Sudah bukan hal asing lagi pernyataan yang mengatakan bahwa penulis tidak akan pernah mati. Ketika seseorang menulis, saat itu pula dia telah memperpanjang umurnya.

Pramoedya Ananta Toer mengatakan dengan nada lantang. "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Sudah banyak faktanya, umur boleh pendek, tapi tulisan akan abadi bersama zaman.

Contoh saja, Chairil Anwar. Pelopor penyair angkatan '45 itu sampai saat ini masih dikenang. Lewat puisi-puisinya, nama dia abadi dari generasi ke generasi.

Kalau contoh yang lebih ekstrem, bisa diambil dari perjanjian Hammurabi. Perjanjian tua dan mungkin perjanjian pertama yang pernah tertulis itu tetap abadi. Tetap disinggung di buku-buku sejarah.

Itu adalah bukti nyata bahwa tulisan jauh lebih abadi dibandingkan dengan umur penulisnya. Karena itu, peninggalan berupa karya tulis diimpikan oleh banyak orang.

Orang-orang yang pemikirannya ingin dikenang dan bermanfaat sepanjang masa, mereka tidak ragu-ragu untuk menuliskannya. Jika mereka tidak mampu, mereka tidak ragu untuk membayar penulis untuk menuliskannya.

Bahkan mereka berani membayar dengan harga mahal demi itu. Kenapa? Mereka yakin, keabadian pemikiran jauh lebih berharga daripada uang. Pengaruh pemikiran jauh lebih dahsyat daripada uang.

Lantas, kembali ke judul, kapan matinya penulis? Ya, saat malaikat mau mencabut nyawanya. Dia mati sebagai manusia. Meski mungkin karyanya tetap abadi.

Kota Pahlawan, 23 November 2020