Selendang merah sang Nenek (T.450)
Bab 11 – Langkah Baru Zahira
Pagi di desa menyambut Zahira dengan embun dan aroma rumput basah. Seminggu telah berlalu sejak ia kembali dari Surabaya. Nenek Fransiska kini mulai membaik meski masih harus banyak beristirahat. Zahira merasa tenang, damai… dan utuh.
Namun sebuah panggilan telepon dari Pak Bram mengubah arah harinya.
“Zahira, jika kamu sudah siap kembali ke Surabaya, kami semua menunggumu,” ujar suara di ujung sana. “Dan ada sesuatu yang ingin aku tawarkan padamu.”
Zahira terdiam sejenak. Setelah menutup telepon, ia duduk termenung di bawah pohon jambu. Apakah ia siap kembali ke dunia yang ditinggalkannya demi nenek Fransiska? Ataukah desa ini sudah menjadi rumah barunya?
Malamnya, Zahira berbincang dengan nenek Fransiska.
“Nek, Pak Bram mengundang Zahira kembali ke sanggar. Tapi kali ini bukan sebagai peserta lomba… tapi sebagai pengajar muda.”
Nenek Fransiska mengangguk pelan, lalu tersenyum.
“Kau sudah waktunya berbagi, Zahira. Menari bukan hanya untukmu sendiri, tapi untuk diwariskan. Kalau hatimu sudah tenang, pergilah. Tapi jangan lupakan akar tempatmu tumbuh.”
Zahira mencium tangan nenek Fransiska. Air matanya hangat, bukan karena sedih, tapi karena penuh syukur.

Dua minggu kemudian, Zahira kembali ke Surabaya. Sanggar tampak sama seperti sebelumnya, tapi atmosfernya berbeda. Meisya menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Kamu ketinggalan banyak cerita,” ujar Meisya sambil terkekeh.
“Tapi kami semua menunggumu untuk membuka kelas tari tradisional khusus anak-anak.”
Pak Bram memperkenalkan Zahira di depan para murid sebagai “penari muda penuh semangat yang telah membawa cahaya baru untuk tradisi tari.” Zahira merasa gugup. Tapi saat ia melangkah ke depan, mengenakan selendang merahnya, keyakinan tumbuh dalam dirinya.
Kelas pertamanya diisi oleh sepuluh anak dari berbagai usia. Mereka kikuk, malu-malu, dan cenderung tertawa saat mencoba menirukan gerakan dasar. Zahira tak marah. Ia tahu, semua dimulai dari rasa ingin tahu.
Ia mengajarkan tari “Piring” dari Sumatera Barat dengan iringan gendang rekaman. Saat ia mencontohkan gerakan putar, angkat, dan gemulai tangan, anak-anak mulai terpikat. Zahira berbicara lembut, penuh senyum, dan menyisipkan cerita di setiap gerakan.
“Kalian tahu?” katanya suatu kali,
“tarian ini dulu ditarikan saat panen raya. Tangan kita seolah membawa piring berisi berkah dari bumi.”
Anak-anak tersenyum lebar. Tari kini bukan hanya gerakan, tapi cerita. Seperti yang nenek Fransiska ajarkan dahulu.
Minggu berganti. Zahira mulai menjadi pengajar tetap di sanggar. Ia membuka kelas setiap akhir pekan, dan peserta makin bertambah. Tak hanya anak-anak, beberapa remaja juga ikut, termasuk dari luar kota. Bahkan, satu hari, datang seorang ibu yang membawa anak berkebutuhan khusus.
“Dia suka gerak, Bu,” kata sang ibu.
“Tapi sulit mengikuti irama. Kami ingin mencoba…”
Zahira menerima mereka dengan tangan terbuka. Ia percaya, setiap anak berhak menari. Tak ada batasan bagi gerak yang berasal dari hati.
Suatu sore, Meisya datang membawa undangan.
“Zahira, ini… dari Dinas Kebudayaan Kota. Mereka ingin kamu dan murid-muridmu tampil di acara Festival Tradisi.”
Zahira terkejut. “Tapi… anak-anak masih belajar.”
“Justru itu. Tampilkan mereka seperti apa adanya. Mereka adalah wajah masa depan budaya kita.”
Zahira mengangguk. Ia tahu, ini adalah panggung pertama bukan untuk dirinya, tapi untuk generasi penerus. Ia pun mulai menyiapkan koreografi sederhana tapi penuh makna. Tariannya menggabungkan unsur tari piring, lenggok jaipong, dan sapaan lembut dari tari payung. Dan yang terpenting: setiap anak akan memakai selendang bukan merah, tapi berbagai warna, sebagai simbol keberagaman.
Hari pentas pun tiba.
Zahira berdiri di belakang panggung, memandangi anak-anak yang berdiri tegak di atas panggung mini di taman kota. Ia memegang selendang merahnya yang kini tak ia kenakan, tapi ia ikat di tiang belakang panggung, sebagai simbol bahwa tradisi akan selalu berdiri kokoh.
Musik mengalun.
Gerakan pertama dilakukan perlahan. Anak-anak menari dengan senyum. Beberapa gerakan masih kaku, ada pula yang salah langkah. Tapi tak ada yang tertawa. Penonton justru bertepuk tangan, memberi semangat.
Ketika musik berhenti dan anak-anak menunduk memberi salam, tepuk tangan membahana. Mata Zahira basah. Ia tahu, inilah awal baru. Sebuah babak yang akan ia jalani bukan sebagai Zahira si penari, tapi Zahira si pembagi cahaya.
Dan dalam hatinya, suara nenek Fransiska berbisik lembut, “Selendang itu kini kau teruskan… pada mereka.”
=================================================================
Garahan, 21 Mei 2025 / Rabu, 23 Dzulqo'dah 1446 H, 07.22 WIB

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren menewen Mas ustadz. Sukses selalu
Siap mas ustadz