Putri Tun Penatih
Oleh : Riswo, S.E., M.Si
Ketua FGMPL Kabupaten Lampung Selatan
“Sudah tiga bulan aku menunggu kabar darimu. Tapi kabar itu belum kunjung datang. Apakah gerangan yang membuatmu tak pernah membalas surat dariku?” gumamnya sambil menatap sekawanan burung kuntul yang sedang mencari makan di sawah. Laki-laki tampan nan rupawan yang sedang duduk di pendopo itu menghela napas panjang, menatap hamparan Gunung Rajabasa yang menjulang tinggi di hadapannya.
Dari kejauhan ia melihat Putri Tun Penatih tersenyum kepadanya. Laki-laki gagah berkulit putih itu melambaikan tangannya, sembari membalas senyum manis sang putri. Putri cantik dari Kesultanan Aceh itu semakin mendekat. Ia membawa secangkir minuman hangat berbahan baku dari rempah-rempah. Aromanya menyeruak, menusuk hidung bersama kepulan asap putih dari cangkir berwarna keemasan.
Putri cantik yang banyak digandrungi para kaum Adam ini tersenyum sembari menyuguhkan minuman khas beraroma rempah-rempah kepada putra dari Sunan Gunung Jati dan Putri Sinar Alam. Keduanya beradu pandang, sembari mengulurkan tangannya mengambil secangkir minuman hangat.
Saat beradu pandang, Putri Tun Penatih terlihat sedikit gugup. Tangannya gemetar tak mampu mengendalikan minuman yang dipegangnya. Sehingga minuman itu tumpah mengenai tangan Ratu Darah Putih.
“Ya Allah, rupanya aku telah hanyut dalam lamunanku. Mengapa akhir-akhir ini bayangan Putri selalu menyelinap dalam pikiranku? Apakah telah terjadi sesuatu dengannya? Sudah tiga kali aku mengirim surat, namun tak satupun suratku ia balas.” Pemuda gagah titisan Wali Allah itu kembali menghela napas panjang. Sepanjang hari ia selalu memikirkan gadis yang telah menawan hatinya.
Ratu Darah Putih kembali menerka-nerka, apakah yang membuatnya tak pernah membalas suratnya. “Jangan-jangan kamu telah melupakanku, dinda Putri Tun Penatih? Apakah kamu telah menikah dengan orang lain? Tidak! Tidak mungkin! Kamu bukan tipe wanita seperti itu!” gumamnya, sambil memegang dadanya yang berguncang hebat.
Ratu Darah Putih berdiri mondar-mandir, tak tahu harus berbuat apa. Pandangannya hampa tertuju pada Gunung Rajabasa. “Astaghfirullah haladziim. Ya Allah, jauhkanlah hamba dari pikiran yang menyesatkan.”
Gundah gulana yang menyelimuti pikirannya, membuatnya tak dapat memejamkan matanya. Ia mengambil air wudu, lalu melaksanakan shalat diiringi zikir dan membaca Al-Qur’an. Lantunan ayat suci Al-Qur’an itu berkumandang menembus ke Kesultanan Cirebon. Sultan Cirebon 2, yang bergelar Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang sedang zikir, mendengar suara putranya yang sedang mengaji dari jarak yang sangat jauh. “Subhanallah. Maha Suci Allah, Tuhan yang Maha Perkasa, yang telah mengizinkan hamba mendengar lantunan ayat-ayat suci-Mu dari seberang sana.”
Sementara Ratu Darah Putih yang berada di ujung pulau swarnadwipa, yang dibatasi oleh Selat Sunda terus mengumandangkan Kalam Ilahi, untuk menenangkan hatinya sembari memohon petunjuk kepada Robbnya. Tiba-tiba sepasang telinganya mendengar suara seseorang yang memberi salam. "Assalamualaikum Warohmatullahiwabarakatuh.”
Ia menatap laki-laki karismatik yang sudah berdiri di hadapannya, sebari menjawab salamnya.
“Wahai Putraku Ratu Darah Putih. Berangkatlah ke Kesultanan Aceh. Sekarang kekasihmu sedang membutuhkan pertolonganmu. Assalamualaikum." Belum sempat menjawab salamnya, tiba-tiba Sunan Gunung Jati menghilang dari pandangannya.
