Jumriyah,S.Pd, M.Pd

Namaku Jumriyah Aku Lahir di Desa Bergaskidul tepatnya di RT 01/I Ayakhu Karto saleh Alm dan Ibuku Katijah Aku memiliki satu putri yang sekarang sudah bekerj...

Selengkapnya
Navigasi Web
AKU BUKAN ANAK PEDAGANG CILOK

AKU BUKAN ANAK PEDAGANG CILOK

AKU BUKAN ANAK PEDAGANG CILOG

#Tantangan Gurusiana Menulis 30 Hari#(Tantangan Hari Ke 3)

Oleh. Jumriyah, S.Pd, M.Pd

Anak dilahirkan ke dunia bukan karena keinginannya. Mereka lahir tanpa setitik dosapun. Ibarat kertas sangat putih bersih tanpa noda. Mereka sebagai buah cinta kasih dari sepasang anak adam yang saling mengasihi. Buah cinta mereka berupa amanah dari Allah yaitu dengan lahirnya si jabang bayi.

Tidak semua kelahiran disambut dengan suka cita. Ada yang menantinya dengan penuh harap karena sudah lama sang ibu menunggu kehadiran setelah bertahun-tahun menikah. Ada yang kehadirannya tak diinginkan karena si jabang bayi terlahir dari sebuah kesalahan. Ada juga yang kehadirannya disambut dengan tangis yang mengharu biru karea si bayi lahir pada saat orang tuanya telah dipanggil Yang Kuasa. Suasana dengan berbagai macam cerita kelahiran bukannlah keinginan si lahir, namun yang pasti itu semua adalah amanah rizki yang dberikan Allah untuk umat Adam sebagai buah dari hubungan pasangan orang dewasa. Biarkan alam yang mencatatnya.

Ketika anak mulai mengenal dunia diluar lingkungan keluarga, sekolah adalah tempat pertama yang mereka kenali. Diawali jenjang play grup, PAUD, TK/RA, SD/MI, sampai pada jenjang SMP/MTs. Tahapan jenjang Play grup dan TK/RA anak masih didampingin dan dibayangi oleh orang tuanya. Pengawasan selama proses pembelajaran masih didominasi oleh pendidikan keluarga. Campur tangan keluarga masih sangat kuat, sehingga anak dalam melewatinya sangat kental dengan adopsi pola didik keluarga masing-masing. Kebutuhan makanpun mereka dilayani dengan baik. Ada menu makan siang, ada kudapan, bahkan di setiap minggunya jadwal menu selalu berganti sehingga kebutuhan asupan gizinya terpenuhi layaknya di rumah sendiri.

Berbeda halnya dengan jenjang SD/MI atau SMP/MTs. Disini anak sudah lepas dari pengawasan orang tuanya. Anak sudah dilatih untuk mandiri. Hanya saat hari-hari awal di sekolah saja yang masih ada orang tua mendampingi putra putrinya dengan menungguinya di sekolah. Namun lambat laun anak mulai dilepaskan. Pengawasan dan pendidikan sudah di[ercayakan kepada guru di sekolah. Hanya orang tua mengantar ke sekolah dan menjemputnya saat waktu pulang. Ada juga beberapa yang masih ditunggui sampai jam istirahat atau jam pulang tiba. Ini biasnya dilakukan orang tua yang anaknya masih rewel dan tidak mau ditinggal.

Dalam melewati masa sekolah sampai dengan kelas 6 anak sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Bekal sekolah ada yang membawa dari rumah. sedangkan yang orang tuanya sibuk mereka tak sempat menyiapkan sarapan buat anaknya di rumah. Senjata yang paling ampuh untuk membackup keterbatasan itu biasanya ibu memberi uang saku labih untuk anaknya membeli sarapan di sekolah.

Kondisi ini yang menjadi pangkal dari munculnya masalah baru. Anak yang tidak sempat sarapan di rumah karena ibunya tidak masak lebih banyak jumlahnya dibanding dengan anak yang memang enggan untuk sarapan. Perhatian orang tua sudah tidak seperti saat anaknya sekolah di PAUD/TK lagi. Anaknya dianggap sudah besar dan tidak memerlukan perhatian khusus. Alhasil sarapan sering terabaikan.

