Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat. e-mail: [email protected] @FB Jumari Tito Galing @IG Jumari Tito @Tiktok Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.453)

Selendang merah sang Nenek (T.453)

Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyapa hangat Desa Pelangi, tapi suasananya berbeda dari biasanya. Jalanan desa yang biasanya sepi kini ramai oleh orang tua, tetangga, dan sahabat yang datang melepas keberangkatan Zahira dan para penari ciliknya.

“Jaga anak-anak baik-baik, ya, Zahira,” ucap Bu Lilis, ibu Rani, sambil menyeka air mata haru.

“Iya, Bu. Mereka bukan cuma tanggung jawab saya, tapi bagian dari impian saya juga,” jawab Zahira mantap.

Dengan bus kecil yang disewa dari sumbangan warga dan donatur, mereka berangkat menuju Jakarta. Di dalam bus, suasana riang. Rani, Dani, dan yang lain menyanyikan lagu-lagu daerah sambil menepuk tangan, sementara Zahira duduk di depan, memandangi jalan panjang di balik jendela.

Hatinya campur aduk. Ia bukan hanya membawa sekelompok anak tampil di festival, tapi membawa warisan, mimpi, dan semangat dari sebuah desa kecil. Ia membayangkan nenek Fransiskanya duduk di samping, tersenyum sambil berkata, “Langkah kecilmu membawa gema besar, Zahira.”

Setibanya di Jakarta, anak-anak langsung terpukau oleh gedung tinggi, jalanan sibuk, dan suasana yang sangat berbeda dari desa mereka. Mereka menginap di asrama peserta yang disediakan panitia festival—tempat pertemuan puluhan sanggar dari seluruh Indonesia.

Raka, rival lama Zahira, muncul saat sesi registrasi. Penampilannya tetap memukau: kostum berkelas, rombongan lengkap, dan pelatih profesional. Ia menatap Zahira dengan senyum tipis.

“Zahira? Wah, kau masih di dunia tari ya. Kupikir kau sudah berhenti sejak SMA,” ujarnya dengan nada menyindir.

Zahira tersenyum tenang. “Tidak semua yang mencintai tari harus jadi bintang di televisi, Ra. Beberapa memilih menjadi pelita kecil di desa.”

Raka terkekeh, lalu berlalu. Anak-anak yang menyaksikan percakapan itu diam-diam makin kagum pada keberanian Kak Zahira.

Hari-hari di Jakarta diisi dengan latihan intensif. Zahira memilih untuk tidak memaksa anak-anak tampil sempurna, tapi justru fokus pada ekspresi dan pemaknaan.

“Setiap kali kalian menari, bayangkan kalian sedang berbicara pada penonton, menceritakan kisah nenek Fransiska-nenek Fransiska kita, tentang sawah, hutan, dan kampung halaman,” pesan Zahira.

Anak-anak menari dengan semangat. Rani, yang memerankan “penjaga selendang,” mulai bisa menyampaikan emosi hanya dengan tatapan. Dani, yang dulu pemalu, kini mampu menggerakkan tubuh dengan percaya diri.

Malam sebelum pertunjukan, Zahira mengajak semua anak duduk melingkar. Ia membawa selendang merah tua milik nenek Fransiska.

“Kalian tahu… dulu selendang ini pernah menari di panggung sekolahku. Sekarang, selendang ini akan menari bersama kalian, menyatu dalam cerita yang lebih besar.”

Rani menerima selendang itu dengan hati-hati. “Selendang ini bawa keberanian nenek Fransiskamu, ya Kak?”

“Bukan hanya keberanian. Tapi juga cinta. Dan cinta itu sekarang sudah kalian miliki.”

Hari festival pun tiba.

Panggung besar di Balai Budaya Jakarta itu terasa sangat tinggi bagi anak-anak dari desa. Lampu sorot terang. Penonton ratusan. Dan para juri duduk di barisan depan.

Saat giliran mereka tampil, anak-anak menarik napas panjang. Musik tradisional mulai mengalun. Penonton hening.

Tarian dimulai dengan langkah Zahira yang perlahan maju dari belakang panggung, menyerahkan selendang merah kepada Rani. Gerakan lembut berganti dengan irama cepat, menggambarkan perjuangan melestarikan budaya. Mata penonton terpaku. Tak ada musik elektronik. Tak ada efek lampu. Tapi ada getaran yang tak terlihat—kejujuran dari tiap gerakan kecil.

Saat tarian usai, tepuk tangan bergema. Zahira menunduk, menahan air mata. Di barisan belakang, beberapa orang berdiri memberi penghormatan.

Malamnya, saat pengumuman penghargaan, nama-nama sanggar besar disebut terlebih dahulu. Lalu, tiba-tiba terdengar:

“Penghargaan Khusus Juri untuk Penyampai Cerita Terbaik: Sanggar Zahira dan Anak Langit – Desa Pelangi.”

Anak-anak melompat kegirangan. Zahira terduduk, menahan tangis haru. Mereka mungkin bukan juara utama, tapi mereka menang di tempat yang paling berarti—hati penonton dan para juri.

Raka menatap Zahira dari kejauhan, kali ini tanpa senyum sinis. Ia hanya mengangguk kecil. Mungkin, dalam diamnya, ia pun mengakui bahwa ada kemenangan yang tak bisa dikalahkan oleh kemewahan.

Malam itu, di kamar asrama, Zahira memandangi selendang merah yang digantung di dinding.

“Terima kasih, Nek. Hari ini, selendangmu menari di panggung yang paling indah—panggung cinta.”

=================================================================

Garahan, 24 Mei 2025 / Sabtu, 26 Dzulqo'dah 1446 H. 08.21 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren.. inspiratif. Lanjut Mas. Ceritanya.

24 May
Balas

Terima kasih ambo zamzam

25 May



search

New Post