"Waalaikum Salam Warohmatullahiwabarakatuh. Tidak seperti biasanya Kanjeng Sunan tiba-tiba datang di hadapanku, kalau bukan karena ada sesuatu yang sangat penting yang telah terjadi pada tuan Putri,” guanya sembari memikirkan pesan ayahnya.
Ia menyernyitkan keningnya, tampak sedang memikirkan sesuat. Cicit dari Ratu Pugung itu lalu pergi ke kamarnya, dan langsung tidur. Ia bermimpi melihat kekasihnya sedang dikejar-kejar oleh seorang raksasa yang bertubuh besar, tinggi, dan sangat menyeramkan. Raksasa itu berhasil menangkap Putri Tun Penatih, lalu membawanya ke dalam sebuah gowa, sambil diikat tangan dan kakinya dengan rantai besi.
“Tidak..., tidak..., tidak... .” Teriakan itu membangunkan penguasa di Keratuan Darah Putih.
“Ya Allah, ya Robb. Apakah ini sebuah petunjuk, telah terjadi sesuatu pada Putri Tun Penatih? Berati yang dikatakan oleh ayahanda itu benar. Sekarang juga aku harus pergi ke Aceh untuk menolongnya,” gumamnya lalu pergi menuju ke Kesultanan Aceh.
Sampai di Kesultanan Aceh, Penguasa Kahuripan itu disambut oleh Sultan Aceh dan permaisurinya. “Selamat datang sang Ratu di Negeri Aceh. Kedatangan sang Ratu memang sudah kami tunggu-tunggu.”
“Apa sebenarnya yang telah terjadi tuanku, Sultan?” kata Ratu Darah Putih kepada Sultan Aceh.
“Sejak putriku menolak lamaran dari seorang pangeran, tiba-tiba ia jatuh sakit dan tak sadarkan diri sampai sekarang. Pedahal kami sudah berusaha mendatangkan tabib dari semua negeri. Namun tak satupun dari mereka yang berhasil menyembuhkannya,” kata Sultan Aceh dengan nada sedih.
“Ya, Nak Mas Ratu. Penyakit yang diderita putriku sangat aneh. Tak satupan dari mereka yang mampu menyembuhkannya,” timpal sang permaisuri.
“Bolehkah hamba melihatnya, Tuan?”
“Oh silahkan, Nak Mas.” Keduanya mempersilahkan Ratu Darah Putih untuk menemui sang Putri.
“Ya Allah, Putri. Kenapa kamu terlihat kurus sekali? Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” gumamnya lalu duduk bersila didampingi sultan dan istrinya.
Lantunan ayat suci Al-qur’an berkumandang di kamar Putri Tun Penatih. Diiringi zikir memohon kesembuhannya. Saat melantunkan ayat suci Al-qur’an, pemuda yang mendapat gelar Muhammad Aji Saka itu tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang. Seolah ada kekuatan gaib yang menyerangnya.
“Astagfirullahaladzim. Lahaulawalakuata illabillahil aliyyil adzhiim. Allahu akbar.” Pekik takbir dari penguasa Kahuripan itu.
Dugaan Ratu Darah Putih ternyata benar. Sakitnya Putri Tun Penatih karena diguna-guna. Ia kembali melantunkan ayat suci Al-Qur’an, diiringi dengan do’a, memohon pertolongan Allah Swt. Atas kehendak Allah Swt, Putri Tun Penatih akhirnya sadar. Perlahan ia membuka matanya, memandang sekelilingnya.
“Apa yang telah terjadi denganku? Kenapa badanku sakin dan lemas sekali?’ kata Putri Tun Penatih, lirih.
“Jangan takut, anakku. Sekarang kamu sudah sembuh,” kata ibundanya, tersenyum lega.
“Apa yang telah terjadi, Bunda? Kenapa kalian semua ada di sini? Engkaukah itu tuan ku Ratu Darah Putih?”
“Benar Anakku. Dia adalah Ratu Darah Putih yang sengaja datang dari negeri jauh untuk menolongmu. Dialah yang telah menyembuhkanmu dari gangguan syihir jahat itu.”