Sekolah negeri tempat penulis mengabdikan diri memiliki kantin sekolah yang menyediakan menu-menu buat pengganti sarapan di sekolah. Seperti nasi goreng, nasi rames, atau mie goreng yang semuanya dikemas dalam bungkus-bungkus kecil. Ada juga jajanan ringan yang cukup untuk mengganjal perut kosong pada jam-jam sekolah. Hanya permasalahannya, para siswa kebanyakan sudah membeli jajan di luar sekolah yang dijajakan oleh masyarakat sekitar atau para penjamah makanan yang berasal dari luar sekolah. Makanan jajanan ini tidak ada kendali kualitasnya. Biasanya yang banyak dijual adalah cilog/cimol, mainan kecil-kecil, aneka jajanan kemasan yang tidak standard bahkan banyak anak-anak yang merelakan uang sakunya yang semestinya untuk membeli sarapan digunakan untuk membeli mainan, ikan kemasan atau kartu-kartu gambar yang di jajakan di luar sekolah.

Pedagang makanan yang menghadang siswa saat berangkat sekolah sudah menghabiskan sebagian uang saku mereka. Sehingga pada jam istirahat sisa uang saku sudah menipis. Pedagang cilok menjadi andalan anak-anak di pagi hari. Cilok menjadi menu wajib tatkala orang tua tidak menyediakan sarapan di rumah. Kenapa begitu? Anak lebih suka makan cilok lengkap dengan kecap dan saos yang menarik karena rasnya yang mak nyus dibanding membeli nasi bungkus di sekolah. Tanpa tau itu saos dan kecap kapan menuangkan di wadahnya, mereknya apa, aman tidak untuk kesehatan tubuhnya tidak menjadi masalah besar buat anak-anak. Yang penting mereka merasakan jajanan lezat. Resiko sakit perut atau radang tenggorokan tak terpikirkan oleh mereka.

Belum lagi anak yang dalam pengasuhan kakek atau neneknya. Yang penting anak tenang, tidak rewel dan muwo (istilah orang jawa tidak pernah rewel). Banyak pasangan ibu muda yang tak menyadari bahwa dirinya sudah punya tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Hak dan kewajiban anak sering terabaikan. Fokus mereka mencari uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk kesenangannya sendiri. Kebutuhan make-up dan pakaian lebih prioritas dibanding memperhatikan tumbuh kembang anak-anak mereka. Sehingga saat memperoleh undangan dari sekolah untuk mengomunikasikan perkembangan pendidikan anaknya mereka mewakilkan kakek dan neneknya. Yang penting buat mereka anaknya sekolah dan uang saku tidak pernah kekurangan.

Anak-anak sudah terkodisi seperti itu. Jadi mereka tercetak mandi sendiri, berkemas ke sekolah membeli jajan di luar sekolah dan pulang kembali kerumah di siang harinya. Mereka bertemu dengan orang tuanya lagi nanti malam menjelang tudur. Bahkan mungkin sudah tidur baru orang tuanya pulang. Paginya mereka sibuk sendiri-sendiri mengurus keperluan mereka. Anaknya sibuik mempersiapkan diri untuk ke sekooah, bapak ibunya sibuk persiapan bekerja. Kegiatan memasak untuk keluarga diserahkan kakek/nenkenya setelah mereka mengurus cucunyan yang paling kecil.

Jadi disini, sarapan anak-anak menjadi tanggung jawab pedagang cilok, bukan orang tuanya sendiri. Terbukti saat pedagang cilok libur tak berjualan, anak- anak pada kebingungan mencari dan menanyakannya. Anak siapa sebenarnya mereka. Kenapa disaat anak butuh perhatian dan pelayanan haknya justru orang lain yang memenuhinya? Inilah kondisi yang terjadi ditempat penulis bekerja mengabdikan dirinya.

Ditulis oleh:

Jumriyah, S.Pd, M.Pd (Kepala SD Negeri Bergaskidul 03, Bergas, Kab Semarang, Jateng)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post