Ini perlu disadari oleh penulis. Tulisan termasuk komunikasi satu arah. Lebih-lebih tulisan itu dipublikasikan dengan media cetak seperti buku.

Di zaman sekarang, memang masih dimungkinkan terjadi komunikasi dua arah. Pembaca dapat menghubungi penulis secara langsung bila ada yang ingin ditanyakan terkait tulisan. Namun, hal itu tidak selalu terjadi. Kalaupun terjadi biasanya memerlukan proses yang tidak instan.

Apa konsekuensinya? Konsekuensi yang paling logis adalah penulis harus bisa menulis dengan baik. Buku itu harus ditulis dengan lugas, bisa dipahami oleh pembaca, dan sistematis.

Sebab jika tulisan dalam buku itu ambigu, tidak mudah dipahami, atau bahkan menimbulkan multitafsir, buku itu akan ditinggalkan oleh pembacanya. Pembaca akan malas membaca buku itu.

Untuk menghasilkan tulisan yang lugas, logis, dan sistematis tentu tidak mudah. Perlu latihan yang sungguh-sungguh. Perlu belajar terus-menerus.

Apalagi semua sudah meyakini bahwa menulis bukan soal bakat, tapi soal keterampilan. Oleh karena itu, untuk mengasahnya tidak ada jalan terbaik kecuali dengan banyak melakukan (praktik).

Namanya saja berlatih atau praktik, pernah berbuat salah itu biasa. Seorang atlet lari cepat pernah jatuh tersungkur dan luka itu biasa. Seorang atlet balap motor pernah jatuh dan keseleo itu hal lumrah.

Begitu juga dengan menulis. Bila tulisan kita pernah dicela, pernah memiliki banyak kesalahan, dan pernah tidak dianggap adalah hal biasa. Yang pasti, tidak ada atlet yang sukses seandainya saat jatuh langsung menyerah dan putus asa. Tidak ada penulis yang berhasil seandainya saat dicela langsung berhenti menulis dan putus asa.

Intinya, tetaplah tegak berdiri dalam segala kondisi. Niatkan menulis untuk menyebarkan ide, gagasan, dan kebaikan kepada banyak orang. Buatlah tulisan yang baik agar niat itu dapat tercapai dengan baik. Insyaallah segalanya akan indah pada waktunya.

Sumenep, 19 Juni 2020