“Terima kasih, Tuanku. Terima kasih, kanda Ratu Darah Putih,” ujar putri cantik itu, berusaha bangun dari pembaringannya.
Lalu menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya. Sebelum jatuh sakit, ia telah menolak lamaran dari seorang pangeran yang sangat tampan. Ketampanan pangeran itu tak lantas membuatnya jatuh di pelukannya. Ia justru menolak pinangannya lantaran pangeran itu sangat congkak dan sangat sombong. Pangeran itu suka merendahkan orang lain.
Sejak penolakan itu Putri Tun Penatih selalu bermimpi buruk. Ia bermimpi didatangi seorang raksasa yang ingin meminangnya. Penolakan itu membuat raksasa berwajah menyeramkan itu sangat marah kepadanya. Ia mengejar Putri Tun Penatih ingin menangkapnya. Putri cantik itupun berusaha lari dari kejarannya.
Sayangnya raksasa yang memiliki tubuh besar, tinggi itu lebih cepat langkahnya. Raksasa berwajah jelek dan sangat menjijikan itu akhirnya berhasil menangkap, dan membawanya ke sebuah goa, yang sangat asing baginya. Lalu kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi.
Ia berusaha melepaskan diri dari belenggu raksasa itu, namun rantai yang mengikatnya terlalu kuat. Setiap hari raksasa itu membujuknya, agar sang Putri mau dijadikan istrinya. Jika menolak ia akan dikurung di dalam goa itu untuk selama-lamanya.
Dengan sabar Ratu Darah Putih mendengarkan cerita kekasihnya. Pada wajahnya tergambar guratan sedih yang menyelimutinya. Sesekali Ratu Darah Putih menarik napas panjang, memandang wajah kekasihnya yang terlihat sangat pucat. Tanpa terasa, bola mata penguasa Keratuan Darah Putih itu berkaca-kaca.
Melihat pemuda yang ada di hadapannya ikut sedih, Putri Tun Penatih menyudahi ceritanya, menatap Ratu Darah Putih. Ratu Darah Putih berusaha menyembunyikan kesedihannya. Namun naluri dari Putri cantik itu tak dapat dibohongi.
“Kenapa Kanda menangis?”
“Aku tidak menangis, Dinda?”
“Kalau tidak menangis, mengapa mata kanda berkaca-kaca seperti itu?”
“Tadi waktu aku mendengar cerita dinda, tiba-tiba mataku kelilipan.”
“Oh begitu?” ujar Putri Tun Penatih sambil tersenyum, kepada Ratu Darah Putih.
“Oh ya, Kanda. Dari mana Kanda tahu kalau hamba sedang sakit? Pedahal tak seorang pun yang memberi tahunya?”
“Sudah tiga kali aku mengirim surat untuk dinda, namun tak satu pun dari surat itu yang dibalasnya. Aku sangat khawatir hal buruk telah menimpa dirimu. Akhirnya akupun memutuskan berangkat ke sini untuk memastikannya. Ternyata benar, kamu sedang sakit.”
“Maafkan dinda, kanda. Kalau selama ini dinda telah membuatmu sangat hawatir. Hamba juga tidak tahu mengapa ini sampai terjadi? Yang hamba tahu, hamba baru terbangun dari mimpi buruk itu.”
“Tidak ada yang perlu disesali, dinda. Semua yang terjadi kepada kita, adalah atas kehendak Allah SWT. Maka dari itu, kita harus selalu dekat dan selalu memohon perlindungan-Nya. Bukankah begitu, dinda?”
“Benar kanda.”
“Alhamdulillah, atas ijin Allah, putriku sudah sadar, dan sudah sembuh dari sakitnya,” timpal Sultan Aceh.
“Benar suamiku. Sekarang hamba juga sangat lega melihat putri kita sudah sembuh. Tapi ada sesuatu hal yang masih mengganjal pikiran hamba.”
“Apa itu, permaisuriku? Katakanlah.”
“Sebagai seorang ibu, hamba baru akan merasa lega jika putri kita telah memiliki seorang pendamping.”
“Kenapa harus buru-buru.” Sultan Aceh menyela.
