Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat. e-mail: [email protected] @FB Jumari Tito Galing @IG Jumari Tito @Tiktok Gur...

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.454)

Selendang merah sang Nenek (T.454)

Bab 15 – Jejak di Tanah Ibu Kota

Malam setelah kemenangan itu, Zahira tak bisa tidur. Anak-anak sudah terlelap, sebagian masih memeluk sertifikat dan medali penghargaan yang mereka terima. Tapi Zahira duduk di dekat jendela asrama, memandangi kelap-kelip lampu Jakarta yang tak pernah padam.

“Jakarta begitu sibuk,” bisiknya. “Tapi malam ini, aku merasa tenang.”

Pagi harinya, mereka masih punya satu hari bebas sebelum kembali ke desa. Zahira memutuskan mengajak anak-anak menjelajahi kota bukan ke mal atau tempat wisata, tapi ke tempat-tempat yang menyimpan jejak sejarah budaya Indonesia.

Tujuan pertama mereka adalah Taman Ismail Marzuki.

“Tempat ini pernah jadi rumah para seniman,

” jelas Zahira kepada anak-anak saat mereka berdiri di depan gedung pertunjukan. “Penyair, pelukis, penari... semua pernah menjejakkan kaki di sini. Mereka bukan hanya menghibur, tapi membentuk cara kita memandang dunia.”

Rani menatap bangunan itu penuh kagum.

“Kak, bisa nggak suatu hari kita tampil di sini?”

“Bukan cuma bisa. Tapi kalian harus. Tapi bukan untuk jadi terkenal melainkan untuk terus menghidupkan cerita.”

Setelah itu, mereka mampir ke Museum Tekstil. Anak-anak terpana melihat kain-kain batik dan songket yang penuh warna dan makna.

“Kain ini punya pola yang disebut ‘kawung’,” kata penjaga museum saat memandu. “Dulu hanya digunakan oleh bangsawan.”

Dani berseru, “Kita juga punya batik di desa, Kak!”

Zahira tersenyum bangga.

“Betul. Budaya itu nggak harus menunggu pengakuan. Ia hidup dari hati yang menjaganya.”

Di salah satu sudut museum, mereka melihat seorang ibu tua sedang membatik dengan canting.

“Boleh coba?” tanya Rani.

“Boleh, Nak,” jawab si ibu sambil tertawa.

“Tapi hati-hati, batik itu seperti menari. Harus pelan dan penuh rasa.”

Zahira memperhatikan anak-anak yang belajar membatik. Dalam benaknya, ia melihat gambaran masa depan: anak-anak desa Pelangi menjadi duta kecil budaya Indonesia.

Sore harinya, mereka berjalan ke Monas, hanya untuk duduk di pelataran dan makan bekal yang dibawa.

“Mau naik ke atas nggak?” tanya Dani.

“Enggak usah hari ini,” jawab Zahira.

“Yang penting kita sudah berdiri di sini. Di jantung negeri ini.”

Rani memandangi tugu menjulang tinggi itu.

“Aku jadi pingin bikin tarian tentang Monas, Kak.”

Zahira tersenyum lebar.

“Dan Kakak akan bantu buatkan musik dan kostumnya.”

Menjelang malam, mereka kembali ke asrama. Tapi sebelum tidur, Zahira mengajak semua anak berkumpul.

“Besok kita pulang. Tapi ingat, yang kita bawa pulang bukan hanya medali, bukan hanya pengalaman. Kita bawa semangat baru, cerita baru, dan tanggung jawab baru.”

“Tanggung jawab apa, Kak?” tanya Dani.

“Tanggung jawab untuk berbagi. Kalian harus menularkan cinta ini ke teman-teman di desa. Ajak mereka menari. Ajak mereka mengenal cerita-cerita dari nenek Fransiska, dari bapak-ibu, dari tanah kita sendiri.”

Anak-anak mengangguk. Mereka bukan lagi rombongan kecil dari desa. Mereka kini pembawa pesan.

Pagi harinya, bus yang sama menjemput mereka di asrama. Tapi kali ini, suasananya jauh berbeda dari keberangkatan. Ada tawa, nyanyian, dan semangat menyala.

Di tengah perjalanan, Zahira menerima pesan dari panitia festival. Isinya membuat matanya berkaca-kaca:

“Tarian 'Selendang Merah' akan ditampilkan ulang dalam acara penutupan Festival Budaya Anak Nasional bulan depan. Kami mohon Sanggar Zahira dan Anak Langit bersedia hadir kembali.”

Ia menoleh ke anak-anak.

“Siap kembali ke Jakarta bulan depan?”

Sorak-sorai memenuhi bus.

“Dan kali ini, kita bakal tampil di panggung utama!”

Setiba di desa, mereka disambut seperti pahlawan. Ibu-ibu membawa nasi tumpeng, bapak-bapak membunyikan kentongan, dan anak-anak lain bersorak-sorai.

Bu Lilis menangis saat memeluk putrinya.

“Kalian bukan cuma anak-anak penari. Kalian pembawa harapan.”

Zahira berdiri di tengah kerumunan, menggenggam erat selendang merah. Nenek Fransiskanya mungkin sudah tiada, tapi kisah dan semangatnya kini menyatu dengan langkah-langkah kecil anak-anak desa Pelangi.

Di pelataran sanggar, Zahira berdiri di depan papan kayu yang sudah lama kosong. Dengan kapur putih, ia menulis besar-besar:

"TARI ADALAH CERITA. CERITA KITA. CERITA INDONESIA."

=================================================================

Garahan, 25 Mei 2025 / Ahad, 27 Dzulqo'dah 1446 H, 09.42 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap masih Exis cak

25 May
Balas

Alhamdulullah, bagaimana kabarnya cak? lama tidak bersua

26 May



search

New Post