Guru Inovatif dan Inspiratif

Menjadi guru adalah cita – citaku sejak aku masih tinggal di desa, sebuah desa kecil di Jogjakarta. Orang tuaku menganjurkan aku melanjutkan ke SPG ( Sekolah Pendidikan Guru). Ternyata memang benar menjadi guru itu menyenangkan, walau aku berangkat dari guru honor selama puluhan tahun. Pengalaman setelah diangkat menjadi PNS sungguh menjadi pemicu semangat untuk sepenuhnya mengabdikan diri demi anak bangsa.

Berawal saat mengajar Sekolah Dasar kelas tiga, aku melihat anak – anak sepertinya takut untuk belajar matematika. Setiap ada pelajaran matematika ada saja anak tidak masuk ijin sakit. Temannya memberitahukan bahwa anak - anak tersebut tidak masuk sekolah karena takut dengan pelajaran matematika. Mengetahui hal tersebut aku memutar otak untuk menciptakan belajar matematika yang menarik. Benar adanya, aku mengajak anak – anak belajar matematika menggunakan permainan dan aku kenalkan cara – cara praktis serta motivasi diri “Aku pasti bisa”. Beberapa waktu berlalu dan cara yang aku gunakan berhasil mengajak anak menyukai matematika.

Di Sekolah Dasar seorang guru diberi tugas mengajar oleh Kepala Sekolah setiap tahunnya tidak memegang jenjang kelas yang sama. Dua tahun diberi tugas di jenjang kelas tiga, tahun berikutnya mendapat tugas mengajar di kelas enam. Pertama kali menerima tugas tersebut aku merasa apakah aku mampu? Teringat semboyan yang aku tanamkan ke anak – anak, akhirnya aku ucapkan kata yang sama”Aku pasti bisa”.

Di kelas enam alhamdulillah bisa aku jalani dengan lancar tanpa hambatan. Akan tetapi tidak terlepas dari hambatan belajar anak – anak. Kali ini ada seorang anak yang sampai kelas enam membaca masih dieja. Bagaimana bisa mengikuti pelajaran kalau membaca saja susah. Aku cari akal agar anak tersebut bisa membaca walau tidak selancar temannya. Di perpustakaan sekolah ada buku cerita yang dapat dibaca anak – anak. Anak tersebut aku sarankan untuk meminjam buku cerita di perpustakaan sekolah, kemudian dibawa ke kelas untuk dibimbing membaca. Jika membaca di perustakaan dia malu. Lambat laun dengan berjalannya waktu anak tersebut sudah lebih lancar membaca. Seorang guru akan merasa bahagia saat membimbing anak dan berhasil, walau hasilnya kadang belum sempurna.

Setiap pagi sebelum belajar, anak – anak aku beri waktu untuk melakukan literasi membaca buku bukan teks pelajaran. Membaca cerita rakyat atau membaca buku – buku pengetahuan lain seperti cara membuat layangan, memasak dan lainnya. Suatu pagi saat anak – anak aku sarankan untuk mengambil buku yang mereka sukai hanya beberapa anak yang semangat. Dalam hati aku bertanya “Ada apa ini, mengapa anak kurang semangat? Aku adakan pendekatan kepada mereka dan tahu jawabannya “Bu Guru, aku sudah hafal ceritanya. Bukunya tidak diganti? Wah itu tamparan paling keras, tetapi bagaimana akan medapatkan buku baru?

Di sini aku berpikir lagi bagaimana caranya agar buku di pojok baca di kelasku berganti. Akhirnya aku mengambil inisiatif untuk kerjasama dengan orang tua anak – anak. Aku menghimbau kepada mereka untuk menyumbangkan buku cerita agar putra putri mereka tidak bosan membaca. Apa yang aku pikirkan benar, setelah buku cerita baru dating, semangat membaca timbul dan lebih semangat dari biasanya. Usahaku tidak sia – sia, kali ini berhasil dan aku merasa bahagia. Itu sekilas pengalaman yang tak terlupakan dalam tugas mengajar di kelas enam.