Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat. e-mail: [email protected] @FB Jumari Tito Galing @IG Jumari Tito @Tiktok Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.451)

Selendang merah sang Nenek (T.451)

Bab 12 – Surat dari Nenek Fransiska

Hari itu, udara Surabaya terasa lebih teduh dari biasanya. Zahira baru saja menyelesaikan sesi latihan dengan anak-anak ketika ponselnya berdering. Nama Pak Arman, tetangga dekat nenek Fransiska, muncul di layar. Degup jantung Zahira seketika meningkat.

“Halo, Zahira... maaf mengganggu,” suara Pak Arman terdengar lembut.

“Nenek Fransiskamu menitipkan sesuatu padaku sebelum kamu kembali ke Surabaya. Beliau bilang, ‘berikan ini setelah Zahira berhasil membuat anak-anak menari dengan hati.’ Aku pikir... waktunya sudah tepat.”

Zahira terdiam.

“Terima kasih, Pak. Saya akan pulang akhir pekan ini.”

Tiga hari kemudian, Zahira berdiri di depan rumah kayu nenek Fransiska. Udara desa masih setia membawa bau tanah dan daun jati. Di beranda, Pak Arman menyerahkan sebuah kotak kayu kecil berukir motif parang. Zahira membukanya dengan tangan bergetar.

Di dalamnya, sebuah surat berbau kapur barus dan selendang merah terlipat rapi.

Zahira membuka surat itu. Tulisan tangan nenek Fransiska yang sudah ia kenal sejak kecil, memenuhi kertas kuning gading:

Untuk Zahira tersayang,

Jika surat ini sampai padamu, berarti kau sudah menemukan jalanmu sendiri.

Zahira, selendang merah ini bukanlah pusaka. Ia hanya sehelai kain biasa. Tapi yang membuatnya istimewa adalah kenangan, keringat, dan semangat yang melekat padanya. Dulu, aku menari membawa doa. Kini kau menari membawa harapan.

Aku melihatmu tumbuh bukan hanya menjadi penari yang indah, tapi juga penjaga warisan. Kau membawa nilai, bukan sekadar gerak. Kau ajarkan bahwa tarian adalah jembatan dari masa lalu ke masa depan.

Selendang ini kini milikmu, bukan untuk dikenakan lagi, tapi untuk dikenang. Jika suatu hari kau merasa lelah, peganglah ia. Rasakan semangat semua perempuan sebelum kita yang pernah menari dalam senyap maupun sorak.

Dan ingat, Zahira. Penari sejati tidak takut pada panggung, juga tidak lari dari bayangan. Ia berdansa bersama keduanya.

Cinta dan restu selalu, Nenek Fransiskamu,

Air mata Zahira jatuh tanpa bisa ditahan. Ia memeluk surat itu, lalu mencium selendang merah yang masih harum seperti tubuh nenek Fransiska.

Malamnya, Zahira duduk di kamar nenek Fransiska, kini sudah menjadi ruang kenangan. Ia membuka jendela, memandang langit bertabur bintang.

“Terima kasih, Nek,” bisiknya.

Pagi berikutnya, Zahira mengajak anak-anak desa menari di halaman balai dusun. Ia ingin membawa semangat tari ke kampung halamannya. Mereka menari dengan iringan rebana dan gamelan dari kaset tua milik sanggar nenek Fransiska dahulu.

Anak-anak itu tertawa, menirukan gerakan Zahira yang luwes. Warga desa berkerumun, menonton dengan mata berbinar. Beberapa ibu mulai ikut mengayun tangan, dan para bapak menepuk tangan mengikuti irama.

Dari jauh, Zahira bisa membayangkan nenek Fransiskanya tersenyum di ambang pintu.

Beberapa minggu kemudian, Zahira diundang menjadi narasumber di acara radio lokal bertema “Muda, Menari, dan Melestarikan Tradisi.” Suaranya terdengar mantap saat menceritakan perjalanan hidupnya dan arti dari selendang merah sang nenek Fransiska.

“Apa makna terbesar tari tradisional bagimu, Zahira?” tanya sang penyiar.

Zahira menjawab tanpa ragu,

“Tari bukan sekadar gerak indah. Ia adalah kisah tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin melangkah. Tari adalah cara kita menyapa leluhur dan menyentuh masa depan. Dan bagi saya, selendang merah itu... adalah nyawa dari semuanya.”

Suara Zahira menggema, dan di banyak rumah, banyak anak muda yang terinspirasi.

Kembali di sanggar, Zahira memasang selendang merah dalam bingkai kaca, ditempel di dinding ruang latihan. Di bawahnya, ia menuliskan kalimat dari surat nenek Fransiska:

“Penari sejati tidak takut pada panggung, juga tidak lari dari bayangan. Ia menari bersama keduanya.”

Kini, setiap anak yang masuk sanggar akan melihatnya dan tahu bahwa mereka sedang meniti jejak tradisi, dengan cinta dan keberanian.

Zahira menatap pantulan wajahnya di kaca bingkai itu. Ia tahu, perjalanan belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar merasa… utuh.

===================================================================

Garahan, 22 Mei 2025 / Kamis, 24 Dzulqo'dah 1446 H, 07.28 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa ceritanya, Pak Tito. Semoga sukses!

22 May
Balas

Terima kasih bunda, salam sukses selalu

23 May



search

New Post