Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat. e-mail: [email protected] @FB Jumari Tito Galing @IG Jumari Tito @Tiktok Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.448)

Selendang merah sang Nenek (T.448)

Bab 8 – Ajakan dari Kota

Beberapa minggu setelah kemenangan di tingkat kabupaten, Zahira kembali menjalani hari-harinya seperti biasa di desa. Ia kembali bersekolah, membantu nenek Fransiska di dapur, dan mengajar adik-adik menari di sanggar kecil depan rumahnya. Namun, sejak kemenangan itu, hidupnya berubah pelan-pelan.

Orang-orang dari luar desa mulai berdatangan. Wartawan lokal, tim budaya dari kabupaten, bahkan beberapa guru tari dari kota. Zahira menjadi perbincangan. Tapi Zahira tetap Zahira gadis sederhana yang mencintai tari dari hati.

Suatu sore, saat matahari condong ke barat dan angin semilir membawa aroma wangi bunga kenanga, sebuah mobil berwarna perak berhenti di depan rumahnya. Seorang perempuan muda elegan turun dari dalamnya. Namanya Ambu Zamzam, perwakilan dari sebuah sanggar tari bergengsi di ibu kota provinsi.

“Nenek Fransiska Zahira?” sapanya sopan.

“Iya, saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?”

“Saya ingin bertemu dengan Zahira. Kami melihat penampilannya di festival kemarin. Luar biasa. Sanggar kami di Surabaya tertarik memberikan beasiswa pelatihan khusus untuk Zahira. Ini kesempatan yang jarang sekali datang, Bu.”

Nenek Fransiska memanggil Zahira yang sedang menyiram bunga. Dengan tangan masih basah, Zahira berjalan mendekat.

“Zahira, ini Ambu Zamzam dari Sanggar Langit Selatan,” kata nenek Fransiska.

Zahira menyambut dengan senyum ramah. Ambu Zamzam pun menjelaskan maksud kedatangannya. Ia memuji kemampuan Zahira yang dianggap punya roh seni yang kuat dan alami. Ia menawarkan pelatihan penuh selama satu tahun, dengan fasilitas asrama, pelatih profesional, dan kesempatan tampil di panggung besar.

Zahira terdiam. Antara kagum, terkejut, dan bimbang.

“Apa boleh Zahira memikirkan ini dulu, Bu?” tanyanya pelan.

“Tentu, Zahira. Tapi kami butuh jawaban minggu depan. Kami berharap kamu bergabung.”

Malam itu, Zahira termenung di bawah pohon mangga di samping rumah. Angin malam membelai rambutnya, dan suara serangga bersahut-sahutan.

Nenek Fransiska duduk di sampingnya, membawa selendang merah dan secangkir jahe hangat.

“Kau masih ragu, Nak?” tanya nenek Fransiska lembut.

Zahira menunduk.

“Iya, Nek. Zahira ingin belajar. Tapi Zahira takut... kalau nanti berubah. Zahira takut kehilangan apa yang Zahira cintai dari tari. Di kota besar, apa semua orang masih menari dari hati?”

Nenek Fransiska mengelus punggung tangan Zahira.

“Perubahan itu tak selalu buruk, Zahira. Yang penting bukan di mana kamu berada, tapi bagaimana kamu tetap menjadi dirimu.”

“Tapi kalau Zahira pergi, siapa yang akan ajari adik-adik menari di sanggar?” lanjutnya lirih.

Nenek Fransiska tersenyum.

“Cinta itu bisa tumbuh di mana saja. Kalau kamu belajar lebih dalam di sana, suatu saat kamu bisa pulang dan mengajar lebih banyak anak. Membawa lebih banyak cerita. Menari bukan hanya untuk sekarang, tapi untuk generasi nanti.”

Zahira diam. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia ingin melangkah lebih jauh. Di sisi lain, ia takut kehilangan kedekatannya dengan desa, nenek Fransiska, dan semangat yang selama ini membimbingnya.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya, Zahira pergi ke tempat favoritnya: sawah belakang desa. Ia menari di sana, tanpa musik, hanya diiringi suara alam. Angin meniup selendang merahnya, matahari pagi menyinari wajahnya.

Ia memejamkan mata dan menari. Di situlah ia menemukan jawabannya.

Sore harinya, Zahira menulis surat. Ia menuliskan keputusan bahwa ia menerima tawaran pelatihan di Sanggar Langit Selatan. Tapi ia punya satu syarat selama pelatihan, ia ingin tetap membawa dan menari tarian khas dari desanya, bukan hanya belajar gaya modern.

“Zahira tak akan lupa siapa Zahira. Zahira akan tetap menari bersama roh tanah ini, di mana pun Zahira berada,” tulisnya dalam surat itu.

Ketika ia menyerahkan surat itu pada Ambu Zamzam yang datang kembali seminggu kemudian, Zahira tersenyum mantap.

Ambu Zamzam membacanya, lalu berkata,

“Kamu berbeda dari yang lain. Itulah yang membuat kami sangat yakin padamu. Baik, Zahira. Mari kita mulai perjalanan ini bersama.”

Zahira menatap ke arah nenek Fransiska yang berdiri di beranda, melambai sambil tersenyum bangga. Zahira membalas dengan lambaian, selendang merah tergenggam erat di tangan.

Ia tahu, jalannya akan panjang. Tapi langkah pertamanya sudah ia ambil.

=================================================================

Garahan, 18 Mei 2025 / Ahad, 20 Dzuqo'dah 1446 H, 08.34 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren pak, sehat dan sukses selalu

18 May
Balas

Terima kasih bund oria

18 May

Keren pak, sehat dan sukses selalu

18 May
Balas

Suka kisahnya, Pak. Apalagi dengan Nenek Fransiska yang bijak. Lanjooot....

18 May
Balas

Hehehe nenek Fransiska baik hati, suka menabung dan tulus, salam sukses bunda

18 May



search

New Post