesi improvisasi.
“Kamu ini kayak penari zaman dulu,” celetuk Raka, salah satu siswa paling senior, dengan nada setengah mengejek.
Zahira hanya tersenyum. Dalam hati, ia ingat pesan nenek Fransiska:
"Menari bukan untuk menghibur mereka, tapi menyentuh hati mereka."
Setiap malam sebelum tidur, Zahira membuka selendang merahnya dan menari di kamar. Ia menari untuk nenek Fransiska, untuk tanah kelahirannya, dan untuk dirinya sendiri. Meisya yang sering melihatnya hanya bisa terkagum-kagum.
“Zahira... aku belum pernah lihat yang seperti itu. Gerakanmu lambat tapi dalam. Seolah kamu sedang berbicara dengan angin.”
“Itulah tari di desaku, Meisya. Tarian itu bukan soal kecepatan. Tapi soal rasa.”
Minggu demi minggu, Zahira makin terbiasa. Ia mulai bisa mengikuti ritme pelatihan modern, tetapi tak pernah meninggalkan akar tradisinya. Saat ditugaskan membuat koreografi kelompok kecil, Zahira memadukan tari Remo dari Jawa Timur dengan sentuhan kontemporer.
Ketika pertunjukan perdana siswa diadakan sebulan kemudian, semua orang menunggu-nunggu penampilan Zahira.
Lampu padam. Musik pelan mengalun. Zahira muncul dengan selendang merah membalut tubuhnya, melangkah perlahan, kemudian menari menggabungkan gerakan lembut klasik dengan lompatan lincah modern. Semua mata terpaku. Bahkan Raka yang dulu mengejek, kini terpana.
Tepuk tangan membahana. Pak Bram berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan lebih keras dari siapa pun.
“Luar biasa, Zahira. Kamu tidak menghilangkan jati dirimu. Tapi kamu juga tidak menolak hal baru. Itulah esensi seniman sejati,” ucapnya dengan bangga.
Malamnya, Zahira menulis surat untuk nenek Fransiska:
“Nenek Fransiska, Zahira telah menari di panggung besar pertamaku. Tapi rasa Zahira tetap sama, seperti saat pertama kali nenek Fransiska mengajarkan gerakan dengan selendang merah itu. Zahira tidak berubah, hanya tumbuh. Zahira janji akan tetap Zahira, penari kecilmu dari desa.”

Ia melipat surat itu, menyelipkan setangkai bunga kenanga kering di dalamnya, dan memeluk selendang merah itu erat sebelum tertidur.
Di dunia baru ini, Zahira tahu: meskipun tanahnya berbeda, langkah tari dan cintanya tetap berasal dari tempat yang sama hati.
===================================================================
Garahan, 19 Mei 2025 / Senin, 21 Dzulqo'dah 1446 H, 07.09 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren, salam sukses
Terima kasih Opa, salam sukses selalu
Wauwww....alangkah bangganya nenek Fransiska.
Nenek siapa dulu???
Selendang Merah ... selendang kenangan buat Zahira. Salam sukses.
Selendang peninggalan nenek Fransiska bund. Salam sukses juga untuk bunda