Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat. e-mail: [email protected] @FB Jumari Tito Galing @IG Jumari Tito @Tiktok Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.452)

Selendang merah sang Nenek (T.452)

Bab 13 – Bayang-Bayang Kompetisi Baru

Mentari pagi menyapa hangat kota Surabaya. Di sanggar Zahira, suasana semakin hidup. Anak-anak desa yang dulu hanya belajar di tanah lapang kini rutin berlatih di ruang terbuka komunitas seni yang Zahira bangun bersama para relawan.

Hari itu, Zahira sedang memandu latihan tari kreasi bertema “Nusantara Menari”. Ia memperkenalkan gerakan dari berbagai daerah seperti Giring-Giring dari Kalimantan, Jaipong dari Jawa Barat, hingga gerakan khas Bali. Anak-anak menari dengan antusias, walau beberapa gerakan membuat mereka kelelahan.

Selesai latihan, Rani salah satu anak yang paling aktif menarik tangan Zahira. “Kak Zahira, tadi Bu Ayu dari Dinas Kebudayaan datang. Katanya, kita bisa ikut Festival Tari Tradisi Nasional di Jakarta!”

Zahira mengernyit. “Festival Nasional?”

“Iya, Kak. Perwakilan dari seluruh provinsi. Mereka cari sanggar muda yang mengangkat tarian daerah, apalagi yang punya nilai cerita.”

Degup jantung Zahira tak karuan. Festival itu adalah ajang bergengsi. Tapi ini bukan hanya tentang tampil; ini soal membawa cerita nenek Fransiska ke panggung yang lebih besar.

Malam itu, Zahira duduk di ruang tamu sanggar. Di hadapannya, brosur festival terbuka lebar. Tema tahun ini: “Jejak Leluhur dalam Langkah Anak Bangsa.”

Ia menatap selendang merah dalam bingkai. “Apa aku siap membawa mereka ke sana, Nek?” bisiknya.

Ingatan akan kompetisi masa kecilnya kembali hadir. Dulu, ia menari dengan tekanan, beban menang, dan ekspektasi orang dewasa. Kini, ia bertekad jika ia membawa anak-anak, mereka harus menari dengan hati, bukan ambisi.

Esoknya, Zahira mengumpulkan semua murid. Ia membawa mereka ke halaman, duduk melingkar di bawah pohon asam.

“Aku ingin jujur pada kalian,” katanya, memandangi satu per satu wajah polos itu. “Festival ini besar. Tapi besar juga tanggung jawabnya. Kita harus siap berlatih lebih keras. Siap disiplin. Siap tampil mewakili desa ini... dan juga cerita kita.”

Semua anak terdiam. Lalu Rani mengangkat tangan.

“Kalau kita takut, kita ingat saja kata-kata nenek Fransiska Kak Zahira: penari sejati menari bersama bayangan.”

Tawa kecil terdengar. Zahira terharu. Kata-kata nenek Fransiska mulai hidup di dalam mereka.

“Baik,” Zahira tersenyum.

“Kita mulai latihan perdana sore ini. Kita tidak akan membawa tarian yang hanya indah, tapi juga bercerita.”

Seminggu berjalan. Latihan semakin intens. Zahira menggabungkan tarian khas dari tiga daerah dalam satu koreografi naratif. Ceritanya: tentang seorang gadis desa yang mewarisi selendang dari leluhurnya, dan berkelana menjaga tradisi melalui tarian. Tiap anak memerankan tokoh yang memiliki makna leluhur, alam, dan harapan.

Namun di tengah semangat itu, kabar mengejutkan datang.

Seorang penari muda dari sanggar ternama di Jakarta, Raka, yang dulu pernah menjadi rival Zahira saat lomba nasional waktu SMA, akan ikut juga. Raka dikenal sebagai penari ambisius dan berbakat. Dan lebih dari itu ia membawa sanggar dengan dana besar dan pelatih profesional.

Beberapa anak Zahira mulai cemas.

“Kak, kita nggak punya kostum sebagus mereka,” ucap Dani, salah satu penari cowok.

“Latihan kita juga cuma di halaman, bukan di studio mewah,” sahut Rani.

Zahira menarik napas panjang. “Kalian tahu kenapa kita berbeda? Karena setiap gerakan kita punya cerita. Kalian bukan hanya menari, kalian menyampaikan pesan. Ingat itu.”

Mereka terdiam. Zahira mengambil selendang merah dari tas kainnya,

“Selendang ini dulu menari di panggung yang tak punya lampu. Tapi setiap goyangan kainnya membawa harapan. Jadi tak peduli di mana panggungmu, yang penting siapa yang kau sapa lewat tari.”

Latihan pun semakin dipenuhi semangat. Zahira juga meminta bantuan teman lamanya, Kak Dimas, seorang pemusik tradisi, untuk mengiringi tarian dengan musik live sederhana dari kendang, saron, dan suling bambu.

Suatu hari, Zahira menerima pesan dari panitia festival. Mereka meminta video latihan terkini untuk penilaian awal.

Zahira dan anak-anak menari di tengah tanah lapang desa, latar belakangnya sawah dan bukit. Angin berhembus lembut, membuat selendang yang dikenakan Rani berkibar seperti nyawa yang hidup.

Video itu mereka kirim, tanpa editan, tanpa lampu sorot hanya tarian, tanah, dan langit.

Beberapa hari kemudian, sebuah email masuk. Judulnya: “Selamat! Sanggar Zahira dan Anak Langit lolos seleksi nasional.”

Jerit kebahagiaan memenuhi ruang latihan. Mereka menangis, berpelukan, bahkan menari spontan di lantai semen.

Zahira memejamkan mata, mendekap selendang merah. Di antara rasa bangga dan takut, satu suara bergema di kepalanya: “Bayangan adalah bagian dari cahaya.”

Dan kini, Zahira dan anak-anak siap menuju cahaya itu.

===================================================================

Garahan, 23 Mei 2025 / Jum'at, 25 Dzulqo'dah 1446 H, 07.06 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap surantap Mas ustadz. Sukses selalu

23 May
Balas

Terima kasih mas ustadz hadirnya

24 May



search

New Post