“Bukan buru-buru, tuanku Sultan. Hamba takut peristiwa yang sama akan menimpa kembali pada putri kita.”
“Kehawatiranmu sangatlah beralasan, Ratuku. Tapi sebagai orang tua kita tidak boleh memaksakan kehendak. Biarlah masalah ini kita serahkan pada Putri Tun Penatih dan Ratu Darah Putih. Bukan begitu, Putriku?”
“Kalau hamba sih terserah kanda Ratu Darah Putih saja, ayahanda,” ujar putri cantik dari Aceh, tersipu malu.
“Loh, loh, kok terserah, hehehe,” timpal Ratu Darah Putih.
“Permaisuriku, biarlah masalah ini mereka yang memutuskan. Tak baik kita berada di sini. Nanti bukan selesai masalahnya, malah mereka saling lempar pendapat hehehe,” ujar Sultan Aceh yang sangat bijak itu. Sultan Aceh dan Sang Permaisuri pun pergi meninggalkan keduanya. Sekarang tinggal Putri Tun Penatih dan Ratu Darah Putih saja.
“Bagaimana kanda, Ratu Darah Putih? Apakah kanda sudah siap meminangku?”
“Kenapa tidak, Putri cantik? Kalau terlalu lama justru aku semakin takut?”
“Takut apa kanda?”
“Takut dinda digondol oleh Raksasa berwajah tampan itu?”
“Kanda jahat ya. Apakah kanda rela dinda dipersunting oleh mahluk suruhan pangeran yang pernah dinda tolak?”
“Begitu saja marah. Aku kan cuma bercanda, hehehe.”
“Aduh!” teriak Ratu Darah Putih yang tiba-tiba lengan kanannya mendapat serangan kepiting dari jari lentik putri cantik Tun Penatih.
“Awas ya jangan ngeledek lagi. Kalau tidak nanti dinda cubit lagi.”
“Aku rela dicubit berkali-kali, asalkan?”
“Asalkan apa?”
“Asalkan kita selalu bersama, hehehe,” Ratu Darah Putih menggodanya. Lalu keduanya membicarakan tentang hubungannya, dan telah mencapai kata sepakat bahwa hari ini juga Ratu Darah Putih akan meminangnya.
“Ampun beribu-ribu ampun tuanku Sultan. Setelah kami berunding dengan tuan Putri Tun Penatih, hari ini juga hamba bermaksud ingin meminang Putri,” ujarnya dengan suara lembut.
Sultan Aceh pun tersenyum mendengar jawaban dari raja muda yang sangat tampan ini. Ia menatap permaisurinya yang duduk di sebelah singgah sananya. Dengan wajah berbinar-binar Sang Permaisuri tersenyum sambil menganggukan kepala pada suaminya. Sementara Ratu Darah Putih menundukan wajahnya, menunggu jawaban dari sang Sultan Aceh.
Suasana di pendopo Kesultanan Aceh ini terlihat hening. Sultan Aceh mengerutkan keningnya tampak sedang berpikir. Tak lama kemudian ia kembali menatap istrinya kemudian menatap Putri Tun Penatih. Tiba-tiba kerut keningnya menghilang dari wajahnya. Yang tampak secercah harapan terang lewat kedua sudut matanya yang berbinar-binar. Perlahan penguasa Aceh ini mulai menggerakan bibirnya.
“Wahai Ratu Kahuripan, dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, kami terima pinanganmu.”
“Alhamdulillahirobil ‘alamin,” ujar Ratu Darah Putih, sembari sujud syukur.
Mendengar ayahandanya menerima pinangan dari Raja Keratuan Darah Putih, wajah Putri Tun Penatih mendadak ikut berseri-seri. Ia menatap Ratu Tampan dari Negeri Kahuripan. Keduanya beradu pandang, sambil tersenyum.
