Saya akan bercerita tentang penulis yang bernama sama, Eko Prasetyo. Awalnya saya menduga nama ini milik satu orang, Mas Eko Prasetyo pimpinan redaksi Media Guru Indonesia -Gurusiana. Ternyata dugaan saya salah. Ada nama lain persis sama dengan penggagas sagusabu itu, yaitu Eko Prasetyo, seorang penulis handal sekaligus aktivis.

Sejak melanjutkan sekolah kembali di Universitas Negeri Medan ( Unimed ), saya sering membaca buku yang ditulis alumni Universitas Islam Indonesia ini. Buku Eko Prasetyo sang aktivis menurut saya sangat menggigit, penuh nada protes dan perlawanan. Saya menyenangi gaya tulisannya. Ilmiah namun tidak jelimet. Berat tapi ringan untuk dicerna. Bukunya berjudul, Guru : Mendidik itu Melawan termasuk buku favorit saya. Kemana-mana buku ini selalu saya bawa dan menjadi bahan diskusi sesama teman di kampus.

Buku lain, bergenre keagamaan, Assalamualaikum : Islam itu Agama Perlawanan, membacanya membuat saya tertawa terkekeh-kekeh. Bukan lucu, tapi benar-benar lucu, sangat kocak namun menusuk seperti sembilu sehingga membuat pembaca tersindir habis.

Satu hari, badan saya meriang alias panas dingin. Pasalnya apa ? Di pojok rak toko mini milik kampus, buku Eko Prasetyo terlihat bersandar kaku menanatang. Saya penasaran. Aduh ! Judulnya " menyakitkan ", Orang Miskin Dilarang Sekolah. Di sisinya, ada judul lain yang bikin hati perih, Orang Miskin Dilarang Sakit. He, he. Buku Eko Prasetyo penuh perlawanan semua. Saat itu juga buku terbitan Resist Book dengan penulisnya Eko Prasetyo saya lahap tanpa sisa seperti makan rengginang.

Ketika kenal dengan Media Guru Indonesia dan Gurusiana ---saya terlambat bergabung dengan ke dua media ini, nama Eko Prasetyo tertera di sana, hati saya bertanya, apakah Eko Prasetyo Pemred Medi Guru Indonesia sama dengan Eko Prasetyo di resist book.

Pertanyaan dan rasa penasaran ini, akhirnya saya sampaikan kepada Bapak Edi Prasetyo seorang penulis senior dan populer di Gurusiana.

" Aku juga kurang tahu, pak pengawas, " jawab Pak Edi sambil berjanji menanyakannya pada Mas Eko.

Tanpa berlama-lama. Pak Edi mengabarkan, orangnya berbeda.

" Oh, tak sama ya, " balasku sambil menelan kecewa.

" Iya toh mas, tak sama ya berbeda, " jawab Mas Edi lewat whatsappnya.

" He he. Iya juga, " gumamku. Dalam pikiranku ada kekaguman, satu nama dengan dua orang berbeda memiliki talenta yang sama sebagai penulis handal, dan telah menulis banyak buku. Sedangkan saya satu buku pun belum jadi-jadi.]