Suasana di Pendopo Kesultanan Aceh yang sebelumnya terasa hening, kembali mencair. Hari itu juga kedua belah pihak membicarakan tentang waktu pernikahan antara Putri Tun Penatih dengan Ratu Darah Putih. Setelah mencapai kata sepakat, Ratu Darah Putih berpamitan, dan kembali ke Kahuripan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Kabar diterimanya pinangan Ratu Darah Putih terdengar sampai ke pelosok Negeri Kahuripan. Rakyat di Keratuan Darah Putih bahu membahu membantu ratunya untuk mempersiapkan pernikahannya. Mereka dengan sukarela memberikan sebagian hasil kebunnya untuk junjungannya. Berupa rempah-rempah untuk dibawa ke Aceh sebagai hadiah dari rakyat Kahuripan. Hal itu membuat Ratu Darah Putih merasa terharu dan semakin mencintai rakyatnya.
Maka tibalah pernikahan antara Ratu Darah Putih dengan Putri Tun Penatih yang digelar di Kesultanan Aceh. Pernikahan yang digelar sangat meriah itu, mengundang Raja-raja dari negeri lain. Mereka datang untuk memberikan do’a kepada sepasang pengantin yang masing-masing berasal dari ujung pulau swarnadwipa. Hari itu Ratu Darah Putih dan Putri Tun Penatih bagaikan Dewa dan Dewi yang turun dari kahyangan.
Setelah resmi menjadi permaisurinya, Putri Tun Penatih diboyong ke Keratuan Darah Putih di Kahuripan. Isak tangis rakyat Aceh, mengiringi kepergiannya. Tak terkecuali Sultan Aceh dan permaisurinya. Mereka melepas kepergian putri kesayangannya dengan cucuran air mata.
Di Keratuan Darah Putih, Putri Tun Penatih hidup bahagia bersama Muhammad Aji Saka. Keratuan yang menjalankan pemerintahannya dengan dasar ajaran islam ini telah membawa rakyat Kahuripan menjadi sebuah negeri yang sangat makmur. Mereka mengembangkan perdagangannya dibidang rempah-rempah sampai ke kerajaan lain. Seperti ke Kesultanan Banten, Aceh, dan Riau.
Bionarasi
Pria bernama lengkap Riswo, S.E., M.Si, lahir di Brebes, Jawa Tengah. Gelar S1 diperolehnya dari STIE Muhammadiyah Kalianda, jurusan Manajemen. Sedangkan gelar S2 nya dari STIA YAPPANN Jakarta, jurusan administrasi. Aktivitas kesehariannya sebagai guru Ekonomi di SMA Negeri 1 Kalianda, dan dosen di Universitas Islam An-Nur Lampung. Pria berambut belah samping ini pernah menjadi Kepala SMP Al-Irsyad Sidomakmur, Kepala SMA Al-Irsyad Kalianda, Kepala SMA
Negeri 2 Way Serdang, dan Kepala SMA Negeri 1 Panca Jaya Mesuji. Yang lebih unik lagi pria ini pernah menjadi wartawan di Surat Kabar Harian Lampung Ekspres Plus.
Selain mengajar, dia juga aktif dibeberapa organisasi seperti sebagai Ketua Ikatan Guru Menulis Indonesia (IGMI) Provinsi Lampung, Wakil Ketua Forum Guru Motifator Penggerak Literasi (FGMPL) Provinsi Lampung, Ketua Forum Guru Motivator Penggerak Literasi Kabupaten Lampung Selatan, dan Ketua Paguyuban Penginyongan Kabupaten Lampung Selatan, serta sebagai Kordinator Guru Penggerak angkatan 9 Kabupaten Lampung Selatan.
Selain itu, dia juga seorang Novelis. Karyanya yang sudah terbit diantaranya adalah novel Ketika Meniti Pelangi (2018), Tumbal Pesugihan (2019), Ketika Cinta Menabrak Dinding Tuhan (2020), Jeritan Di Malam Pengantin (2021), Ketika Cinta Menabrak Dinding Tuhan 2 (2021), dan beberapa buku antologi, diantaranya Guru Limited Edition (2021), The Memories (2021), Menulis Bareng Bunda Leterasi (2021), Resepsi (2022., Ungkapan Hati Sang Guru (2023), Bundengan Mbah kakung (2023),Tantangan Untuk Gio (2024), Ayo, Ke Sana, dan Gadis Kecil Berhati Malaikat.
Email : [email protected] / WA.08127285677
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ulasannya
Terima kasih Bu Rismalasari